5 Tips Mengatasi Fenomena Quiet Covering Gen Z di Tempat Kerja

0
Ketika Gig Economy Mengubah Cara Generasi Muda Memaknai Sebuah Hunian
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Fenomena Quiet Covering di Kalangan Generasi Z yang Perlu Dipahami PeruahaanSaran ahli bagi perusahaan untuk merespons fenomena quiet covering di kalangan Gen Z

Marketing.co.id – Berita Lifestyle | Di tengah meningkatnya keberagaman di dunia kerja, muncul quiet covering, fenomena baru yang diam-diam menjadi tantangan besar bagi perusahaan. Istilah ini merujuk pada perilaku karyawan yang sengaja menyembunyikan atau mengecilkan aspek-aspek identitas pribadi mereka demi menyesuaikan diri dengan norma profesional di tempat kerja. Fenomena ini kini makin marak, terutama di kalangan Gen Z, generasi yang dikenal vokal soal keotentikan namun justru kerap merasa perlu menutupi jati diri mereka di lingkungan kerja.

Baca Juga: 3 Alasan Gen Z Lakukan Quiet Covering di Tempat Kerja

Menurut berbagai studi, Gen Z merasa tekanan besar untuk tampil “sempurna” di tempat kerja, walaupun mereka juga merupakan generasi yang paling terbuka membicarakan isu kesehatan mental dan identitas. Ketika ruang kerja tidak cukup aman secara psikologis, mereka memilih menutupi aspek-aspek diri yang dirasa “berisiko”.

Pasalnya, banyak dari mereka baru pertama kali memasuki dunia kerja dan belum memiliki posisi tawar yang kuat. Mereka merasa perlu membaur dengan budaya kerja yang sudah ada, meski harus mengorbankan keaslian diri.

Baca Juga: 3 Kesalahan Utama Yang Sering Dilakukan Pengusaha Startup

Meski dilakukan sebagai mekanisme bertahan, quiet covering membawa dampak jangka panjang yang serius. Karyawan yang terus-menerus menyembunyikan diri cenderung mengalami stres, kelelahan emosional, dan keterlibatan kerja yang rendah. Bagi perusahaan, ini berarti penurunan produktivitas, kreativitas, serta tingginya turnover. Oleh karena itu, jika perusahaan ingin membangun tim yang inovatif dan inklusif, perusahaan tidak bisa membiarkan orang-orang merasa harus berpura-pura.

Saran Ahli bagi Perusahaan

Mengutip dari berbagai sumber, para ahli menyarankan beberapa langkah konkret yang dapat diterapkan oleh perusahaan untuk menghadapi fenomena quiet covering ini.

1. Bangun Keamanan Psikologis (Psychological Safety)

Lingkungan kerja harus menjadi tempat di mana karyawan merasa aman untuk berbicara, membuat kesalahan, atau menunjukkan sisi rentan tanpa takut dihukum atau dinilai negatif. Hal ini bisa dibangun melalui komunikasi yang terbuka dan kepemimpinan yang empatik. Di sini, penting bagi para manajer untuk menunjukkan bahwa mereka juga manusia yang memiliki keterbatasan dan bisa salah.

2. Evaluasi Karyawan Berdasarkan Kontribusi, Bukan Citra

Budaya kerja yang terlalu menekankan pada “penampilan profesional” bisa membuat karyawan merasa harus berpura-pura. Perusahaan disarankan memfokuskan evaluasi kinerja pada hasil kerja nyata, bukan seberapa baik seseorang menyesuaikan diri dengan norma sosial tertentu.

3. Tingkatkan Dukungan untuk Kesehatan Mental

Menyediakan akses terhadap konseling, cuti kesehatan mental, dan program kesejahteraan bisa membantu mengurangi stigma. Ketika kesehatan mental tidak lagi menjadi hal yang tabu, karyawan akan merasa lebih aman untuk terbuka.

4. Perkuat Komitmen terhadap Inklusi dan Keberagaman

Kebijakan anti-diskriminasi dan pelatihan keberagaman bukan hanya sekadar formalitas. Perusahaan perlu memastikan nilai-nilai tersebut dijalankan hingga ke level operasional.

5. Ciptakan Ruang Dialog

Forum diskusi, mentoring lintas generasi, atau sesi sharing antar tim dapat menjadi media untuk membangun empati dan memahami latar belakang beragam tanpa prasangka.

Baca Juga: Wow! Andrew Susanto Pakai ChatGPT untuk Kelola Bisnis Triliunan

Fenomena quiet covering adalah alarm bagi dunia kerja modern bahwa masih banyak pekerjaan rumah untuk menciptakan lingkungan yang benar-benar inklusif. Di tengah tekanan dan ekspektasi yang tinggi, generasi muda membutuhkan ruang untuk menjadi diri sendiri tanpa takut dihukum.

Baca Juga: Cara Menggunakan ChatGPT untuk Marketing

Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan berbasis empati, perusahaan tak hanya menjaga kesejahteraan karyawan, tetapi juga membuka jalan bagi inovasi dan pertumbuhan berkelanjutan. Sebab, karyawan yang merasa diterima apa adanya bukan hanya akan memberikan waktu dan tenaganya, tapi juga hati dan kreativitasnya.