5 Tren Makro Global dan Pengaruhnya untuk Bisnis di Indonesia

[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Accenture merumuskan lima tren makro global yang dipicu oleh AI Generatif, pergeseran nilai-nilai konsumen, dan akselerasi inovasi dan pengaruhnya untuk Indonesia 

Marketing.co.id – Berita Marketing | Lebih dari separuh orang di seluruh dunia secara signifikan mengubah tujuan hidupnya. Mereka kini lebih memprioritaskan stabilitas pekerjaan dan masa pensiun daripada menikah atau meraih gelar sarjana.

Selain itu, 48% orang lainnya membuat rencana hidup kurang dari 12 bulan ke depan, atau bahkan tidak membuat rencana sama sekali. Berbagai hal ini adalah hasil temuan laporan tahunan Life Trends ke-17 dari Accenture.

Pergeseran pola pikir ini, yang sebagiannya disebabkan kemajuan teknologi, juga membuat masyarakat berubah. Sebagai dampaknya masyarakat akan mendekonstruksi hidup sembari menemukan tujuan hidup. Tatanan masyarakat yang berubah ini juga akan meningkatkan ketidakpastian dan membuat bisnis menjadi rapuh.

Di Indonesia, prioritas konsumen juga mengalami pergeseran, dengan 70% responden mengindikasikan bahwa prioritas hidup mereka terus berubah setiap tahun sejak pandemi. Selain itu, mayoritas dari mereka merasa semakin banyak faktor eksternal, termasuk kemajuan teknologi, yang memengaruhi kehidupan dan lingkungan mereka.

“Kita telah melihat dan merasakan sendiri dampak transformatif dari teknologi terbaru seperti kecerdasan buatan generatif terhadap berbagai bisnis di Indonesia. Selain itu, dengan adanya pergeseran nilai-nilai konsumen, berbagai perusahaan di Indonesia harus fokus untuk membuat pengalaman yang tidak hanya adaptif, tapi juga relevan bagi konsumen. Pendekatan ini akan memastikan hubungan yang semakin erat, peningkatan brand loyalty, dan kesuksesan di pasar yang terus berubah,” kata Jayant Bhargava, Country Managing Director, Accenture Indonesia

Pemahaman terhadap kondisi ini telah membantu Accenture Song mengidentifikasi lima tren makro-budaya global yang diperkirakan akan merevolusi cara berbisnis dan para pemimpinnya untuk tetap relevan dengan pelanggan mereka, sekaligus mempercepat pertumbuhan.

Pelanggan Selalu Benar, Bukan?

Selama bertahun-tahun, korelasi antara pengalaman konsumen dan pertumbuhan revenue telah menginspirasi berbagai bisnis yang kemudian menjadikan konsumen sebagai pusat dari setiap keputusan. Sekarang, faktor ekonomi memaksa perusahaan melakukan pemangkasan yang mengakibatkan gesekan antara konsumen dan brand di seluruh saluran, dalam bentuk kenaikan harga, penurunan kualitas, membludaknya jumlah langganan, dan layanan pelanggan yang buruk.

Hampir separuh konsumen merasa kurang dihargai ketika menghadapi kesulitan ketika menghubungi atau berbicara dengan layanan pelanggan yang tidak membantu.

Pengurangan kualitas atau ukuran atau biasa disebut penyusutan (shrinkflation), penurunan layanan atau ‘penghematan’ (skimpflation), kekurangan dalam layanan pelanggan, dan langganan yang tidak diinginkan menambah kesan bahwa berbagai brand tersebut secara diam-diam mengingkari janji-janjinya.

Di tengah tren ini, terdapat masalah persepsi yang kritis: di mana perusahaan melihatnya sebagai upaya untuk bertahan hidup, sementara beberapa konsumen melihatnya sebagai keserakahan.

Pergeseran Tampilan Muka yang Signifikan

Sebanyak 81% masyarakat Indonesia akrab dengan kecerdasan buatan percakapan, menjadikannya teknologi yang diketahui secara masif. Selain itu, kecerdasan buatan Generatif juga meningkatkan pengalaman pengguna internet dari transaksional menjadi personal; model bahasa besar (LLM) digunakan untuk melakukan percakapan dua arah yang cerdas, memberikan solusi bagi pengguna untuk pertanyaan “Saya ingin melakukan sesuatu”, bukan sekadar permintaan “Saya ingin sesuatu”.

Lebih dari separuh (62%) konsumen di Indonesia merasa nyaman menggunakan AI percakapan seperti ChatGPT untuk merekomendasikan produk, menyelesaikan tugas-tugas di tempat kerja (64%), serta saran kesehatan dan perawatan kesehatan (54%). Teknologi ini pada akhirnya akan mengubah sebagian besar tampilan yang kita gunakan. Berbagai brand tersebut akan mencoba menggunakan pemahaman tersebut untuk membentuk produk, layanan, dan pengalaman yang sangat relevan, sementara brand yang cerdas akan melangkah lebih jauh, ke dalam pengembangan brand yang responsif.

Apakah Kreativitas yang Medioker sedang Menjulang?

Tujuan utama dari kreativitas dulunya adalah untuk menginspirasi respons emosional melalui imajinasi dan hubungan antar manusia. Sekarang, algoritma dan teknologi sering kali berada di antara kreator dan audiens, sehingga memudahkan orang menemukan hal-hal populer ketimbang penting.

Bagi para kreator hal ini berarti ada risiko konten mereka tidak dapat ditemukan sehingga memengaruhi hasil akhir – terkadang menjadi lebih buruk. Dalam dunia hiburan, konsumen disuguhi dengan berbagai macam film dan franchise. Dan secara umum, 35% responden merasa desain aplikasi kini tidak dapat dibedakan di antara berbagai brand, sebuah sentimen yang meningkat menjadi hampir 40% di kalangan usia 18-24 tahun. Sehingga ini menjadikan kita sedang berada dalam sebuah periode stagnasi budaya.

Tantangan menjadi medioker saja ini tidak akan selesai dengan sendirinya dan bahkan mungkin akan menjadi lebih buruk ketika AI generatif menjadi pemain yang lebih besar dalam proses kreatif. Bisnis yang cerdas akan melihat peluang di sini: di tengah lautan familiaritas, orisinalitas akan selalu menonjol – seperti halnya berinvestasi dalam bakat kreatif.

Error 429: Batas Permintaan Manusia Tercapai

Hubungan manusia dengan teknologi berada pada titik kritis. Hampir sepertiga konsumen (30%) mengatakan bahwa teknologi telah memperumit kehidupan mereka sama seperti teknologi telah menyederhanakannya. Teknologi terasa seperti sesuatu yang terjadi pada mereka dan bukan untuk mereka, menuntut terlalu banyak hal dan sering kali gagal memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan.

Empat puluh persen responden di Indonesia mengatakan bahwa notifikasi dan algoritma yang konstan telah mengendalikan penggunaan teknologi pribadi mereka; sementara 36% lainnya mengatakan bahwa hal tersebut merupakan hasil dari scrolling yang tidak ada habisnya.

Sebagai responnya, konsumen memperketat kendali dalam penggunaan teknologi mereka dengan menghapus notifikasi dan menerapkan batas waktu penggunaan layar (31%), dan menghapus aplikasi dan perangkat sepenuhnya (28%). Hal ini menunjukkan bahwa teknologi menguras sumber daya seseorang dan keinginan mereka untuk mengutamakan kesehatan mental mereka.

Bisnis akhirnya harus mempertimbangkan bagaimana penggunaan teknologi mereka akan cocok dengan kehidupan masyarakat dan apa yang akan dituntut dari mereka. Apakah itu waktu atau Keterampilan baru. Selain itu brand yang menawarkan pilihan yang lebih besar kepada konsumen tentang bagaimana mereka menggunakan (atau tidak menggunakan) teknologi untuk berinteraksi akan menjadi mitra yang terpercaya, karena konsumen akan dapat memperoleh perasaan dapat mengambil keputusan.

Dekade Dekonstruksi

Jalur kehidupan tradisional sedang dialihkan dengan berbagai keterbatasan, kebutuhan, dan peluang baru, yang secara signifikan mengubah pola demografi. Saat ini kita sedang menantang gagasan-gagasan lama, dan membentuk cara-cara baru dalam berpikir, bertindak, dan hidup.

Accenture menyebutnya sebagai awal mula dekade dekonstruksi telah dimulai, dan dampaknya pada sistem dan layanan akan sangat luas. Sebagai contoh, masyarakat kini menjalani hidup kurang dari satu tahun dalam satu waktu, 34% orang Indonesia membuat rencana untuk hidup mereka kurang dari 12 bulan ke depan, atau tidak membuat rencana sama sekali.

Dalam tiga tahun terakhir, Accenture juga melihat adanya penurunan nilai yang diberikan pada tonggak-tonggak pencapaian tradisional termasuk pernikahan (dari 31% menjadi 28%), lulus dari perguruan tinggi (dari 24% menjadi 14%), dan pindah dari rumah orang tua (dari 15% menjadi 11%).

Pola pikir baru ini akan memicu perspektif yang berbeda pada produk dan layanan. Bisnis yang mampu beradaptasi dengan cepat, menciptakan pengalaman tanpa batas yang menentang norma dan mendukung jalur unik setiap orang akan tetap relevan dengan keinginan konsumen yang terus berkembang.

Managing Director, Song Indonesia Lead Joseph Tan menjelaskan bahwa di Indonesia, konsumen yang lebih muda memiliki perilaku yang sedang membentuk selera pasar dan berbagai percakapan yang ada di dalamnya. Sebagai contoh, mereka memprioritaskan well being dengan membatasi akses dan notifikasi di perangkat pribadi, atau memilih menggunakan satu aplikasi saja untuk berkomunikasi.

Terkait hal tersebut, brand perlu melihat kembali pendekatan mereka, dan fokus untuk mendorong pengalaman yang otentik yang dapat ditingkatkan dengan teknologi. Ini akan memastikan akan adanya hubungan yang lebih erat dengan konsumen mereka, sehingga dapat mendorong konsumen untuk dapat membuat keputusan berdasarkan preferensi mereka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here