Tiga Kunci Sukses Mengampanyekan Merek

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

MARKETING.co.id – Tidak sedikit pemasar yang mengalami kegagalan ketika mengampanyekan sebuah merek. Penyebabnya bermacam-macam. Mulai dari masalah teknis di lapangan, sampai kesalahan di langkah awal. Yang paling sering terjadi adalah kesalahan menetapkan strategi, atau kebingungan ketika menghadapi sebuah produk yang secara segmentasi belum jelas.

Umumnya, pemasar dalam melakukan strategi komunikasi tidak siap akan tiga hal. Pertama, menentukan apa yang hendak dikatakan kepada pelanggan (what to say); kedua, memikirkan cara menyampaikan hal tersebut (how to say), dan ketiga adalah pertimbangan lokasi yang tepat dan kapan akan melakukannya (where to say). Hal itu disampaikan oleh pengamat pemasaran Darmadi Durianto, kepada majalah MARKETING baru-baru ini.

“Kesalahan pada faktor pertama yang paling banyak terjadi,” ujar Darmadi. Para pemasar sering kali tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada konsumen tentang produknya. Hal ini karena mereka tidak siap menghadapi perilaku konsumen dari target produknya. Contoh, ada pemasar yang menggunakan bahasa asing untuk mengomunikasikan produk yang sebetulnya banyak dipakai untuk kalangan menengah bawah.

Juga pemakaian bahasa yang terlampau tinggi atau kemasan iklan yang sulit dicerna oleh audience. Sebaiknya, menurut Darmadi, sebelum merancang kampanye, harus diketahui dulu poin penting yang perlu disampaikan kepada konsumen, karena yang perlu diperhatikan ialah diferensiasi produk.

Setelah menemukan itu, langkah selanjutnya adalah memikirkan bagaimana mengomunikasikannya—masuk pada faktor kedua (how to say). Pada faktor ini, pemilihan kata yang menarik ikut menentukan keberhasilan sebuah kampanye atau iklan produk agar dilihat orang.

Berikutnya, faktor ketiga, mengenai pemilihan media komunikasi atau kampanye yang tepat. Jika media yang dipilih salah, tidak sesuai dengan target market, maka seakurat apa pun diferensiasi ditemukan dan sebagus apa pun kalimat dirancang akan percuma.

“Jadi, saran saya buat para pemasar sebelum memulai kampanye, mereka harus mengukur tingkat relevansi brand produk mereka, baru mempertimbangkan ketiga faktor tadi,” tandas Darmadi.

Menyinggung soal pengaruh media sosial terhadap kinerja merek, Darmadi berpendapat bahwa media sosial sangat bagus bila digunakan sebagai alat kampanye untuk produk-produk premium atau minimal produk untuk segmen menengah. Jika digunakan untuk produk yang menyasar segmen bawah—terlebih merupakan produk massal, maka kurang tepat.

Sekurang-kurangnya tunggu sampai 3–5 tahun ke depan baru media sosial bisa ikut disertakan untuk produk massal. Langkah pertama yang paling efektif untuk produk semacam itu masih pada penggenjotan pada strategi ATL (above the line). “Mau tidak mau pemasar harus masuk ke TV commercial, media cetak, serta radio dulu, karena lebih berpengaruh ketimbang langsung masuk ke media sosial,” ujar Darmadi.

Syarat menaruh strategi ATL di depan sebetulnya juga berlaku untuk produk baru lain secara umum. Ini adalah langkah termudah untuk membangun merek. Namun, tidak tertutup kemungkinan banyak pula pemilik merek yang berhasil menaruh strategi BTL (below the line) di depan dan menuai sukses. Seperti yang dilakukan Ceragem.

“Semua tergantung pada produk dan kuatnya hasil riset serta kejelian pemilik merek sebenarnya,” imbuh pria yang juga menjadi pengajar Magister Manajemen di IBII ini.