Marketing.co.id – Era digital membawa disrupsi di semua lini kehidupan. Disrupsi tersebut termasuk cara orang berbisnis dan peluang bisnis baru. Salah satu bentuk disrupsi tersebut adalah trend buzzer dan influencer di media sosial.
Buzzer bisa diartikan sebagai orang yang mempromosikan sesuatu hingga menjadi viral atau ramai dibicarakan. Adapun influencer adalah mereka yang bisa memengaruhi orang lain melalui postingannya.
Walaupun pengertian keduanya berbeda, namun keduanya kerap dianggap sama. Bagi brand atau bisnis yang ingin memperluas target market dan meningkatkan brand awareness di era digital, influencer dan buzzer adalah jawabannya.
Kini wadah bagi buzzer dan influencer menjamur, Spradz! adalah salah satu di antaranya. “Spradz! itu adalah wadah komunitas influencer dan buzzer berbasis digital,” jelas Indriani Steffi Ringan, CMO Spradz!.
Menurut Steffi, di media sosial buzzer adalah orang-orang yang memanfaatkan media sosial mereka untuk menyebarluaskan info atau promosi dari perusahaan tertentu. Sedangkan influencer adalah suatu profesi yang dilakukan sesorang yang aktif di media sosial dan aktifitas mereka mampu memengaruhi pengikutnya. Contohnya, Selebgram, Youtuber, Blogger dan lainnya.
Platform digital marketing
Peluang pasar bisnis ini sangat besar. Penduduk Indonesia saat ini berjumlah 260 juta, mereka yang aktif di media sosial ada 130 juta user, mereka yang aktif di mobile media sosial ada 120 juta user. Mengutip dari Hootsuite, Steffi menjelaskan bahwa pengguna Facebook itu 40% dari total populasi, Whatsapp 40% dari total populasi, Instagram 38% dari total populasi dan Line 33% dari total populasi. Jadi dari 130 juta user media sosial yang aktif, pengguna Instagram sekitar 24,2 juta, Facebook 26 juta, Whatsapp 21 juta, dan Line ada 17 juta.
“Dulu kita mengenal buzzer seperti orang yang menyebarkan brosur, akan tetapi kita tidak tahu dari jumlah brosur yang disebar berapa yang membaca brosur kita,” ujar Steffi.
Lebih lanjut Steffi menjelaskan, platform yang sudah berjalan sejak 2018 ini merupakan open dashboard, di mana para klien bisa memantau sendiri kampanye yang dilakukan oleh buzzer dan influencer. Melalui open dashboar, klien bisa mendapatkan laporan statistik kampanye.
“Misalnya klien kita band. Mereka mau mengadakan konser keliling kota-kota besar di Indonesia bulan depan. Nah, mereka mau promosinya dilakukan oleh Spradz! selama 10 hari , mereka bisa budgeting, mereka punya budget berapa. Nanti ada Visit, Read, dan Action. Visit itu adalah orang yang melihat saja, Read itu kemungkinan ada ketertarikan sedangkan Action adalah mereka mau membeli tiket,” jelas Steffi.
Tawarkan kualitas
Spradz! cukup ketat dalam merekrut buzzer dan influencer. Siapapun, kata Steffi, bisa membuat bisnis seperti Spradz!, namun yang jadi pembeda Spradz! dengan komunitas sejenis adalah kualitas buzzer dan influencernya.
“Saya tidak tahu apakah mereka menjamin follower mereka asli atau tidak. Kami menganalisis buzzer dan influencer yang bergabung untuk memastikan follower mereka asli/organic. Dengan followers yang organik, otomatis engagement antara influencer dan buzzer dengan followersnya tinggi sehingga impresi brand juga tinggi, terangnya.
Steffi menekankan pentingnya trust dalam menjalankan bisnisnya. Jika klien puas, mereka akan repeat order dengan brand mereka yang lain. Sepanjang 2018, Spradz! sudah menangani tiga perusahaan dan berhasil meningkatkan follower 10 akun Instagram menjadi di atas rata-rata 50 ribu followers.
Hingga kini Spradz! sudah memiliki 1300 buzzer. Tahun ini Spradz! menargetkan 30 perushaaan, 3000 influencer, dan 5000 buzzer dengan target revenue 12 miliar rupiah. Dengan demand pasar yang tinggi, Steffi optimis Spradz! akan mencapai target tersebut.