Marketing – Perusahaan properti pada umumnya mengalami masalah dalam mengoptimalkan aset mereka. Banyak gedung tinggi (Highrise building) yang dibiarkan begitu saja tanpa dioptimalkan. Alih-alih menjadi aset menguntungkan, gedung tersebut justru menjadi beban.
Padahal jika dikelola dengan serius, gedung – gedung yang terbengkalai itu dapat menghasilkan income yang cukup besar. Demikian disampaikan Lince Atmadja, Pendiri dan CEO Werkplay dalam seminar bertajuk Tenancy Management & Optimization Space of Highrise Building, di Swissbell Hotel, Pondok Indah, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Berangkat dari kondisi di atas, tidak mengherankan jika Jakarta mengalami kelebihan pasokan ruang kantor yang mengakibatkan semakin sulitnya pemilik gedung mencari penyewa baru.
“Situasi oversupply (pasokan berlebih) sehingga occupancy (tingkat hunian) juga diperkirakan akan terus turun. Kemampuan pasar secara historis untuk menyerap ruang kantor itu terbatas, terlebih mengingat pertumbuhan pasokan area perkantoran adalah sekitar 500-600 ribu meter persegi setiap tahun,” ungkap Lince yang berbicara di depan karyawan PT.Wika, Colliers, PGN, Astraland, dan JayaReal Property.
Menurut Lince, solusi untuk mengatasi permasalahan di atas pemilik gedung menyewakan ruang atau gedung kantor mereka melalui bisnis virtual office, co-working space, atau serviced office. “Virtual office di Indonesia untuk pertama kali hadir tahun 1990- an, pada saat itu hadir di kawasan SCBD Sudirman Jakarta. Pengelolaanya murni dilakukan oleh pebisnis dari Indonesia langsung,” jelas Lince.
Lince memprediksi, virtual office akan menjadi konsep kantor masa kini dan masa depan karena perusahaan akan lebih mengedapankan efektifitas, efisiensi, dan kesederhanaan. Maka tak heran, virtual office akan memiliki pengguna lebih banyak lagi dalam beberapa tahun ke depan.
“Tentunya ini juga akan menjadi bisnis yang menjanjikan untuk para pelaku usaha virtual office. Ini juga menjadi peluang untuk para pemilik gedung agar bisa meningkatkan nilai propertinya dengan diversifikasi ke virtual office,” imbuh Lince.
Seperti virtual office, co-working space dan service office pasarnya juga akan semakin cerah di masa-masa mendatang. Adapun target pasar potensial untuk ketiganya yakni perusahaan startup, UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah), dan freelancer.
“Bisnis Co-Working Space , virtual office, dan atau serviced office muncul sebagai alternatif karena ruang di gedung perkantoran yang relatif mahal. Kebutuhan atas ruang kerja muncul karena banyak bisnis start-up dan semakin diminatinya freelance job,” jelas dia lagi.
Sebagai gambaran Lince mengutip data Bank Indonesia tahun 2017 lalu yang menyatakan, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai Rp850 triliun. Lalu, data BPS di tahun yang sama menyebutkan, jumlah total UMKM yang mencapai 60 juta berkontribusi 61,41% terhadap perekenomian Indonesia.
Ekspansi Bisnis Werkplay
Lince sudah menggelui bisnis virtual office dan service office selama hampir 20 tahun. Dalam beberapa tahun terakhir dia melebarkan sayap bisnisnya ke co-working space melalui bendera Werkplay. “Dalam persaingan yang ketat dan makin menjamurnya co-working. Kekuatan saya adalah networking, kejujuran, ketulusan hati, dan kepercayaan,” tuturnya.
Werkplay dengan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki, mampu membuat bangunan atau gedung yang semula kosong dapat memiliki nilai tambah bisnis.“Misalnya suatu unit bangunan bernilai Rp5 miliar, jika dibiarkan kosong mungkin akan mengeluarkan biaya pemeliharaan Rp150 – Rp200 juta per tahunnya,” tuturnya.
Namun dengan sistem pengelolaan dengan model bisnis co-working space, service office, atau virtual office , bisa menghasilkan sejumlah pendapatan minimal mencapai titik impas (break event point). Menariknya usaha ini tidak membutuhkan SDM banyak dan bisa menghemat biaya perawatan gedung. “Bahkan, untuk virtual office tidak membutuhkan biaya overhead dibandingkan service office,” tutupnya.