Sindrom Berita Palsu

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Mulai era Milenial sampai generasi Z saat ini, kita semakin banyak mengalami sindrom berita palsu. Adapun berita palsu ini sering kali menyebar lewat aktivitas sharing konten di berbagai media sosial. Tak jarang merek perusahaan pun terlibat di dalamnya. Bagaimana pengaruh sindrom berita palsu ini terhadap merek, media, dan netizen?

berita palsu

Pada umumnya hanya ada dua hal yang bisa dipegang dari seorang manusia, yaitu perkataan dan tindakannya. Bila perkataan tidak sesuai dengan tindakan, maka kredibilitas dan kualitas suatu individu maupun entitas akan diragukan. Jika kita kerap memberikan opini yang tak sesuai atau tidak didukung dengan fakta yang valid, semua opini kita tak akan ada bedanya dengan berita palsu. Merek pun sebagai entitas tak berbeda dari manusia sebagai individu. Jika merek sering mengumbar janji palsu, image-nya pun akan menjadi buruk di benak konsumen.

Dari semua kategori, berita palsu adalah yang paling buruk. Ini adalah berita yang dianggap bohong, dan bahkan menyesatkan. Tak jarang berita palsu menimbulkan banyak efek buruk pada masyarakat atau lingkungan, seperti perselisihan, kerugian, serta terbuangnya waktu dan sumber daya secara percuma. Jauh lebih baik kita menciptakan konten yang kurang menarik, jarang dilirik, dan kurang direspons, daripada menyebarkan konten yang ternyata bohong, bahkan menimbulkan kerugian di pihak lain.

Ujian Besar bagi Media

Salah satu penyebab berita palsu menjadi tren yang meluas adalah saat ini kita jauh lebih suka membagikan (share) daripada menciptakan (create) konten. Jadi, content sharing lebih banyak daripada content creation. Parahnya lagi, budaya ini pun menular ke media-media yang semestinya lebih punya otoritas sekaligus kredibilitas dalam menciptakan berita.

Sekali lagi kredibilitas media mengalami ujian besar karena terlalu banyak aktivitas copypaste berita atau “daur ulang” konten dari tempat lain—bahkan dari konten yang terkesan sudah “basi”. Sering kali media terjebak untuk lebih sering melakukan sharing konten daripada menciptakan konten yang otentik. Banyak media tertular penyakit “latah”. Mereka seakan merasa rugi jika tidak cepat-cepat menuliskan suatu news yang dianggap sedang hot. Sebenarnya ini tak lebih dari sekadar daur ulang ide atau konten saja.

Fenomena ini terjadi terutama pada momen media yang banyak beralih ke digital saat ini, ketika kecepatan lebih dihargai daripada ketepatan. Yang paling penting adalah menjadi yang pertama memberitakan sesuatu, tak peduli konten yang diberitakan itu sudah divalidasi dulu kepada sumber yang berwenang atau sumber yang seharusnya. Ini bisa menjadi bumerang bagi industri media sebab lama-kelamaan audiens cepat menjadi jenuh, karena menemukan berita yang sama pada semua media.

Kecepatan memang menjadi syarat mutlak untuk dapat bersaing di era digital. Tapi ketika lebih mementingkan aktivitas pembagian dan daur ulang, maka media pun akan kehilangan esensi yang sebenarnya, yaitu sebagai sumber inspirasi, edukasi, sekaligus informasi. Kebanyakan media hanya mementingkan unsur informasi dan belum mencapai edukasi, apalagi inspirasi.

Media pun sesuai fungsi seharusnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu media pencipta konten dan media penerus konten. Media seperti televisi, radio, koran, majalah (meski mereka bertransformasi ke wujud online) adalah media yang masuk dalam kategori pencipta konten. Sementara itu media seperti Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, dan kebanyakan media sosial lain memang cenderung didesain dan difungsikan sebagai penerus berita.

Itulah mengapa berbagai konten yang otentik, menginspirasi, mengedukasi, sekaligus informatif dituntut datang dari kategori media pencipta konten (bukan dari media penerus konten). Barulah dari sana bisa diteruskan lewat media penerus konten sambil mencantumkan sumber berita diambil.

Ini karena berbagai media sosial memang difungsikan untuk konten yang sifatnya user generated content (UGC), dimana semua kontennya dibuat dari audiens pemakai, dan bukan dari si penyedia media. Sedangkan user di sini adalah publik atau masyarakat umum yang tidak mempunyai keahlian atau kemampuan media, jurnalistik, reportase, dan lainnya.

Jadi, wajar saja berbagai berita yang berseliweran di media sosial harus benar-benar diperiksa kebenarannya dengan mengacu pada sumber berita. Celakanya bila media yang seharusnya menjadi sumber, juga berperilaku layaknya user publik yang hanya mendaur ulang konten dari tempat lain. Jika demikian, potensi penyebaran berita palsu pun akan semakin besar.

Inilah ujian sebenarnya bagi media pencipta konten, untuk kembali pada keahliannya semula, yaitu menjadi pencipta konten yang informatif, edukatif, sekaligus inspiratif. Lagipula biasanya hanya konten berkualitaslah yang akan disebarkan oleh publik yang smart. Demikian pula sebaliknya.

Peran Serta Pemilik Merek

Lewat berbagai pilihan media/channel yang tersedia di era digital ini, merek lebih punya kebebasan dalam menciptakan sekaligus membagikan konten pemasarannya. Mengingat banyaknya pilihan media saat ini, perusahaan pun dituntut untuk semakin mendayagunakan bagian humas (public relationsPR).

Bagian humas perusahaan cenderung lebih menyasar media-media pencipta konten, karena bagian PR diharapkan bisa menciptakan konten berkenaan dengan komunikasi perusahaan yang lebih mempunyai nilai berita (news value), nilai edukasi sekaligus inspirasi bagi para konsumennya. Inilah mengapa PR harus memiliki kemampuan media relations dan komunikasi yang mumpuni agar bisa bekerja sama dengan berbagai media pencipta konten yang berkualitas beritanya.

Semua itu bertujuan agar perusahaan bisa menyebarkan awareness sekaligus membangun relasi yang mendalam dengan pihak yang hendak dituju—seperti konsumen, media, investor, pemerintah, atau lainnya. PR dituntut untuk menjadi corong merek dalam mengomunikasikan segala pesan yang ingin disampaikan kepada publik dan memastikan pesan tersebut diterima dengan baik, tampil sebagai berita yang positif, disebarkan sebanyak mungkin, dan menimbulkan efek positif.

Tapi sayangnya, berbagai hal yang diberitakan di luar sana tidak semuanya berada dalam kendali perusahaan. Sering kali ada pihak yang sengaja—ataupun tidak—membelokkan fakta, sehingga menimbulkan berita yang salah. Suatu konten berita pun, ketika terlalu sering dibagikan lintas media oleh banyak user, cenderung berpotensi lebih besar menyimpang dari maksud semulanya.

Di sinilah peran PR menjadi semakin penting untuk meluruskan segala isu menyimpang yang menerpa merek hingga mengancam reputasi merek. PR diharapkan bisa mengedukasi publik untuk meluruskan segala opini yang menyimpang, didukung fakta-fakta aktual dan bisa dibuktikan kebenarannya.

 

Ivan Mulyadi

 

MM.11.2018/W

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here