Marketing.co.id – Berita Marketing | Kabar kepergian Perspirex dari pasar Indonesia mengejutkan banyak pihak. Produk antiperspiran yang dikenal efektif ini tiba-tiba mengucapkan “selamat tinggal” lewat unggahan media sosial Instagram yang menyiratkan pamit permanen. Di balik kepergian tersebut, ada pelajaran penting yang dapat dipetik oleh para pemasar dan pemilik brand.
Berikut adalah empat insight berharga dari kasus Perspirex yang seharusnya menjadi alarm bagi brand lain, khususnya di era digital yang serba cepat dan penuh noise.
Proteksi Narasi Harus Proaktif
Tidak cukup hanya memiliki produk yang unggul. Di era di mana persepsi bisa dibentuk oleh viralitas, brand harus proaktif dalam melindungi narasi. Artinya, pemantauan media sosial, komunikasi dua arah dengan audiens, serta kesiapan untuk membuat konten penyeimbang (counter-content) menjadi keharusan.
Jika brand diam saja, narasi negatif bisa tumbuh subur. Di sinilah pentingnya media monitoring, social listening, dan manajemen isu secara real time.
Edukasi Tak Boleh Putus
Perspirex memiliki keunggulan ilmiah yang diklaim terbukti secara klinis. Namun, kekuatan itu bisa tergerus jika edukasi ke konsumen tidak konsisten. Brand dengan positioning teknis atau berbasis sains wajib menjaga ritme edukasi publik. Jika tidak, pasar bisa dengan mudah beralih ke produk yang lebih “glamour”, meskipun tanpa keunggulan nyata.
Ingat, pengetahuan publik adalah kekuatan reputasi. Semakin paham konsumen, semakin kecil kemungkinan mereka termakan hoaks atau testimoni setting-an.
Perang Harga dan Perang Persepsi Itu Berbeda
Banyak brand terjebak dalam pricing war, padahal yang lebih menentukan adalah perception war. Di dunia digital, reputasi bisa dibentuk oleh buzzer negatif, ulasan palsu, dan narasi yang sengaja dikonstruksi.
Merek yang hanya fokus pada diskon tanpa menjaga persepsi rentan tergilas. Konsumen zaman sekarang membeli dengan keyakinan, bukan hanya dengan harga murah.
Transparansi Adalah Tameng Terbaik
Saat badai digital datang, brand yang mampu bertahan adalah yang terbuka, cepat merespons kritik, dan tidak defensif. Transparansi bukan tanda kelemahan, tapi kekuatan. Konsumen menghargai merek yang jujur, bahkan saat melakukan kesalahan. Ruang klarifikasi publik, Q&A terbuka, dan gaya komunikasi humanis bisa menjadi pelindung terbaik reputasi jangka panjang.
Kasus Perspirex membuktikan bahwa reputasi brand tidak cukup hanya dibangun, tapi harus terus dijaga. Dalam lanskap digital yang bergerak cepat, marketer dituntut untuk berpikir lebih dari sekadar penjualan—mereka harus mengelola persepsi, membangun kepercayaan, dan merawat edukasi. Karena, brand yang bertahan bukan hanya yang paling laris, tapi yang paling dipercaya.