Marketing.co.id – Berita Marketing | Di tengah krisis global seperti pandemi, perubahan iklim, dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat, peran filantropi menjadi semakin krusial. Tidak hanya sebagai respon darurat, tetapi sebagai mitra strategis yang mampu mendorong transformasi sosial secara sistemik. Hal ini terlihat dari maraknya kolaborasi lintas sektor, seperti dana abadi pendidikan, gerakan pangan berkelanjutan, serta inisiatif pembiayaan iklim berbasis komunitas.
Di sisi lain, tantangan dunia modern yang serba cepat dan individualistis membuat praktik filantropi seringkali dipersepsikan sebagai aktivitas eksklusif, dilakukan oleh segelintir orang dengan sumber daya besar. Padahal, sejatinya budaya filantropi bukanlah hal asing bagi masyarakat Indonesia. Justru, ia berakar kuat dalam nilai-nilai luhur bangsa, gotong royong, solidaritas sosial, dan kepedulian terhadap sesama.
PEKAN FILANTROPI FIFEST 2025, merupakan sebuah perhelatan tahunan yang menjadi wadah kolaborasi antar pelaku filantropi, organisasi masyarakat sipil, sektor swasta, pemerintah, serta pemangku kepentingan lainnya dalam memperkuat budaya dan ekosistem filantropi Indonesia. Lebih dari 100 organisasi filantropi, NGO, CSR perusahaan, pemerintah daerah, hingga lembaga donor internasional hadir dalam FIFEST 2025
Tahun ini, FIFEST 2025 mengusung tema: “Budaya dan Ekosistem Filantropi untuk Dampak yang Lebih Baik: Membuka Potensi Filantropi untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Agenda Iklim”, yang berfokus pada membangun kesadaran, meningkatkan kapasitas kelembagaan, mendorong pertukaran pembelajaran, meningkatkan lingkungan yang mendukung filantropi untuk memastikan kontribusi, dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan mengatasi perubahan iklim.

Selama sepekan, FIFEST 2025 menghadirkan rangkaian kegiatan seperti diskusi panel, pameran proyek berdampak, lokakarya, youth forum, hingga business matchmaking yang menghubungkan pelaku filantropi dengan inovator sosial.
“Filantropi bukan hanya soal memberi, tetapi bagaimana membangun sistem yang memungkinkan kolaborasi, inovasi, dan keberlanjutan. FIFEST 2025 menjadi platform penting untuk mempertemukan para pemangku kepentingan demi menciptakan solusi berdampak bagi masyarakat,” ujar Franciscus Welirang, selaku Ketua Dewan Penasihat Filantropi Indonesia.
FIFEST 2025 juga menyoroti pentingnya inklusivitas dan partisipasi komunitas akar rumput dalam agenda filantropi. Dalam sesi “Keadilan Iklim dan Inklusi Sosial,” para pembicara membahas peran penting masyarakat lokal dalam menciptakan dampak berkelanjutan yang kontekstual dan relevan.
“Kita tidak bisa berbicara tentang pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim tanpa melibatkan komunitas yang paling terdampak. Dalam ekosistem filantropi yang sehat, suara mereka bukan hanya didengar, tetapi menjadi bagian dari pengambilan keputusan,” ujar Franciscus.
Inklusivitas Institusi Filantropi
Setiap institusi filantropi biasanya memiliki visi dan misi tersendiri, antara lain yang berbasis agama. Namun hal ini tidak menghalangi mereka untuk saling bekerja sama atau menggalang aksi bersama untuk tujuan kemanusiaan.
Hong Tjin, Dewan Penasehat Filantropi Indonesia dan Sekertaris Umum Yayasan Buddha Tzu Chi mengungkapkan, mayoritas penderma di yayasan ini justru berasal dari agama di luar Buddha.
”70 persen penderma di Buddha Tzu Chi non Buddhists, Buddha Tzu Chi memfasilitasi tuna-tunas kebaikan pada setiap orang, karena kami yakin setiap orang memiliki tunas-tunas kebaikan,” tutur Hong dalam sesi diskusi PEKAN FILANTROPI FIFEST 2025 bertajuk ”Beda Keyakinan, Beragam Aksi, Satu Tujuan, di Jakarta, Kamis (7/8).
Pendapat senada disampaikan Ahmad Juwaini, Ketua Pengurus Dompet Dhuafa. Dia mengatakan banyak donatur di Dompet Dhuafa yang berasal dari agama di luar Islam. ”Kami juga banyak bekerja sama dengan lembaga-lembaga filantropi di luar agama Islam,” tandas Juwaini.
Sesi diskusi juga menghadirkan Angelina Theodora, National Director Wahana Visi Indonesia. Dalam kesempatan tersebut dia mengatakan, Wahana Visi Indonesia tidak terafilitasi dengan gereja tertentu.
Dikutip dari laman wahanavisi.org/id: ”Wahana Visi Indonesia adalah organisasi kemanusiaan Kristen yang hadir melayani dan berkolaborasi dalam pemberdayaan anak, keluarga dan masyarakat yang paling rentan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, advokasi dan tanggap bencana untuk membawa perubahan yang berkesinambungan tanpa membedakan agama, ras, suku, dan gender.
Irvan Nugraha, Sekretaris Badan Pengurus Filantropi Indonesia dan CEO Rumah Zakat Indonesia menegaskan, keragaman lembaga filantropi justru menjadi suatu keunggulan. Karena itu dia mendorong praktek-praktek yang sudah baik seperti kolaborasi antar berbagai lembaga seperti Buddha Tzu Chi, Dompet Dhuafa, Wahana Visi Indonesia, Rumah Zakat harus terus diperkuat.
”Setiap lembaga filantropi punya prioritas program, harus tetap diberikan ruang untuk itu, namun kita juga harus mendorong terjadinya komunikasi, koordinasi, dan integrasi program, dan menjadi peran asosiasi untuk memberi ruang tersebut, dan harapannya dengan adanya forum seperti ini semakin kuat lagi kolaborasinya,” tutur Irvan yang diwawancara usai sesi diskusi.
Dia juga mengatakan, Perhimpunan Filantropi Indonesia dan Rumah Zakat tengah berupaya untuk membuat platform multi stakeholders. ”Di dalam platform ini kita juga akan melibatkan Pemerintah dalam hal ini Bapenas, karena yang perlu kita kawal adalah outcome nya, ukuran-ukuran yang harus disepakti, dan prioritas aksi di wilayah mana, dan bentuk aksi apa yang harus kita jalankan. Dengan demikian kita bisa membantu tujuan pembangunan berkelanjutan dan masyarakat semakin terlihat perannya dalam pembangunan berkelanjutan,” papar Irvan.