Mengakomodasi atau Tidak? Pilihan Perusahaan Bukan Pelanggan

Jika mendengar kata-kata “service”, ada dua reaksi yang kerap muncul. Pertama, ada yang beranggapan memberikan service berarti penambahan biaya bagi perusahaan, karena mereka berpendapat pelanggan yang dilayani tidak membutuhkan service yang berlebihan. Menurut mereka, pelanggan hanya butuh harga murah dan produk lumayan. Reaksi kedua mendukung adanya service, bahkan mereka menuntut agar service harus dapat dirasakan sebagai sebuah perbedaan bagi pelanggan. Bagi mereka memberikan service adalah sebuah keharusan. Adanya dua pendapat yang berbeda ini membuat Anda mungkin bertanya, termasuk yang manakah attitude perusahaan Anda terhadap paradigma service?

Pelanggan Tidak Membutuhkan Service?

Benarkah pelanggan tidak membutuhkan service? Pada hakikatnya, setiap orang adalah pelanggan. Saat ini mungkin Anda sedang jadi pelanggan atau akan jadi pelanggan.  Tidak peduli dari manakah kelas sosial ekonomi Anda, ketika Anda menjadi pelanggan, jelas Anda punya kebutuhan untuk dilayani, diperhatikan, dihormati, dan dipedulikan. Dengan perkataan lain, pelanggan membutuhkan service.

Keempat indikator service ini adalah persepsi bagaimana pelanggan menilai perusahaan. Indikator ini membuat pelanggan menilai apakah perusahaan telah memberikan service excellence atau tidak. Jika dimiliki oleh perusahaan, maka akan membuat pelanggannya betah berhubungan dengan perusahaan.

Berapa Biaya Service Excellence?

Membangun budaya service bisa membutuhkan biaya tambahan, bisa juga tidak. Semuanya tergantung strategi yang ditetapkan. Strategi pada dasarnya adalah usaha untuk mengidentifikasi, mengalokasi, serta mengelola sumber daya yang ada untuk mencapai hasil optimal, yakni pelanggan loyal pada perusahaan. Perusahaan harus memilih satu atau lebih service strategy berikut ini.

Biaya service terjadi karena adanya variability atau keragaman yang timbul dalam dunia service. Ada beberapa penyebab keragaman, bisa yang disebabkan oleh pelanggan maupun yang disebabkan oleh frontliner. Misalnya kedatangan pelanggan yang tidak bisa diduga hingga di saat-saat tertentu membutuhkan lebih banyak petugas untuk melayani mereka. Keragaman permintaan pelanggan juga menyebabkan perusahaan membutuhkan keragaman skill frontliner agar dapat melayani dengan baik. Ada lagi keragaman yang ditimbulkan dari sisi frontliner yang mengganggu standar service level dan menimbulkan ketidakpuasan pelanggan. Semua keragaman ini merupakan sumber biaya service bagi perusahaan. Tentunya perusahaan perlu menentukan kebijakan untuk menyikapi keragaman ini, hendak diakomodasi atau direduksi dengan cara yang murah. Atau bahkan bisa diatasi dengan cara yang inovatif.  Inilah strategi yang harus dipilih oleh perusahaan untuk membangun service excellence.

Strategi Service Excellence

Mengatasi keragaman dalam service, dibutuhkan kompetensi mengevaluasi sumber-sumber biaya yang timbul akibat hal ini. Ada keragaman yang bisa dikendalikan dengan cara yang murah, dan ada pula yang memerlukan biaya yang lumayan atau dengan kemajuan teknologi interaksi dengan pelanggan, maka perusahaan sering kali membutuhkan investasi yang tidak sedikit.

Ada tiga pendekatan yang dapat dipilih oleh perusahaan dalam menyikapi kergaman service. Pertama, Classic Accommodation Service. Strategi ini bisa menjadi pilihan jitu untuk perusahaan yang bertarung di basis fitur atau benefit service yang disampaikan dengan cara face to face dengan pelanggan. Perusahaan yang memilih strategi ini cenderung terus menambahkan kenyamanan dalam komponen offer-nya. Ini sangat relevan karena memang ada sekelompok pelanggan yang sangat menilai soal kenyamanan. Keragaman sering datang karena permintaan pelanggan yang sangat personal. Tentu saja, menambahkan fitur kenyamanan sangat berkorelasi positif dengan penambahan biaya service. Namun, penambahan biaya ini sering kali dapat diimbangi dengan pendapatan perusahaan.

Di samping, pelanggan mau membayar lebih mahal untuk sebuah kenyamanan dilayani secara personal, yang puas juga tidak sungkan-sungkan melakukan cross selling atau membeli lebih sering. Airline first class, business class misalnya, satu pramugari melayani secara intensif 5–10 pelanggan. Bandingkan dengan economy class, dimana satu pramugari dalam keadaan occupancy rate tinggi dapat melayani lebih dari 20–30 orang pelanggan. Maka boleh dikatakan biaya service excellence untuk first class dan business class lebih mahal, karena di samping jumlah pelanggan per head service lebih sedikit, dalam segmen ini diperlukan frontliner yang lebih terampil. Oleh sebab itu, perusahaan perlu melakukan segmentasi untuk memilah apakah perlu memberikan classic accommodation service.

Strategi kedua adalah Classic Reduction. Strategi ini sangat bergantung pada Sisdur dan service process. Dalam strategi ini service level dapat diakomodasi dengan cara-cara yang murah. Misalnya, untuk mengatasi keragaman kedatangan pelanggan, diciptakanlah sistem reservasi. Ada pula yang memberikan keuntungan tambahan bagi pelanggan yang datang di off peak hours. Atau dengan cara menawarkan paket-paket pilihan yang tersedia dengan benefit yang lebih.  Pada hari-hari raya tertentu misalnya, restoran besar hanya menyediakan paket-paket menu khusus. Hal ini akan memudahkan koki untuk mengelola keterbatasan sumber daya yang ada. Perusahaan membangun basis persaingannya pada proses, bukan pada people seperti yang terdapat dalam strategi face to face classical accommodation.

Strategi ketiga adalah Low Cost Accommodation. Jika Classic Reduction cenderung mengakomodasi keragaman service dengan cara membuat sistem dan service process untuk mencapai service level dengan sumber daya yang ada, dalam Low Cost Accommodation, service level dipastikan dicapai untuk jumlah pelanggan yang terus-menerus bertambah dan berjumlah ratusan ribu hingga jutaan. Diperlukan service process yang solid, simple, serta tidak berbelit-belit.  Investasi teknologi diperlukan untuk multiplikasi service excellence.

Contoh konkret Low Cost Accommodation adalah contact center. Sebuah pusat pelayanan pelanggan yang akan terus berkembang dan akan makin digemari. Di sini dipastikan penekanan biaya tidak menekan service level bahkan cenderung sebaliknya, meningkatkan dan menjaga service level. Salah satu Low Cost Accommodation yang paling populer saat ini adalah Call Center. Dalam strategi ini perlu dipastikan apakah pelanggan tetap dapat merasakan human touch (sentuhan personal).

Tantangan strategi ini terletak pada penentuan KPI operasional. Karena memang tujuannya mengakomodasi service dengan cara murah, perusahaan sering terjebak dengan penentuan KPI yang hanya dilihat dari sisi biaya, efisiensi, dan produktivitas yang dihitung dari jumlah pelanggan yang bisa dilayani per unit. Jika tidak diimbangi dengan KPI-KPI kepuasan pelanggan, maka perusahaan akan terjebak dalam sekadar mengadakan saluran service tanpa service. Pemantauan kinerja Call Center di Indonesia selama enam bulan berturut-turut akan mampu membuat perusahaan terus-menerus memastikan bahwa service tersedia di saluran Low Cost Accommodation-nya. (Service Excellence/Yuliana Agung, MBA.)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.