Marketing.co.id – Berita Marketing | Inovasi dalam riset farmasi berbasis biodiversitas yang dikembangkan oleh Dexa Laboratories of Biomolecular Sciences (DLBS) mendapat sorotan internasional. Delegasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) mengunjungi fasilitas DLBS di Cikarang, Jawa Barat, untuk meninjau langsung implementasi riset dalam pengembangan Obat Modern Alami Integratif (OMAI).
Director of Business Development and Scientific Affairs PT Dexa Medica, Prof. Raymond Tjandrawinata, memaparkan perjalanan DLBS yang telah dimulai sejak tahun 2005. Pengembangan produk OMAI di DLBS sangat saintifik dan terbukti secara klinis, menggunakan bahan baku dari tumbuhan maupun hewan, termasuk produk Disolf yang dikembangkan dari cacing tanah (Lumbricus rubellus) untuk membantu melancarkan sirkulasi darah.
“Sebagian besar fitofarmaka di sini diresepkan oleh dokter, bahkan dokter spesialis saraf dan jantung. Produk kami tidak hanya digunakan di Indonesia, tetapi juga diekspor ke beberapa negara ASEAN dan negara lainnya,” ungkap Prof. Raymond di Rumah Riset DLBS.
DLBS mengintegrasikan teknologi 4.0 dalam seluruh tahapan riset dan pengembangan, mulai dari penemuan bahan aktif melalui sistem Tandem Chemistry Bioassay System (T-CEBS) hingga pemantauan kualitas produk pasca-produksi. Pendekatan yang ketat ini, menurut Prof. Raymond, membuktikan bahwa produk herbal berbasis keanekaragaman hayati tidak kalah kualitasnya dibandingkan produk kimia jika melalui desain riset yang baik.
Inovasi DLBS ini diapresiasi oleh BPOM RI. Direktur Standardisasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik BPOM RI, Ibu Dian Putri Anggraweni, menyebut inovasi DLBS sebagai contoh pengembangan obat bahan alam Indonesia menjadi produk berkelas global, sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk memperkuat ekosistem riset fitofarmaka nasional.
“Dexa Medica adalah salah satu industri farmasi terbaik di Indonesia. Kita bisa berbagi best practice tentang bagaimana Dexa Medica mengembangkan obat herbal menjadi produk berkelas global,” ujar Dian Putri.
Kunjungan ini juga terkait erat dengan rencana strategis WHO. WHO-IRCH Secretariat, Dr. Pradeep Dua, mengungkapkan, bahwa WHO baru saja merilis Global Traditional Medicine Strategy 2025–2034, yang salah satu tujuannya berfokus pada regulasi produk serta praktik pengobatan tradisional, komplementer, dan integratif (TCIM).
Dr. Pradeep Kumar Dua secara khusus menekankan, bahwa pengembangan obat berbasis biodiversitas yang dilakukan Dexa Medica sejalan dengan strategi WHO. “Saya melihat bahwa Dexa melakukan integrasi dan inovasi dalam pengembangan produk yang terkait dengan keanekaragaman hayati yaitu fitofarmaka,” katanya, seraya berharap kolaborasi lintas sektor antara regulator dan industri dapat semakin ditingkatkan.
Meskipun mendapat apresiasi global, Prof. Raymond menyoroti tantangan regulasi di dalam negeri. Ia menyayangkan belum masuknya Obat Bahan Alam ke dalam Formularium Nasional Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena terbentur Peraturan Menteri Kesehatan. Padahal, di negara-negara seperti India, Tiongkok, Korea, dan Jepang, pengobatan tradisional telah terintegrasi dalam sistem jaminan kesehatan.
Selama kunjungan, para delegasi meninjau fasilitas laboratorium bioteknologi, pusat ekstraksi, dan berdialog dengan peneliti DLBS. Kunjungan ini diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat kemitraan dan mendorong Indonesia sebagai pusat riset biodiversitas farmasi tropis yang diakui dunia.