Emotionomics

Bagi anak-anak SMA di era 1980-an hingga 1990-an, mereka yang mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dianggap lebih pandai daripada anak yang mengambil jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Demikian pula, mereka yang kemudian masuk ke universitas, jurusan-jurusan yang mengandalkan kemampuan matematika, fisika, kimia, dan biologi, dianggap lebih prestisius dibanding jurusan yang berbasiskan ilmu-ilmu sosial. Jadi, anak-anak semakin dihargai bila bagian otak kirinya encer. Jurusan-jurusan yang mengandalkan otak kanan—terutama yang menyangkut seni, sering dianggap sebagai jurusan hobi, dan tidak memiliki masa depan sebaik otak kiri.

Dekade ini, telah terjadi pergeseran cepat. Otak kanan mendapatkan tempat yang semakin layak. Ketika kreativitas dan imajinasi semakin penting, otak kanan pun memainkan peran yang semakin penting. Kemajuan bisnis ternyata banyak disumbang oleh kreativitas otak kanan. Misalnya saja, peran desain menjadi sangat penting dalam menentukan kualitas produk. Tidak pelak lagi, jurusan-jurusan yang berhubungan dengan sosial dan art, semakin banyak diminati. Bahkan, sekarang ini, masuk jurusan art di UCLA misalnya, tingkat rasio yang diterima sangat kecil, atau lebih sulit dibandingkan dengan jurusan-jurusan teknik atau bisnis di sekolah top Amerika.

Daniel Goleman di tahun 1995, melalui bukunya Emotional Intelligence yang sangat laris, telah memberikan kontribusi yang besar bagaimana otak kanan memainkan peran yang penting dalam mencetak prestasi dan kesuksesan hidup manusia di banyak bidang. Kemudian di tahun 2002, Daniel Kahneman memenangkan hadiah Nobel untuk karyanya di bidang behavioral economics. Kahneman sebagai seorang ekonom tersohor menyatakan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, faktor emosional memegang peranan penting. Yang lebih baru lagi adalah buku populer karya Gladwell, yaitu Blink. Melalui buku ini, Gladwell menunjukkan bahwa model pengambilan keputusan tradisional ternyata tidak benar. Banyak proses pengambilan keputusan bisa dilakukan dengan cepat. Otak mampu menangkap pola dan kemudian cukup dengan memperhatikan perilaku, situasi, atau facial coding dalam komunikasi, maka keputusan yang tepat dan efektif bisa dilakukan dengan cepat.

Bagaimana dampak dalam dunia marketing? Akhirnya, pengaruh-pengaruh pemikiran ini tentu saja tidak dapat dihindari. Bahkan, jauh sebelum pemikiran-pemikiran di atas, pakar marketing sudah menyadari bahwa konsumen dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan produk dan merek yang akan dibeli, bertindak secara emosional. Emosi memberikan pengaruh terhadap motivasi konsumen dalam membeli. Emosi berpengaruh besar bagi konsumen dalam menilai sebuah iklan, kemasan, pelayanan, atau bahkan saat konsumen berhadapan dengan tenaga penjual.

Otak Kita

Penjelasan mengenai faktor emosi yang menentukan sikap dan perilaku konsumen ini bermula dengan pengembangan pengetahuan mengenai bagian-bagian dari otak manusia. Otak manusia seperti yang dijelaskan oleh Dea Hill, diyakini memiliki tiga bagian. Bagian kanan terdiri dari dua bagian, yaitu original brain dan limbic system. Bagian kiri atau bagian ketiga adalah neocortex.

Original brain adalah bagian otak yang pertama kali digunakan oleh konsumen saat menerima respons. Konsumen masih dalam tahap subconscious dan menangkap stimulasi dalam bentuk pola. Fungsi utama adalah menangkap visual. Apabila sumber stimulasi menarik perhatian, maka bagian otak ini akan segera bekerja. Tidak mengherankan, iklan yang baik adalah iklan yang harus menarik perhatian secara visual. Iklan yang memiliki desain buruk dan cenderung terlalu banyak kata-kata, semakin tidak direspons karena tidak memiliki stopping power.

Respons selanjutnya adalah bagian limbic system yang masih bagian otak kanan. Inilah bagian otak yang mengendalikan emosi. Konsumen yang menggunakan bagian ini, masih dalam tahap subconscious. Bagian ini bekerja dengan menghasilkan perasaan, baik senang, sedih, takut, marah, jijik, maupun surprise setelah menerima respons. Setiap konsumen yang melihat iklan, melihat desain, atau menerima pelayanan, maka dua hingga tiga detik pertama seringkali masih menggunakan kedua bagian otak ini.

Bagian ketiga, yaitu neocortex, adalah bagian otak yang kemudian membuat arti terhadap stimulasi atau memberikan alasan kenapa dia memiliki perasaan seperti itu. Jadi, konsumen memiliki atau mengungkapkan perasaan terlebih dahulu, baru kemudian berpikir, mengapa memiliki perasaan demikian. Jadi, bukan sebaliknya. Melihat sebuah iklan atau desain, berpikir terlebih dahulu dan kemudian menentukan perasaan. Tidak mengherankan, sebenarnya, konsumen lebih didominasi oleh emosi daripada rasional. Bagian otak yang mengatur emosi memiliki porsi yang lebih besar.

Emosi inilah yang menentukan perilaku konsumen, karena hal inilah yang sangat mempengaruhi motivasi konsumen. Bahkan, motivasi dalam hierarki Maslow misalnya, bagian yang lebih tinggi, sangat dipengaruhi oleh emosi. Emosi ini mempengaruhi rasa aman atau sense of security. Emosi ini menentukan kenyamanan seseorang saat konsumen menjadi bagian komunitas sosial. Emosi dalam bentuk kebanggaan ini sangat menentukan self esteem dari konsumen. Jadi, emosi konsumen jelas memberikan pengaruh besar terhadap motivasi konsumen dalam mempertimbangkan merek dan membuat keputusan untuk membeli serta menentukan kepuasan dan loyalitas konsumen.

Buat para marketer, implikasi dari emosi ini sungguh luas. Tugas marketer adalah menciptakan merek yang kuat. Merek yang memiliki loyalitas tinggi adalah merek yang sudah memiliki ikatan emosional dengan konsumennya. Konsumen yang loyal akan menggunakan pola pikir yang emosional. Jadi, mereka tidak memikirkan lagi mengapa dia loyal, atau alasan apa yang membuat dia memiliki merek tertentu. Ini seperti sudah menjadi sesuatu yang dipercaya dan menimbulkan perasaan puas dan senang. Bagian otak ketiga, yaitu neocortex, tidak difungsikan lagi.

Tidak mengherankan, banyak merek yang bergeser untuk menawarkan atribut yang bersifat emosional. Atribut fungsional yang mendorong konsumen untuk berpikir, semakin ditinggalkan. Jadi, manusia yang semakin pandai ternyata memang adalah manusia yang tetap saja lebih senang menggunakan otak bagian kanannya. Daripada menceritakan kehebatan produk Anda dengan ratusan kata, maka desain yang menarik, gambar visual yang baik, serta kata-kata pendek yang menyentuh emosi, seringkali menjadi iklan yang lebih efektif dalam membangun merek.

Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh marketer. Saat melakukan evaluasi terhadap iklan, pertanyaan yang sering dilontarkan adalah tingkat kesukaan. Marketer menggunakan waktu berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk mengevaluasi iklan. Kenyataannya, iklan di televisi atau media cetak, dievaluasi oleh konsumen dalam hitungan detik. Perasaan suka atau tidak suka terhadap iklan ini lalu menentukan apakah konsumen kemudian mencoba untuk berpikir, membandingkan dan menyimpulkan pesan yang akan disampaikan.

Misalnya saja, iklan yang familier biasanya merupakan iklan yang disukai bila ditanyakan kepada repsonden. Padahal, iklan yang sekadar disukai belum tentu efektif. Iklan yang simpel tapi unik, kemudian memberikan perasaan surprise, lebih efektif. Iklan ini akan memaksa konsumen untuk memiliki banyak perasaan, seperti terlihat di raut wajah atau facial coding. Iklan yang disukai biasanya karena sudah familier, akan membuat facial coding yang datar. Iklan ini tidak membuat perasaan yang lebih dalam dan tidak memerintahkan bagian neocortex untuk menyimpulkan arti. Maka, sangatlah penting, dalam mengevaluasi iklan, perlu melihat berbagai facial coding yang mungkin timbul. Iklan yang membuat konsumen menjadi takut, marah, sedih, dan kemudian memberi solusi senang, memiliki potensi untuk diingat dan berpengaruh terhadap tindakan konsumen selanjutnya.

Emosi ini bukan saja ditujukan untuk menciptakan merek-merek kelas premium. Emosi tetap menjadi komponen yang besar untuk merek-merek golongan bawah. Emosi jelas menjadi komponen yang sangat besar untuk produk anak-anak. Komponen emosi memang agak mulai sedikit menurun untuk konsumen remaja dan dewasa, setelah itu, semakin meningkat untuk mereka yang lanjut usia.

Aplikasi emosi bagi marketer semakin luas dewasa ini. Faktor emosi membuat pekerjaan riset pemasaran menjadi lebih menantang. Marketer harus mendesain riset dan pertanyaan kepada konsumen lebih hati-hati. Faktor emosi ini jelas memainkan peranan yang sangat penting dalam kemasan. Kalau Anda bergerak dalam bidang ritel misalnya, maka emosi ini bisa dicerminkan dalam bentuk style dan tema dari desain toko, gerai, dealer, atau kafe. Desain ini akhirnya yang memberikan sinyal emosi kepada konsumen.

Inilah saatnya Anda melakukan audit secara menyeluruh terhadap merek, iklan, kemasan, desain, dan kualitas pelayanan. Kemudian, satu pertanyaan penting adalah, “Di manakah faktor emosi dapat ditambahkan.” Kita memasuki era emotionomics! Sebuah era di mana nilai tambah dari sebuah bisnis ditentukan oleh kejelian pelaku bisnis untuk menambahkan faktor emosi, guna mempengaruhi perilaku konsumen. Sebagai langkah pertama, Anda pun perlu emosi untuk mengevaluasi emosi konsumen.(Majalah MARKETING)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.