Sign in
  • MARKETING
  • UMKM
  • INDEX
    • TOP BRAND INDEX
    • SOCIAL MEDIA INDEX
    • DIGITAL MARKETING INDEX
    • TOP DIGITAL COMPANY INDEX
  • FINANCIAL SERVICES
  • DIGITAL & TECHNO
  • LIFESTYLE
  • INTERNASIONAL
  • CONSUMER GOODS
  • OTOMOTIF
  • PROPERTY & RETAIL
  • GALLERY
Sign in
Welcome!Log into your account
Forgot your password?
Password recovery
Recover your password
Search
LogoNewsPaper
Sign in
Welcome! Log into your account
Forgot your password? Get help
Password recovery
Recover your password
A password will be e-mailed to you.
Friday, September 5, 2025
Sign in / Join
  • Tentang Kami
  • Info Berlangganan
  • Pemasangan Iklan
  • Hubungi Kami
Facebook
Instagram
Twitter
Youtube
  • MARKETING
  • UMKM
  • INDEX
    • TOP BRAND INDEX
    • SOCIAL MEDIA INDEX
    • DIGITAL MARKETING INDEX
    • TOP DIGITAL COMPANY INDEX
  • FINANCIAL SERVICES
  • DIGITAL & TECHNO
  • LIFESTYLE
  • INTERNASIONAL
  • CONSUMER GOODS
  • OTOMOTIF
  • PROPERTY & RETAIL
  • GALLERY
More
    LogoNewsPaperthe art of publishing
    Home MARKETING Emotional Brand Account
    • MARKETING

    Emotional Brand Account

    By
    Wahid
    -
    December 14, 2017
    0
    [Reading Time Estimation: 3 minutes]

    Berbicara soal komunitas merek, memang tidak bisa sebatas memelihara hubungan baik dengan mereka. Apalagi sekadar mendukung program ataupun memberikan diskon atas loyalitas mereka. Komunitas adalah bentuk lain Emotional Brand Account yang bisa kita tarik hasilnya dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, sudah barang tentu, mereka menjadi third party endorser dan menjadi “booster” penjualan.  Nah, jangka panjangnya (banyak di antara kita yang belum banyak tahu), komunitas bisa menjadi mortir hidup ketika perusahaan mengalami krisis.  Memang, istilahnya terdengar sedikit bombastis. Tetapi, marilah kita bahas bersama-sama.

    Dalam situasi di mana dunia tengah dilanda krisis, dan Indonesia belum sepenuhnya terimbas dampaknya, mari kita mendiskusikan bagaimana menyiapkan mortir hidup bagi merek kita. Toh, pada kenyataannya beberapa merek telah merasakan hal tersebut. Para rider Harley-Davidson pernah mengumpulkan kekayaan mereka (bukan sekadar uang) untuk membeli Harley-Davidson yang diancam kebangkrutan. Slankers, para penggemar Slank, langsung bersiap menjadi tameng begitu grup pujaan mereka dihujat anggota dewan karena lagunya menghina “senayan”; karyawan KemChick milik Bob Sadino pernah bersedia untuk tidak digaji selama krisis berlangsung. LSM-LSM pencari masalah justru dihalau oleh masyarakat sekitar Indocement ketika mereka akan mencari gara-gara di Indocement.

    Tulisan ini, mudah-mudahan sekaligus menjadi tanggapan terhadap “complaint” beberapa teman dari Corporate Public Relations yang juga ingin memiliki “konsumen loyal” seperti halnya merek produk, tapi merasa kewalahan karena semakin memberikan treatment pada masyarakat, justru semakin manja mereka. Dikurangi treatment, malah cenderung anarkis.  Seperti buah simalakama.

    Situasi yang hampir mirip sekarang tengah terjadi di Samarinda, lokasi di mana banyak perusahaan minyak melakukan eksplorasi. Semakin banyak berdirinya lembaga-lembaga tradisional berbasis kepentingan adat lokal menandakan kecemasan suku setempat—dalam hal ini suku Dayak—terhadap proses perkembangan sosial ekonomi yang berlangsung. Singkatnya, pasti ada yang salah dengan program-program CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (terutama minyak) setempat ketika membangun Emotional Brand Account.

    Sekadar perbandingan sederhana, ini bisa kita lihat dengan maraknya paguyuban-paguyuban yang mengatasnamakan suku Betawi di Jakarta.  Saking terancamnya eksistensi mereka di kampung halaman sendiri, mereka sampai harus membentuk jaringan sosial pengaman keberadaan mereka. Yang buruk dari model-model jaringan sosial pengaman seperti ini adalah bentuk solusi yang dihadirkan. Karena sudah di ambang keputusasaan, maka solusi fisik dan kekerasan acap kali dijadikan andalan.

    Corporate Living Brand

    Lantaran merasa tidak memiliki tanggung jawab terhadap angka penjualan, teman-teman di Corporate PR sering kali tidak memiliki semangat “bertahan hidup” sekuat teman-teman di Marketing PR (yang nasibnya sangat ditentukan oleh peraihan angka-angka profit). Berhubung Key Performance Indicator yang diberikan hanya sebatas terlaksananya program, maka sangat sedikit teman-teman di Corporate PR yang menjadikan target audiens mereka sebagai corporate living brand—sebagai merek perusahaan yang hidup dan berada di sekitar lingkungan sosialnya.

    Kalaupun ada output yang dihasilkan, biasanya hanya sebatas program CSR yang telah berlangsung baik. Kalau CSR-nya adalah penghijauan, maka pohonnya telah tertanam baik. Kalau beasiswa, penerima beasiswa sudah menerima uang bulanan secara rutin. Sekali lagi, sangat sedikit yang mempertimbangkan penerima tanaman dan beasiswa untuk menjadi “living brand” bagi perusahaan mereka.

    Padahal, dalam situasi di mana perusahaan tengah mengalami krisis, sebetulnya adalah sebuah keuntungan tersendiri jika kita memiliki pagar-pagar hidup yang melindungi perusahaan. Jangan salah, mereka bukanlah lilin yang mengorbankan diri untuk kehidupan perusahaan. Tetapi, mereka akan menyisihkan sebagian energi untuk membantu kelangsungan hidup perusahaan yang tengah krisis; karena mereka tahu bahwa energi itu mereka dapatkan dari perusahaan tersebut. Dan, dengan menyisihkan sebagian energi hidup mereka, maka mereka akan mempertahankan sumber energi kehidupan mereka sendiri. Itulah Emotional Brand Account.

    Hal ini bisa dibentuk jika paradigma awal saat menjalankan CSR dibangun atas basis outcomes, bukan sekadar output. Dengan berpikir outcomes, maka Corporate PR akan melakukan “stretching” target yang tidak berhenti hingga terselenggaranya program CSR, tapi juga harus yakin betul bahwa program tersebut berdasarkan kebutuhan masyarakat dan bisa memberdayakan masyarakat, hingga pada akhirnya bisa dilakukan sendiri oleh masyarakat tanpa sedikit pun bantuan perusahaan.

    Satu hal lain yang paling penting, Corporate PR harus mampu meyakinkan manajemen bahwa program tersebut akan  memiliki kemandirian dan kontinuitas. Kemandirian dalam arti perusahaan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya, atau justru kontinuitas di mana program tersebut akan menjamin keberlangsungan perusahaan (hingga dengan sendirinya menjadi keberlangsungan program CSR itu sendiri).

    Kontraproduktif CSR

    Key Performance Indicator yang hanya sebatas done, di mana program itu dinilai berdasarkan “sudah dijalankan atau belum”, bukannya tanpa risiko.  Tanpa kontrol efek jangka panjang, program-program CSR malah akan menimbulkan efek sosial yang semakin parah. Bukannya memperbaiki lingkungan sosial perusahaan, malah sebaliknya.

    Kembali pada kasus Samarinda, di mana masyarakat asli suku Dayak malah mendirikan lembaga-lembaga sosial eksklusif yang melindungi adat mereka, ini merupakan salah satu indikator bahwa CSR yang dijalankan banyak perusahaan di Samarinda malah kontraproduktif.

    Sebelum muncul peristiwa-peristiwa sosial yang menghebohkan, sebaiknya praktisi Corporate PR duduk bersama sejenak, kalau perlu mengundang pakar-pakar brand loyalty, agar mampu mengevaluasi kinerja program CSR. Syukur-syukur kalau dari duduk bersama tadi bisa menciptakan corporate living brand, dan menghindari terciptanya corporate killing brand. (*)

    • TAGS
    • emotional brand account
    Previous articleBank DBS Indonesia Berpartisipasi dalam Kerjasama Uang Elektronik
    Next articleDukung Integrasi Antarmoda, Kawasan LRT City Sediakan Shuttle Bus
    Wahid
    Wahid

    LEAVE A REPLY Cancel reply

    Log in to leave a comment

    Free Download

    Edisi AGUSTUS 2025

    Free e-Magz! Click here to Download!

    Edisi Cetak (Rp50.000) bisa dibeli di Tokopedia.

    TERKINI

    • (Foto) Harpelnas 2025: Pelanggan Dimanja XLSmart September 4, 2025
    • (Foto) Indosat Berbagi Kebahagiaan di Hari Pelanggan Nasional 2025 September 4, 2025
    • Apresiasi BNI Life untuk Pelanggan di Hari Pelanggan Nasional 2025 September 4, 2025
    • Customer Experience, Strategi Profitabilitas Bisnis yang Sering Diabaikan September 4, 2025
    • IDAnchor, Solusi Perlindungan Identitas Pelanggan Pertama untuk Ekonomi Berbasis Mobile September 4, 2025
    • Masif Tawaran Bodong di tengah Ketidakstabilan Ekonomi, Ngapa Gak Pilih Obligasi Aja? September 4, 2025
    • Perjalanan Estonia Menjadi Negara Digital Terdepan Dunia September 4, 2025
    • Jurus Hong Kong Menjangkau Pasar Travel Bernilai USD 230 Miliar September 4, 2025
    • Think Customer: Bagaimana Hari Pelanggan Nasional di 2035? September 4, 2025
    • Jangan Terlalu Berlebihan Merayu Konsumen Indonesia, Karena saat Ini Mereka Lebih Bijak dalam Berbelanja September 4, 2025

    EDITOR PICKS

    Jangan Terlalu Berlebihan Merayu Konsumen Indonesia, Karena saat Ini Mereka Lebih Bijak dalam Berbelanja

    September 4, 2025

    Duo Duolingo Curi Perhatian di Festival Pacu Jalur Riau

    August 29, 2025

    5 Pelajaran Integrated Marketing Concept dari Almaz Fried Chicken

    September 1, 2025

    POPULAR POSTS

    Jangan Terlalu Berlebihan Merayu Konsumen Indonesia, Karena saat Ini Mereka Lebih Bijak dalam Berbelanja

    September 4, 2025

    Restrukturisasi Berbuah Laba, VIVA dan MDIA Melesat

    September 4, 2025

    LiuGong Finance Indonesia Resmi Diluncurkan, Perkuat Solusi Pembiayaan Alat Berat

    September 3, 2025

    Free Download

    Edisi SEPTEMBER 2025

    Free e-Magz! Click here to Download!

    Edisi Cetak (Rp50.000) bisa dibeli di Tokopedia.

    Logo Marketing.co.id

    ABOUT US

    Marketing.co.id adalah sebuah portal berita dan info marketing yang mengusung tagline Portal Berita Marketing & Bisnis No. 1 bertujuan sebagai sarana berbagi informasi, belajar, diskusi, serta sharing tentang dunia marketing.

    Email: redaksi@marketing.co.id
    Email: redaksi@majalahmarketing.com
    WhatsApp: 0811 1922 9999

    FOLLOW US

    Facebook
    Instagram
    Twitter
    Youtube

    © marketing.co.id | 2025

    • Tentang Kami
    • Info Berlangganan
    • Pemasangan Iklan
    • Hubungi Kami