Nilai kekhususan dalam sebuah karya seni dan fashion adalah hal yang penting. Sancaya Rini berhasil menjadikan pewarna alami pada batiknya sebagai nilai lebih sekaligus diferensiasi yang memikat konsumen.
Batik sebagai budaya tidak hanya mengandung nilai seni dan historis, melainkan juga memiliki potensi ekonomi yang menjanjikan. Apalagi sejak resmi dilegalisasi oleh UNESCO sebagai kebudayaan Indonesia dan masuk dalam Daftar Representatif bersama 76 mata budaya lainnya pada tahun 2009 lalu. Namun bila berbicara dari sisi ekonomi, tentunya bukan hanya nilai seni, selera konsumen dan kompetisi pun menjadi faktor yang tak boleh luput diperhatikan untuk memenangkan hati target market.
Adalah Sancaya Rini, seorang perempuan yang mengabdikan dirinya untuk menelaah potensi batik dengan pewarna alam. Dalam proses membatik, pewarnaan adalah proses pencampuran zat warna tekstil dengan cara pencelupan maupun coletan pada suhu kamar sehingga tidak merusak lilin sebagai perintang warnanya. Zat warna ini pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni pewarna alam dan pewarna sintetis (kimia).
Penggunaan pewarna sintetis pada batik memang lebih dominan saat ini. Selain karena lebih mudah, proses lebih cepat, nilai komersilnya pun lebih tinggi bagi produsen ketimbang menggunakan pewarna alami. Namun, lain halnya dengan prinsip yang diyakini Rini. Ibu dari empat putra ini mengaku memang memiliki kecintaan terhadap batik. Secara turun-temurun keluarga Rini kerap mengoleksi batik. Akan tetapi, baru pada tahun 2009 dirinya tertarik belajar membuat batik secara otodidak.
“Awal membuat batik memang masih menggunakan pewarna sintetis (naftol). Setiap habis pewarnaan, limbah dari zat pewarna itu terpaksa dibuang ke tanah. Suami saya komplain, apa tidak bisa dicari solusi agar tidak banyak pencemaran. Akhirnya saya coba-coba alternatif pewarna dari bahan alam, dan ternyata berhasil. Limbah hasil pewarnaan pun aman bila dibuang ke tanah,” papar Rini soal cikal bakal batiknya.
Bahan yang biasa dia gunakan sebagai pewarna alam adalah kulit kayu pohon rambutan, tanaman indigo, buah jengkol, kulit manggis, dan sebagainya. Setelah cukup fasih dalam proses membatik dengan pewarna alam, Rini pun memberanikan diri memasarkan produknya. Brand yang dia usung melabeli kain batiknya adalah “Kanawida”. Motif yang dipilih simpel dan sederhana dengan inspirasi yang ia temui di kesehariannya, semisal garis, daun, dan ombak, dipadukan dominasi warna biru, cokelat, kuning, dan oranye.
Batik yang menggunakan pewarna alami memiliki kekhasan. Warnanya tak terlalu mencolok dan hasil pewarnaannya tak ada yang benar-benar sama. Tapi, keunikan inilah yang justru membuat batik dengan pewarna alami banyak dicari orang.
Siapa sangka konsep yang tadinya hanya ingin berkarya tanpa mencemari lingkungan mendapat apresiasi membanggakan. Rini dianugerahi penghargaan Kehati Award pada tahun 2009 dengan konsep batik pewarna alamnya. Perempuan murah senyum ini pun semakin optimistis. Dia lantas mengekspansi brand Kanawida menjadi “Kana”, yakni label untuk pakaian jadi yang dibuat dari kain batik pewarna alam. Desain dan rancangan model pakaian Kana semuanya dilakukan oleh Rini. Berbeda dari Kanawida yang klasik, Kana lebih kasual dan menyasar segmen muda.
Di pasaran, satu lembar kain batik Kanawida dibanderol mulai Rp1,2 juta. Kain batik dengan wujud scarf dan selendang berbahan sutera misalnya, dijual seharga Rp350.000 hingga Rp950.000. Sedangkan harga kain panjang berbahan lain Rp650.000-Rp1,2 juta. Adapun harga kemeja dan pakaian jadi dari Kanagoods dibanderol Rp300.000 sampai Rp1,2 juta.
Sarjana Ilmu Pertanian lulusan Universitas Gadjah Mada ini mengakui dirinya memang menyasar segmen middle up. Konsumen Kanawida biasanya berasal dari ekspatriat dan sosialita. Bukan apa-apa, Rini memang sengaja membatasi pasarnya. Pasalnya, proses untuk membuat satu lembar kain batik dengan pewarna alam sangat rumit. Butuh waktu minimal 10 hari untuk satu lembar kain batik, jauh lebih lama ketimbang proses membatik dengan pewarna kimia.
Belum lagi banyak faktor yang memengaruhi, seperti ketersediaan bahan pewarna dan bahan baku, cuaca dan standar quality control (QC) dari tiap-tiap warna kain yang tidak bisa diprediksi hasilnya. Otomatis jumlah kain dan pakaian yang ia produksi sangat terbatas. Namun menariknya, hal ini justru menjadikan produk Kanawida dan Kanagoods menjadi eksklusif.
“Karena ini menggunakan pewarna alam, jadi banyak hal yang tidak bisa diprediksi. Kain ini juga semuanya buatan tangan. Sebetulnya tawaran untuk ritel dan fashion designer sangat banyak, tapi saya membatasi diri karena takut tidak bisa memenuhi permintaan pasar,” ungkap Rini dengan rendah hati.
Berdayakan Lingkungan Sekitar
Tidak hanya lingkungan alam, kepedulian Rini akan pemberdayaan masyarakat, terutama perempuan, di sekitar rumahnya pun sangat tinggi. Berkat Kanawida dan Kanagoods yang ia produksi di rumahnya di Pamulang, Rini berhasil merangkul 10 orang ibu dari lingkungan sekitarnya untuk dilatih dan berkarya bersamanya di workshop Creative Kanawida.
“Awalnya supaya mereka ada kegiatan. Lama-kelamaan justru bisa menghasilkan uang dan berdampak pada kondisi ekonomi mereka,” ujar kelahiran 11 Agustus 1959 ini.
Secara distribusi Kanawida dan Kanagoods dijual di Stow Store, The Buya, Cipete Raya; The Art & Science Grand Indonesia; Alun-Alun Indonesia; Ore, Surabaya; On Market Go+, Surabaya; dan The Goods Dept. Sedangkan untuk komunikasi brand, Rini yang dibantu oleh keempat putranya mengoptimalkan media sosial Instagram, menggandeng artis sebagai endorser, serta aktif mengikuti berbagai pameran batik.
Angelina Merlyana Ladjar
MM.07.2017/W