Siapa yang tidak kenal Kevin Lane Keller? Salah satu pemikiran Keller paling terkenal adalah konsep Consumer-Based Brand Equity (CBBE). Dalam bukunya, Strategic Brand Management, Keller mengutarakan bahwa konsep ini melakukan pendekatan ekuitas suatu brand berdasarkan perspektif dari konsumennya, secara individual maupun organisasi.
Pemikiran dari konsep CBBE didasarkan pada kekuatan suatu brand. Kekuatan itu terletak pada apa yang berada dalam pikiran dan hati pelanggan.
Menurut Keller, tantangan yang dihadapi para marketer dalam membangun brand yang kuat adalah memastikan pelanggannya memiliki pengalaman yang tepat dengan produk tersebut. Pengalaman itu kemudian akan memunculkan perasaan, pikiran, kepercayaan, persepsi, dan opini tentang brand tersebut, baik atau buruk.
CBBE positif yang dihasilkan dari pengalaman baik akan memberikan keuntungan kepada perusahaan. Misalnya saja, pelanggan lebih bisa menerima perluasan produk dari suatu brand, lebih tidak sensitif terhadap kenaikan harga, dan berinisiatif mencari cara baru dalam mendapatkan produk pada jalur distribusi yang baru.
Salah satu cara untuk menciptakan CBBE positif adalah brand yang kuat. Dalam membangun brand yang kuat, ada empat langkah yang harus ditempuh. Setiap langkah tersebut mewakili pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Who are you? (identitas brand)
- What are you? (makna brand)
- What about you? What do I think or feel about you? (respon terhadap brand)
- What about you and me? What kind of association and how much of a connection would I like to have with you? (hubungan dengan brand)
Keempat pertanyaan itu ditampilkan pada sebuah model piramida Brand Resonance atau Resonasi Merek. Model piramida ini mendeskripsikan cara untuk membuat hubungan loyalitas yang aktif dan intens dari pelanggan terhadap brand.
Model ini turut mempertimbangkan peran brand positioning terhadap apa yang pelanggan pikirkan, rasakan, dan lakukan serta sejauh mana mereka terhubung dengan brand. Setiap implikasi yang diciptakan di dalam model ini akan memengaruhi kekuatan brand pada pembentukan ekuitas brand atau nilainya.
Brand yang kuat pada akhirnya adalah brand yang membuat si pelanggan begitu terikat. Hasilnya, pelanggan akan menjadi ‘misionaris’ dalam berbagi kepercayaannya dan menyebarkan berita tentang brand tersebut.
Siapa yang tidak mau memiliki brand seperti itu? Pastinya ada kendala dalam membangun brand yang kuat. Membangun saja sudah sulit, apalagi diterpa tantangan kondisi ekonomi seperti sekarang ini.
Melalui teori-teorinya, Keller dapat memberikan solusi terhadap masalah terbesar para marketer itu. Jangan lewatkan kesempatan mendengar dan belajar secara langsung dari pakar branding dunia ini di Indonesia Brand Summit pada 3 Maret mendatang.