Co-Creation: Siapkah Konsumen Indonesia? (Bagian 2)

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

www.marketing.co.id – Pada edisi bulan lalu, saya sudah memaparkan contoh keberhasilan dan kegagalan co-creation di pasar global dan pasar Indonesia. Pada bagian akhir tulisan, saya membuat kesimpulan, membidik segmen pasar yang tepat untuk sebuah strategi co-creation adalah sangat penting.

Misalnya, konsumen di Indonesia yang sudah berumur di atas 50 tahun dan mereka yang termasuk golongan sosial kelas atas, sungguh target pasar yang tidak mudah untuk co-creation. Mereka lebih senang untuk dilayani atau menjadi konsumen pasif yang menerima pelayanan. Kelompok ini sudah terbiasa memiliki banyak asisten dalam menjalankan aktivitasnya, mulai dari sekretaris, pembantu, sopir, dan asisten pribadi lainnya. Tidak mengherankan, segmen ini sungguh sulit untuk terlibat atau berpartisipasi dalam co-creation. Adaptasi kelompok ini terhadap teknologi baru—terutama internet—relatif lambat. Mereka sudah merasa nyaman dengan cara-cara bermacam perusahaan melayani mereka.

Di satu sisi, mereka yang masih muda—berumur di bawah 20 tahun dan bisa dikategorikan termasuk digital native—sebagian besar tidak memiliki daya beli yang memadai untuk menjadi target perusahaan yang menerapkan co-creation. Banyak perusahaan harus menunggu agar segmen ini semakin bertumbuh terlebih dahulu.

Walaupun demikian, ada banyak perspektif strategi co-creation lainnya yang perlu dipertimbangkan selain target pasar. Co-creation adalah strategi yang dalam penerapannya memiliki berbagai tingkatan. Inilah salah satu kunci penting untuk membuat sebuah strategi co-creation menuai keberhasilan.

Paling tidak, ada empat tingkatan co-creation dapat dapat dipilih sebuah perusahaan. Pertama adalah co-defining. Ini adalah fase pertama dari co-creation. Partisipasi dari konsumen relatif tidak besar pada fase ini. Konsumen turut berpartisipasi dalam menentukan jenis produk atau layanan yang akan mereka beli atau gunakan. Dalam hal ini, perusahaan hanya perlu menyediakan berbagai alternatif yang dapat dipilih oleh konsumen.

Tingkatan yang lebih tinggi adalah co-designing. Dalam hal ini, partisipasi dari konsumen lebih dalam lagi. Mereka yang menentukan preferensi terhadap sebuah produk atau layanan. Mereka mungkin sudah menentukan atribut yang penting buat mereka, Produk dan layanan dari hasil co-defining pastinya sudah semakin customized.

Bila perusahaan dan konsumen sudah sama-sama siap, mereka bisa masuk dalam fase co-developing. Ini adalah sebuah strategi ketika konsumen bukan hanya menentukan pilihan, tetapi sudah diberikan alternatif solusi produk atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan mereka. Konsumen yang menentukan fitur dan bentuk produk atau layanan yang mereka terima.

Fase terakhir dari co-creation adalah co-delivering. Konsumen sudah berpartisipasi seperti fase-fase di atas, tetapi mereka melakukan hal yang lebih. Misalnya saja, mereka melakukan delivery sendiri atau mengintegrasikan dengan aktivitas lainnya.

Kalau kita berada di sebuah kafe, sebagai konsumen kita diberi hak untuk menentukan berbagai pilihan rasa dan ukuran dari pesanan kopi kita. Artinya, konsumen sudah terlibat dalam co-defining. Bila kemudian kita diberikan kebebasan untuk mengambil jenis gula sendiri, mengambil cream sendiri, atau berbagai tambahan bahan lainnya, maka sebagai konsumen kita sudah memasuki fase co-designing.

Seandainya kemasan, kopi dan keseluruhan produk adalah hasil ramuan kita semuanya, konsumen sudah mulai masuk fase co-developing. Praktis, konsumenlah yang membuat jenis minuman sendiri. Konsumen bisa dikatakan berpartisipasi dalam co-delivering bila kemudian dia mengintegrasikan proses pembelian kopi ini dengan aktivitas lainnya, seperti mendatangkan mesin pembuat kopi dalam sebuah pesta.

Intinya, co-creation pada tingkatan yang tertinggi pastilah menghasilkan sebuah produk dan layanan yang semakin customized. Konsumen ingin mendapatkan pengalaman yang berbeda. Perusahaan harus menciptakan nilai tambah, pengalaman atau produknya dengan konsumen secara individu. Bisa dibayangkan, bila hal ini terjadi, perusahaan memerlukan sebuah platform teknologi. Internet memungkinkan semuanya ini terjadi. Kemampuan internet untuk melakukan mass customization sungguh luar biasa.

Camiseteria.com, perusahaan apparel dari Brazil, adalah contoh perusahaan co-creation. Mereka mendorong konsumennya untuk melakukan desain t-shirt yang mereka inginkan. Desain inilah yang kemudian menjadi hasil produk co-creation. Setiap konsumen dapat membuat desain mereka sendiri. Perusahaan kemudian menyediakan platformnya sehingga memungkinkan pengalaman unik dari setiap konsumennya bisa terpenuhi. Kepuasan dan loyalitas konsumen akan semakin tinggi dan inilah yang kemudian membuat perusahaan mampu bertumbuh.

Mystarbucksidea.com adalah sebuah co-creation yang sukses. Melalui website yang dibangun oleh Starbucks ini, setiap orang diundang oleh Starbucks untuk memberikan ide-ide mereka. Konsumen bisa memberikan pendapat melalui vote atau mereka juga dapat berbagi pengalaman dengan konsumen lainnya. Selain mendapatkan komunitas yang akan menjadi konsumen loyal, Starbucks juga ditugaskan dalam proses inovasi. Mereka menjadi mengerti benar apa yang menjadi keinginan dan harapan konsumen. Setelah situs ini diluncurkan, dalam satu tahun pertama, Starbucks menerima 65 ribu ide dan 658 ribu memberikan vote-nya. Melalui proses co-creation inilah akhirnya Starbucks membuat berbagai produk yang lebih sehat, sesuai dengan keinginan sebagian besar konsumennya. Mereka juga akhirnya mengeluarkan sandwiches untuk makanan pagi dari daftar menu mereka setelah mendapatkan ide-ide dari konsumennya. Starbucks telah melakukan co-creation, khususnya co-defining melalui internet ini.

Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa bagi perusahaan di Indonesia yang ingin melakukan co-creation, sangatlah penting untuk menentukan tingkat co-creation yang harus dipilih. Bila konsumen yang kita bidik adalah segmen yang tidak siap, perusahaan dapat memulai dengan menawarkan co-defining. Ini adalah bentuk partisipasi yang paling rendah. Bila konsumen sudah semakin siap, perusahaan juga harus meningkatkan fase co-creation-nya.

Di masa mendatang, co-creation adalah pilihan strategi yang sangat penting. Bahkan untuk berbagai industri yang sensitif terhadap teknologi, co-creation akan hadir semakin cepat. Terlebih lagi, bila segmen anak di Indonesia sudah semakin memiliki daya beli, co-creation tidak dapat dihindarkan. Kehadiran media sosial telah membuat habit co-creation lebih mudah dibentuk.

Apa yang diperlukan perusahaan untuk mempersiapkan diri menjadi perusahaan co-creation? Dalam edisi mendatang, saya akan mengulasnya lebih dalam.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here