Bayangkan situasi di mana Anda memesan buku secara online dan setelah tiga hari yang dijanjikan, buku tersebut tidak kunjung datang.
Anda kemudian menelepon unit pelayanan konsumen, perwakilan yang melayani Anda berjanji bahwa buku tersebut akan sampai ke tempat tujuan keesokan harinya. Ternyata, hal itu tetap tidak terpenuhi.
Anda menelepon kembali keesokan harinya dan dijawab oleh orang lain yang sama sekali tidak tahu mengenai riwayat pembelian atau pembicaraan Anda dengan orang sebelumnya. Ia memberikan janji yang sama dan menekankan bahwa tidak ada rekaman pembicaraan Anda dengan staf sebelumnya.
Apakah hal seperti ini pernah Anda alami? Buku tersebut mungkin saja datang 1-2 hari kemudian, tapi apakah Anda akan berpikir untuk membeli buku lain di toko online yang sama?
Nah, sekarang kita ubah skenarionya. Ketika Anda menelepon unit layanan pelanggan untuk pertama kali, perwakilan perusahaan tersebut akan mengatakan bahwa buku tersebut sedang tertahan di persinggahan dan meyakinkan Anda bahwa benda itu akan mencapai tujuan dalam waktu satu hari.
Ia bahkan memeriksa apakah Anda sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya, misalnya ketika Anda sudah memesan buku satu bulan yang lalu. Buku tersebut sampai di tangan Anda keesokan harinya dan Anda mendapat panggilan telepon dari perusahaan tersebut untuk konfirmasi dan menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan dalam pengiriman. Apakah Anda akan berpikir untuk membeli lagi dari toko tersebut?
Perbedaan utama antara kedua keadaan tersebut adalah kemampuan perusahaan terkait untuk membalik keadaan yang tidak nyaman bagi konsumennya dan menyelesaikannya dengan tingkat kepuasan yang tinggi.
Ini adalah perbedaan yang bisa berdampak pada pengalaman pelanggan walaupun situasi dan kondisi saat itu tidak mendukung bagi perusahaan.
Secara sederhana, pengalaman pelanggan adalah hasil keseluruhan hubungan yang dimiliki oleh pelanggan dengan pelaku bisnis dan didasarkan pada setiap interaksi serta pemikiran yang dimiliki oleh konsumen terhadap perusahaan tersebut.
Konsumen yang memiliki pengalaman positif tentu saja akan menjadi lebih loyal terhadap suatu perusahaan atau merek.
Konsumen bisa berinteraksi dengan brand melalui banyak titik atau kanal (Web, perangkat bergerak, jejaring sosial, toko ritel, kios-kios). Walau demikian, sering kali tampak tidak ada konsistensi antarkanal. Inilah yang biasanya menjadi sumber ketidaknyamanan.
Konsumen hanya akan berinteraksi dengan Anda sebagai entitas tunggal. Mereka tidak akan peduli jika perusahaan tersebut memiliki tim, orang atau pihak yang berbeda-beda dalam kepengurusan sebuah akun Twitter, atau layanan pelanggan via telepon.
Pernahkah Anda mengalaminya, seperti apa pengalaman Anda dengan pelayanan sebuah perusahaan? Beritahu kami dalam kolom komentar.
Editor: Sekar Ayu