Brand Diagnostic dan Hasil Pengukuran Top Brand Index Analisis Pada Industri Asuransi Jiwa

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

MARKETING.co.id – Masyarakat Indonesia masih termasuk kategori un-insured, karena tingkat penetrasi asuransi jiwa baru sekitar 10%. Di sisi lain, jika kita melihat pertumbuhan premi asuransi jiwa selama lima tahun terakhir, yang mencapai pertumbuhan rata-rata per tahun (CAGR–compounded average growth rate) pada periode tahun 2006–2010—yang mencapai 30%, tidak dapat dibantah bahwa industri asuransi jiwa di Indonesia masih sangat “sexy”, dengan artian potensinya masih sangat besar. Dan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap pentingnya asuransi jiwa juga terus meningkat. Bagaimana diagnosis kondisi merek-merek di industri asuransi jiwa berdasarkan hasil survei Top Brand yang diselenggarakan oleh Research Division Frontier Consulting Group? Apa langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pemilik/pengelola merek berdasarkan hasil diagnosis melalui brand diagnostic?

Top Brand Index (TBI) dihitung berdasarkan pengukuran tiga parameter yang didapat dari hasil survei langsung kepada pelanggan suatu produk/jasa dari berbagai merek dalam kategori tertentu. Parameter pertama adalah top of mind brand awareness (TOM BA), yang merupakan indikator sejauh mana kekuatan merek tertentu menguasai benak pelanggan (mind share). Parameter kedua adalah last usage (LU), yaitu merek yang responden gunakan saat ini/terakhir kali (market share). Ketiga adalah future intention (FI), yang merupakan indikator loyalitas responden terhadap merek produk/jasa yang ingin digunakan/dikonsumsi di masa mendatang (commitment share).

Selain mengukur tingkat popularitas merek (TBI), ketiga parameter tersebut juga dapat digunakan untuk melakukan brand diagnostic. Empat zona dalam brand diagnostic dibentuk dari perbandingan TOM BA dan LU sebagai sumbu X, dan perbandingan FI dan LU sebagai sumbu Y. Dengan memplot nilai FI/LU dan TOM BA/LU merek-merek yang disurvei, kita dapat melakukan diagnosis merek tersebut. Di bawah ini adalah brand diagnostic hasil survei TBI 2012 untuk kategori asuransi jiwa (lihat gambar).

Di zona NY ada tiga merek, yaitu Prudential, Manulife, dan Allianz. Terlihat dari ketiga merek itu, Prudential adalah yang terkuat. TBI merek Prudential secara konsisten terus meningkat. Perolehan premi bruto melaju dengan kecepatan rata-rata, CAGR 28,1%, dari sebesar Rp5,5 triliun di tahun 2007 menjadi Rp14,8 triliun di tahun 2011 (lihat tabel). Dengan didukung jumlah agen yang mencapai 300 ribu lebih, maka jika tidak ada hal luar biasa yang terjadi pada perusahaan itu, merek Prudential masih akan perkasa untuk setidaknya 3–5 tahun ke depan. Untuk mempertahankan kepemimpinan pasar, adalah waktu yang tepat bagi Prudential untuk lebih agresif lagi bergerak dengan terus menambah jumlah agennya. Sedangkan Manulife, dengan CAGR selama periode tahun 2007–2011 mencapai 30,3% dan merek yang sehat, punya peluang yang baik untuk terus berkembang lebih jauh.

Asuransi Jiwasraya berada di zona NX sendirian. Walaupun perolehan premi masih terus meningkat dengan CAGR (2007–2011) mencapai 20,5%—masih di bawah rata-rata industri yang mencapai 30%—namun problem retensi akan menjadi batu sandungan bagi pertumbuhan merek ke depannya. Hal itu juga dapat dilihat pada TBI yang terus menurun dari tahun ke tahun.

Dalam zona MX ada ASKES, AXA Mandiri, AJB Bumiputera 1912, dan Asuransi Jiwa Sinarmas. Keempat merek tersebut terdiagnosis mengidap problem retensi yang rendah. Jika problem tersebut tidak segera dicari jalan keluarnya, cepat atau lambat merek tersebut akan terus melemah daya saingnya. Terlebih kondisi yang terjadi pada AJB Bumiputera 1912, nilai TBI terus merosot dari tahun ke tahun dan laju pertumbuhan preminya paling kecil dibanding merek lain.

Pertumbuhan premi Asuransi Jiwa Sinarmas tergolong sangat baik, dengan laju rata-rata selama periode tahun 2007–2011 mencapai 30,9% (di atas rata-rata industri), sekalipun dengan performasi merek yang tidak sebaik laju pertumbuhan preminya. Dari data yang ada, dapat disimpulkan bahwa perolehan premi didapat dari captive market. Sesungguhnya hasil diagnosis merek Asuransi Jiwa Sinarmas mengidap “penyakit berbahaya” yang harus segera dicarikan terapi yang tepat agar tidak menjadi “kanker” yang dapat membunuh merek tersebut.

AIA Financial dan Bumi Asih Jaya berada di zona MY. Diagnosis menunjukkan bahwa kedua merek tersebut memiliki daya tarik di masa mendatang, karena pelanggan memiliki persepsi yang baik atas produk/jasa yang ditawarkan. Kemungkinan mereka mendapat keuntungan dari word of mouth yang positif dan switcher dari merek lain, walaupun kedua merek tersebut memang tidak begitu aktif dalam mengomunikasikan mereknya. Dari kedua merek itu, AIA Financial merupakan merek yang paling kuat. Selain dari skala perusahaan maupun channel yang digunakan, yaitu BCA, agen AIA Financial yang hampir mencapai angka 10 ribu juga merupakan armada komunikasi merek yang tidak kecil. Hasil yang didapat AIA dengan strategi seperti itu adalah pertumbuhan rata-rata premi lima tahun terakhir (2007–2011) mencapai 35% per tahun, dari Rp1,3 triliun (tahun 2007) menjadi Rp4,4 triliun pada tahun lalu.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa mengamati TBI dari tahun ke tahun akan sangat bermanfaat bagi pemilik/pengelola merek. Brand diagnostic menjadi alat pelengkap yang memperkaya analisis dan menjadi alat yang sangat membantu dalam menemukan “penyakit-penyakit” yang kemungkinan diidap oleh suatu merek. Dengan diagnosis yang tepat, maka pemilik/pengelola merek dapat mencegah suatu “penyakit” menjadi penyakit kronis yang merusak atau bahkan membunuh mereknya. (Suhartono Chandra)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here