Brand Competency Dependence

0
[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Banyak perusahaan yang sombong! Berkali-kali kita menemukan dan membicarakan perusahaan yang begitu. Mereka selalu membangga-banggakan kompetensi inti mereka, yang justru membuat mereka terjebak pada kompetensi tersebut. Merek tersebut akhirnya “bagaikan katak dalam tempurung”: kadang-kadang kompetensi yang dimiliki sebuah merek tidak efektif lagi, namun pemiliknya tetap mempertahankannya.

Tentu saja banyak hal yang menjadi alasan mengapa kompetensi merek tersebut tetap dipertahankan. Beberapa alasan di antaranya adalah kelengahan merek dalam menggarap pasar, kemandulan merek dalam berinovasi strategi, bisa pula karena sulitnya melepaskan budaya perusahaan yang sudah usang. Jadi, brand competence dependence adalah kelakuan sebuah merek yang terlalu mengandalkan kompetensi masa lalu dan cenderung mempertahankannya tanpa memperhatikan gelombang pasar yang terjadi saat ini dan masa depan.

Kebiasaan buruk itu biasanya melanda pemimpin pasar (market leader). Ini bisa dilihat dari budaya perusahaan yang sudah tertanam sejak lama dan ogah berubah. Yang paling mudah diamati ialah terkait identitas, misi, logo merek, dan sebagainya. Coca-Cola adalah coke, General Motors sama dengan Chevy, Digital Equipment yaitu mini-komputer. Mereka sulit berubah sebab terlalu mengandalkan kompetensi awal. Di marketing politik, misalnya, PDI Perjuangan akhirnya harus mengakui kekuatan lawan dalam pemilihan legislatif tahun 2009 lalu karena terus berkutat pada citranya yang menjadi partainya wong cilik dan petinggi partainya selalu menganggap bahwa mereka memiliki massa yang sangat loyal dan tidak mungkin berpindah serta menganggap bahwa mesin politik mereka sangat kuat, tetapi kenyataannya sangat berbeda.

Mayoritas kompetensi berkembang dari fungsi inti yang kemudian bertindak sebagai penggerak sebuah merek. Coba masuklah ke hotel, maka Anda akan tahu jika kompetensi utamanya berada di bagian operasional. Di Unilever, umpamanya, kompetensi di bidang pemasaran lebih merajai. Sedangkan di Avon, dominasi kompetensi dipegang oleh bagian penjualan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila ada satu bagian yang dominan di antara bagian yang lain. Dominansi pada satu bagian inilah yang biasanya mengakibatkan ketergantungan pada kompetensi.

Jadi, bentuk ketergantungan pada kompetensi bisa bermacam-macam, antara lain ketergantungan pada penelitian dan pengembangan, desain, penjualan, promosi, layanan, dan sebagainya. Kembali lagi ke fokus bisnis dari perusahaan itu bahwa strategi utamalah yang pada akhirnya mengejawantahkan kompetensi merek tersebut. Jika Teh Botol Sosro dipandang sebagai teh saja, mereknya tidak bisa kuat di bawa ke lini bisnis yang lain; Baygon dipersepsikan sebagai obat anti-nyamuk sepanjang hari karena sejak dulu kompetensi mereknya di sana. Gerakan dari Tolak Angin yang dikomandani Irwan Hidayat berusaha menghilangkan ketergantungan kepada kompetensi Tolak Angin tok, tetapi mereka berusaha keluar dari ketergantungan dengan membuat Tolak Angin Flu, Batuk, Anak dan lain-lain. Walaupun transformasi ketergantungan ini masih jauh dari harapan, tetapi langkah Irwan Hidayat ini sangat brilian.

Solusi Kompetensi

Bagaimana caranya untuk mengetahui bahwa brand competence kita bermasalah? Ada kalanya kita mengetahui pada saat melakukan transformasi atau rekayasa ulang, reorganisasi, ataupun improvement namun gagal. Apa yang kita lakukan tidak ada tanda-tanda ke arah yang positif, semangat kerja juga menurun. Kalau sudah begitu, kinerja merek akan semakin suram. PDI Perjuangan tadi, misalnya, atau juga Partai Golkar—yang notabene sebelumnya partai politik raksasa—akhirnya harus kehabisan suara mereka karena proses kompetensi dan transformasi yang buruk. Jika tidak ada transformasi kompetensi, maka hampir dipastikan bahwa lima tahun ke depan partai-partai tersebut akan semakin kerdil menjadi di bawah 10%.

Kalau sudah demikian, solusinya seperti apa? Di sinilah tugas marketer yang mesti jeli dalam mengikuti perkembangan pasar. Marketer atau pemilik merek bisa menyiasatinya dengan mencari pasar baru atau ekspansi dari ke hulu dan hilir. Sebagai contoh, IBM yang beranjak dari server kemudian memberanikan diri masuk ke pasar chip dan perangkat lunak komputer seperti Dell dan HP. Jadi, bukan hanya mainframe. Louis Gersner yang berusaha keluar dari kompetensi awal dengan memutuskan untuk membeli PriceWaterhouseCoopers senilai 3,5 miliar dolar AS untuk meningkatkan jangkauan pada layanan konsultasi tingkat tinggi,  dan pada tingkat rendah mengakuisisi Daksh eServices, perusahaan call center terbesar di India.

Dan, langkah terakhir bisa ditempuh dengan cara membangun kompetensi merek yang baru. Ini merupakan langkah yang paling ekstrem yang bertujuan untuk menumbuhkan bisnis berdasarkan kompetensi tersebut. Yang juga harus dipahami marketer, melakukan kanibalisasi bisnis lama untuk menumbuhkan bisnis baru pasti sangat sulit dilakukan. Mengatasi kebiasaan merusak, apalagi kalau sudah mendarah daging, tentu adalah hal sulit. Langkah ini membutuhkan waktu transisi yang tidak sebentar. Kodak, kompetensi intinya adalah membuat film foto, tetapi manajemen merek tersebut menyadari bahwa ketergantungan pada kompetensi itu dapat menjadi penyakit mematikan.

Kini Kodak sedang mengalami transformasi yang sulit untuk menjadi pemimpin dalam kancah fotografi digital. Perusahaan tersebut telah mengeluarkan investasi 3 miliar dolar AS yang diambil dari penjualan film dan kamera manual untuk mendanai teknologi itu. Perusahaan juga terpaksa mengurangi dividen sahamnya 70% untuk mendapatkan dana tunai. Strategi tersebut membawa dampak yang berat bagi para pegawai. Buktinya, pada Juli 2005 Kodak mengurangi 10.000 karyawannya, setelah pada awal tahun Kodak mengumumkan pengurangan 12.000-15.000 karyawan.

Bagi Kodak, tidak ada cara lain selain membangun kompetensi inti. Perusahaan pun membuat kesepakatan dengan Intel dan Adobe Systems yang memungkinkan konsumen untuk mengedit, mencetak, dan mengirimkan foto melalui personal computer mereka. Serta, sejumlah akuisisi dan kesepakatan dengan perusahaan Amerika dan Eropa yang akan membawa Kodak ke pasar foto kesehatan yang bagus.

Di marketing politik, misalnya, merek PDI Perjuangan harus membangun kompetensi baru yang lebih mengena dengan target pasar. Partai berlambang banteng moncong putih itu tidak bisa lagi mengandalkan kompetensi lamanya yang sekadar membela rakyat kecil dan punya mesin politik yang tangguh. Di pasar jamu, Kuku Bima di bawah komandannya, Lina, lumayan aktif membangun kompetensi baru menjadi tidak sekadar jamu kuat, tetapi sekarang juga dipandang sebagai minuman energi. Ikon Mbah Marijan, petinju Chris Jhon, dan lain sebagainya cukup sukses mendongkrak kompetensi baru merek ini.

Maka dari itu, sebagai marketer, kita jangan mudah bergantung pada kompetensi tertentu. Karena, kalau itu terjadi, berarti kita akan menjadi “pecandu narkoba” yang tidak dapat hidup normal. Kita hanya main di dunia sendiri, seperti penderita autis, sebab visi merek dibatasi oleh pemikiran yang sempit. Ingat, dunia pemasaran tidak selebar daun kelor. Juga, jika Anda produktif dan inovatif, maka sukses akan mengikuti Anda, kemana pun Anda pergi. (www.marketing.co.id)