Marketing.co.id – Berita Financial Services | Di tengah isu PHK dan sulitnya mencari pekerjaan, ada satu bidang pekerjaan yang dapat dimasuki oleh siapapun, termasuk generasi muda. Bidang pekerjaan tersebut yaitu agen asuransi. Kelebihan profesi ini jam kerjanya fleksibel dan bisa mendapatkan penghasilan tanpa batas, sesuai dengan produktifitas dalam menjual polis asuransi.
Dikutip dari laman Qoalaplus.com, agen asuransi menurut UU no 2 tahun 1992 pasal 1 ayat 10 adalah seseorang atau badan hukum yang melakukan kegiatan berupa memberikan jasa atau memasarkan jasa asuransi atas nama penanggung atau perusahaan asuransi.
Sementara menurut OJK atau Otoritas Jasa Keuangan, agen asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan hukum namun bertindak atas nama perusahaan asuransi konvensional maupun syariah serta memenuhi persyaratan untuk mewakili perusahaan asuransi dalam memasarkan produk asuransi seperti yang tertuang dalam Undang-Undan Nomor 40 tahun 2014 tentang perasuransian.
Jadi, bisa kita simpulkan bahwa agen asuransi merupakan profesi di dunia asuransi yang bekerja membantu perusahaan asuransi memasarkan jasa atau produk asuransi kepada masyarakat. Kemudian, ia akan mendapatkan penghasilan atas setiap penjualan atau produk yang terjual baik berupa asuransi jiwa, kesehatan, maupun jenis asuransi lainnya.
Baca juga: Memahami Profesi Agen Asuransi
Penghasilan agen asuransi dihitung dari komisi yang didapatkan dari setiap penjualan yang mereka lakukan. Semakin banyak produk asuransi yang bisa agen asuransi jual setiap bulannya, semakin tinggi pula pendapatannya, terlebih jika perusahaan asuransi menentukan persentase komisi yang tinggi untuk setiap produk yang terjual.
Dikutip dari situs roojai.co.id, komisi yang diterima agen asuransi mengacu dengan Annual Premium Income (API) atau pendapatan premi tahunan. Besaran komisi tergantung pada perusahaan, tapi pada umumnya sekitar 5%-30%.
Misalnya saja seorang agen asuransi jiwa memiliki 25 nasabah dengan premi masing-masing Rp1 juta per bulan, di mana premi tahunannya adalah Rp12 juta. Dari situ, premi nasabah menghasilkan manfaat investasi sebesar Rp8 juta per tahun.
Sementara untuk menghitung API, yakni jumlah nasabah dikalikan manfaat investasi per tahun. Maka besaran API-nya adalah Rp200 juta. Dengan API sebesar Rp200 juta dan komisi sebesar 30%, maka seorang agen akan mendapat penghasilan sebesar Rp60 juta per tahun, atau Rp5 juta per bulan. Itu baru hitung-hitungan 25 nasabah, bagaimana jika seorang agen punya 50 atau 100 nasabah?
Asosiasi Profesi Agen Asuransi
Seperti profesi lain yang memiliki asosiasi, agen asuransi juga memiliki asosiasi yang menaungi para agen. Organisasi tersebut bernama Perkumpulan Agen Asuransi Indonesia (PAAI). Tahun ini PAAI merayakan hari ulang tahunnya yang ke-8. Tema HUT PAAI kali ini adalah “Agen Asuransi, Profesi Bermartabat”.
Menurut Herold, Ketua Panitia HUT PAAI ke-8, tema ini dipilih karena masih banyak kalangan yang memandang sebelah mata profesi agen asuransi. “Banyak orang meremehkan apa yang kami lakukan. Padahal, agen asuransi bukan hanya menjual produk, tapi juga menyelamatkan masa depan seseorang dengan memberikan kepastian dan harapan,” tegasnya.
Profesi agen asuransi juga berperan penting dalam memperkuat pondasi keuangan negara. Dengan semakin banyak masyarakat yang ikut asuransi, semakin besar pula dana yang terkumpul dari masyarakat yang dapat digunakan untuk pembangunan. Selain itu, terjadi peningkatan pendapatan para agen asuransi, yang berarti peningkatan pajak penghasilan yang dapat berkontribusi bagi negara.
PAAI berharap industri asuransi di Indonesia semakin berkembang dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya proteksi diri dan keluarga. Edukasi yang berkelanjutan tentang manfaat asuransi, inovasi produk yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta peran aktif agen dalam menjangkau berbagai lapisan masyarakat menjadi kunci utama.
PAAI juga menekankan pentingnya kerjasama yang erat dengan pihak regulator seperti Dewan Asuransi Indonesia (DAI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
“Kolaborasi ini diperlukan untuk memastikan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri, melindungi kepentingan konsumen, dan menjaga profesionalisme agen dalam menjalankan tugasnya,” tutup Herold.
Kevin Kwon, Direktur Keagenan AIA, menyatakan penetrasi asuransi di Indonesia masih rendah, sehingga dibutuhkan agen asuransi yang tidak hanya banyak dalam jumlah, tetapi juga berkualitas untuk membantu masyarakat merencanakan kebutuhan asuransinya.
“Di AIA, fokus kami adalah membangun agen yang profesional, terpercaya, dan mahir digital. Dengan pengalaman panjang sebagai perusahaan dengan jumlah MDRT terbesar di dunia selama 1 dekade, AIA memiliki tools dan ekosistem yang dirancang khusus untuk meningkatkan kapabilitas dan kemampuan para agennya,” tukas Kevin.
Kevin menambahkan, mulai dari proses rekrutmen, AIA memiliki program Premier+ yang menghadirkan jejang karir dan potensi income tanpa batas. Selanjutnya, AIA memiliki program pelatihan dan mentoring yang komprehensif untuk memastikan bahwa agennya bisa memberikan saran yang tepat dalam membantu nasabah mempersiapkan perlindungan asuransinya.
“Kami sangat percaya bahwa peran agen asuransi bukan hanya sekadar menjual produk asuransi, tetapi juga memiliki tugas mulia dalam membantu nasabah hidup lebih sehat, lebih lama, dan lebih baik,” lanjut Kevin.
Berbagai tantangan yang dihadapi PAAI
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan, bahwa hingga tahun 2023 terdapat 148 perusahaan asuransi di Indonesia yang terdiri dari perusahaan asuransi jiwa, asuransi kerugian, reasuransi, BPJS, dan penyelenggara asuransi wajib.
Seiring dengan itu, jumlah agen asuransi juga telah mencapai ratusan ribu di seluruh Indonesia. Seperti diungkapkan oleh H. Muhammad Idaham, Ketua Umum PAAI, agen asuransi memiliki peran penting dalam memberikan edukasi dan membantu nasabah memilih jenis asuransi yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Selain itu, ia juga menekankan bahwa jumlah agen di Indonesia masih jauh dari cukup.
“Indonesia adalah negara dengan populasi yang besar, dan masih banyak masyarakat usia produktif yang belum terjangkau oleh perlindungan asuransi. Karena itu, peningkatan jumlah agen, serta kualitas mereka, sangat diperlukan. Karena fungsi agen asuransi itu tidak hanya sekadar menjual produk, tetapi juga sebagai advisor yang memberikan pendapat dan panduan kepada nasabah, agar mereka mendapatkan perlindungan yang tepat,” ungkap Idaham.
Menurut Herold, agen asuransi masih menghadapi tantangan besar. Dia menyoroti dua tantangan utama, yaitu praktik poaching atau perekrutan agen secara tidak sehat, dan repricing atau penyesuaian premi akibat inflasi biaya medis. Selain itu, kualitas agen di Indonesia juga masih belum seragam.
“Praktik poaching di mana agen pindah perusahaan karena tawaran kompensasi yang lebih tinggi berpotensi menciptakan ketidakstabilan di industri dan menghambat perkembangan agen secara berkelanjutan. Soal kualitas, banyak agen asuransi yang belum memenuhi standar kualitas dalam pengetahuan produk, etika pelayanan, dan kemampuan berkomunikasi,” tukasnya.
Tantangan lain yang dihadapi adalah inflasi biaya medis, yang menyebabkan kenaikan premi asuransi kesehatan. Biaya medis yang semakin mahal, perkembangan teknologi rumah sakit, serta kenaikan harga obat membuat perusahaan asuransi harus menyesuaikan premi.
Selain itu, over-utilization di beberapa rumah sakit, di mana tindakan medis yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, juga menambah beban biaya medis. Ini berdampak pada peningkatan rasio klaim yang signifikan di perusahaan asuransi, sehingga premi harus disesuaikan.
“Ini tentu mempengaruhi daya beli dan minat masyarakat terhadap produk asuransi, dan agen harus mampu menjelaskan penyesuaian ini dengan bijak kepada nasabah,” kata Herold lebih lanjut.