3 Tren SDM di Tahun 2019

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Marketing – Pakar pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan pakar kompensasi global, Korn Ferry (NYSE: KFY) mengindentifikasi beberapa tren SDM global di tahun 2019. Dilal Ranasinghe mengatakan, beberapa faktor, termasuk persaingan pasar tenaga kerja yang sangat ketat dan arus tren data yang masif, sangat mempengaruhi cara pakar SDM dan talent acquisition melakukan pekerjaan mereka.

Head of Professional Search and Growth, ASEAN, RPO and Professional Search Business Korn Ferry menambahkan, negara berkembang seperti Indonesia, tren ini menjadi semakin relevan dalam menghadapi kekurangan tenaga ahli yang berdampak pada kenaikan gaji.

“Agar dapat menarik, mengembangkan dan mempertahankan SDM di masa depan, perusahaan perlu menyadari pentingnya kecerdasan buatan serta analitik talenta, sekaligus bersikap fleksibel dan berpikir ke depan dalam strategi manajemen talenta,” tutur Dilal.

Dilal menambahkan, pasar tenaga kerja di Indonesia memiliki keunikan, karena besarnya populasi generasi muda. Menurut Biro Pusat Statistik Indonesia, akan ada sekitar 83 juta milenial berusia 20 hingga 40 tahun yang akan memasuki usia kerja hingga tahun 2020.

Tren SDM di tahun 2019

“Generasi milennial memiliki pandangan hidup yang berbeda. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan di Indonesia perlu memperhatikan tren talenta yang akan datang seperti gaji yang dipersonalisasi, rebranding jabatan agar menjadi lebih menarik dan kreatif, serta bagaimana penilaian kinerja dilakukan,” jelasnya.

Berikut beberapa tren SDM di tahun 2019 yang mungkin relevan di Indonesia (tidak berdasarkan urutan tertentu):

  1. Gaji yang Dipersonalisasi: Silakan, Kami Mendengarkan Anda

Secara umum, divisi pembayaran dan reward di perusahaan serta konsultan SDM perusahaan membuat paket remunerasi dengan biaya yang efektif namun tetap menguntungkan karyawan. Namun dengan empat generasi berbeda di lingkungan kerja, terdapat perbedaan ekspektasi terkait gaji dan paket remunerasi.

Agar dapat memahami perbedaan keinginan akan insentif dalam satu generasi, misalnya generasi milennial, dibandingkan dengan generasi baby boomers, perusahaan mulai mendengarkan ekspektasi karyawan melalui pendekatan sosial, diskusi focus group dan survei.

Berbekal informasi yang didapat, perusahaan dapat menyesuaikan paket remunerasi, dengan beragam pilihan terkait dengan gaji, waktu bekerja yang fleksibel, cuti berbayar, penugasan keluar negeri, fasilitas pinjaman untuk pendidikan, dan lain-lain.

Pendekatan ini mengubah diskusi mengenai gaji dan remunerasi dari yang sebelumnya bersifat diskusi kolektif dengan seluruh karyawan menjadi sebuah diskusi perorangan yang penuh keakraban dengan masing-masing karyawan.

  1. Rebranding jabatan (job title) menjadi lebih menarik dan kreatif.

Fungsi dan jabatan baru terus bermunculan di seluruh industri dalam rangka menyesuaikan dengan perubahan strategi perusahaan. Dari sudut pandang eksekutif, banyak industri, seperti kesehatan, keuangan dan ritel, menciptakan fungsi Chief Experience Officer. Para pelaku industri ini memahami bahwa teknologi telah mengubah cara mereka melakukan bisnis, dan terdapat kebutuhan yang semakin meningkat bagi pelanggan untuk memperoleh pengalaman positif.

Jabatan C-level lainnya yang juga baru ada saat ini adalah Chief Transformation Officer, yang menangani manajemen perubahan, biasanya ketika proses merger dan akuisisi. Perusahaan lain juga sangat memperhatikan kesejahteraan para karyawan sehingga mereka membuat jabatan Chief Happiness Officer, dan jabatan Chief People Officer menjadi semakin umum.

Untuk menarik karyawan muda yang menginginkan jabatan yang lebih menarik dari hanya sekedar ‘associate’ atau ‘assistant’, jabatan seperti ‘data wrangler’ (yang bertanggung jawab menangani dan menginterpretasikan data), ‘legal ninja’ (asisten legal), dan ‘customer relations advocate’ terus bermunculan di banyak perusahaan.

  1. Mengkaji Ulang Sistem Penilaian Kinerja Tahunan

Dalam sebuah survei yang dilakukan Korn Ferry terhadap para profesional, hampir sepertiga (30 persen) responden mengatakan bahwa penilaian kinerja tahunan mereka tidak berpengaruh apapun terhadap peningkatan kinerja profesional mereka, dan 43 persen mengatakan penilaian kinerja tahunan tidak berdampak atau tidak membantu mereka memahami apa yang harus mereka lakukan lebih lanjut untuk meningkatkan kinerja mereka di masa depan.

Dalam survei yang sama, hampir seluruh (96 persen) responden mengatakan bahwa feedback secara real time dan diskusi terkait kinerja yang dilakukan secara reguler dengan atasan mereka sebenarnya lebih efektif dibandingkan dengan hanya satu kali evaluasi kinerja tahunan. Bahkan jika karyawan tidak bekerja di perusahaan tersebut dalam jangka waktu lama, feedback yang mereka terima secara reguler akan membantu mereka belajar, berinteraksi, dan menciptakan daya saing perusahaan yang akan menarik lebih banyak lagi karyawan di masa depan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here