Dalam artikel ini Anda akan menemukan tantangan membangun corporate brand dan retail brand di era konsumen kritis.
Marketing.co.id – Berita UMKM | Dalam lanskap bisnis modern, corporate brand (nama perusahaan) dan retail brand (nama toko) kini tak lagi berada di balik layar. Mereka menjadi wajah utama dalam komunikasi, kredibilitas, dan relasi dengan konsumen.
Di tengah naiknya tren corporate dan retail branding, ada satu kesadaran yang harus dihadapi para pemilik brand, yaitu semakin besar nama dikenal, semakin besar pula tantangan yang harus dikelola.
Banyak produk satu karakter
Meskipun membawahi banyak produk dengan gaya, segmen, dan strategi berbeda, corporate branding harus merepresentasikan satu identitas yang kuat. Contohnya, Mayora Group membawahi Beng-Beng, Torabika, Energen, Roma, dan lainnya. Masing-masing punya target pasar berbeda, tapi semua mengusung standar kualitas dan reputasi yang sama. Unilever bisa menjual sabun bayi dan produk pembersih rumah tangga, tapi tetap menjaga kesan sebagai perusahaan peduli kesehatan dan keberlanjutan.
Tantangannya adalah bagaimana menyatukan DNA brand di semua lini produk dan kanal distribusi? Bagaimana menyelaraskan pesan komunikasi di toko fisik, eCommerce, media sosial, dan layanan pelanggan? Ketidakkonsistenan akan menciptakan kebingungan. Dan, kebingungan adalah pintu masuk ketidakpercayaan.
Satu produk rusak semua ikut tercoreng
Ketika perusahaan tampil sebagai wajah utama di balik produk, reputasi perusahaan menjadi sangat rentan terhadap krisis, baik besar maupun kecil. Misalnya, satu isu keamanan makanan bisa memengaruhi persepsi terhadap seluruh lini produk makanan.
Keluhan pelanggan yang viral di media sosial terhadap pelayanan di satu gerai bisa berdampak pada seluruh jaringan ritel. Tantangannya adalah brand harus siap dengan sistem manajemen krisis yang cepat dan transparan.
Oleh karena itu, dibutuhkan protokol komunikasi yang terlatih agar tidak hanya “memadamkan api”, tapi juga membangun kembali kepercayaan publik. Menurut CEO Frontier sekaligus Founder Top Brand Award dalam seminar Branding Talk for Top Brand Achievers 2025, corporate brand adalah wajah. Kalau satu noda muncul, orang tak peduli noda itu datang dari mana. Yang terlihat wajah itu rusak.
Investasi dalam komunikasi naratif, dari produk ke makna
Di era di mana konsumen ingin tahu “apa yang perusahaan ini perjuangkan”, promosi produk tidak lagi cukup. Yang dibutuhkan adalah narasi otentik seperti apa nilai-nilai inti perusahaan? Apa dampak sosial yang diberikan? Dan, apa peran perusahaan dalam perubahan yang lebih besar?
Tantangannya adalah perusahaan perlu membangun tim storytelling yang kuat, bukan sekadar copywriter, tapi brand narator. Sebab, narasi tidak bisa dibentuk dalam semalam, perlu waktu dan konsistensi.
Contoh yang berhasil adalah Telkom Indonesia yang membangun narasi “membangun konektivitas dan transformasi digital bangsa”. Begitu juga Sociolla yang mengangkat narasi “beauty empowerment” yang mendorong konsumen merasa lebih percaya diri, bukan hanya cantik.
Corporate dan retail branding kini menjadi penentu persepsi dan kelangsungan bisnis. Tapi, membangun nama besar berarti juga mengelola ekspektasi besar. Sekali lagi, Handi Irawan mengingatkan bahwa corporate branding adalah janji. Di era media sosial, janji yang tidak ditepati akan segera disebarluaskan.
Oleh karena itu, para pemilik brand harus siap bukan hanya mengiklankan produk, tapi menghidupi cerita, menjaga reputasi, dan membangun kepercayaan setiap hari.