Ransomware Menyerang Reputasi Brand, Saatnya Marketer Peduli Keamanan Siber

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

RansomwareBrand yang kuat adalah brand yang siap menghadapi krisis, bukan hanya menciptakan kampanye.

Marketing.co.id – Berita Digital | Ketika terjadi serangan ransomware yang menjadi sasaran bukan hanya data, tetapi juga kepercayaan pelanggan, reputasi brand, dan kelangsungan bisnis. Laporan terbaru dari Unit 42 Palo Alto Networks membuka mata dunia bisnis bahwa para pelaku ransomware kini tak lagi hanya menyasar celah teknis, tapi juga celah emosional dan reputasional. Di sini dunia pemasaran harus siaga.

Philippa Cogswell, VP & Managing Partner Unit 42 Asia-Pasifik dan Jepang, Palo Alto Networks menjelaskan bahwa para pelaku ransomware kini menggunakan cara yang lebih personal, manipulatif, dan menyerang psikologi organisasi. Mereka menargetkan CEO langsung, mengirimkan surat fisik, atau menyebarkan klaim palsu untuk memicu kepanikan.

Ketika CX Jadi Korban Utama

Bagi Chief Marketing Officer (CMO), insiden ransomware bukan hanya masalah IT. Ketika layanan terganggu, aplikasi error, atau transaksi online macet, yang langsung terkena imbasnya adalah customer experience (CX). Pelanggan tak peduli siapa yang salah, mereka hanya ingin dilayani.

Jika perusahaan gagal mengomunikasikan dan mengelola krisis dengan cepat, pelanggan bisa hilang seketika. Ini memperkuat posisi keamanan siber sebagai komponen vital dari strategi pemasaran dan customer trust.

Menurut laporan tersebut, manufkatur masih menjadi industri paling banyak diserang. Diikuti sektor grosir dan ritel, serta jasa profesional dan hukum. Varian RansomHub menjadi ransomware paling aktif dan agresif saat ini. Penyerang kini menggunakan taktik EDR killers untuk melumpuhkan sistem keamanan endpoint. Bahkan, aktor siber dari Korea Utara menggunakan identitas pekerja freelance palsu yang dibuat AI untuk menyusup ke perusahaan untuk mencuri kode, lalu memeras secara internal.

Bagaimana respon Indonesia?

Berdasarkan laporan BSSN tahun 2024, terdapat lebih dari 500.000 aktivitas ransomware di Indonesia. Pemerintah pun tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber untuk memperkuat struktur tata kelola dan hukum.

Namun, dari sisi bisnis, banyak perusahaan masih menganggap keamanan siber sebagai urusan belakang layar. Padahal, menurut Country Manager Palo Alto Networks Indonesia Adi Rusli, serangan sekarang bukan hanya menghentikan sistem, tapi juga menghancurkan kepercayaan. Perusahaan butuh pendekatan keamanan berbasis platform yang menyeluruh dan proaktif.

Di tengah realitas ini, peran CMO semakin luas. Mereka bukan lagi sekadar pemimpin komunikasi dan promosi, tapi juga penjaga narasi brand saat krisis terjadi. Berikut langkah yang direkomendasikan Palo Alto untuk marketer:

  • Berkolaborasi erat dengan (Chief Information Officer) CIO dan (Chief Information Security Officer) CISO untuk memahami risiko siber yang berdampak pada pengalaman pelanggan.
  • Membangun skenario komunikasi krisis untuk menghadapi potensi kebocoran data, downtime aplikasi, atau serangan reputasi.
  • Menggunakan data pelanggan secara bertanggung jawab dan aman, bukan hanya untuk personalisasi, tapi juga untuk mempertahankan kepercayaan.
  • Melakukan simulasi “brand attack”, seolah perusahaan diserang ransomware, dan ukur kesiapan tim komunikasi.

Bukan lagi zamannya melihat keamanan sebagai masalah teknis. Dalam dunia serba digital seperti sekarang ini, keamanan siber adalah bagian dari brand equity. Ketika pelanggan merasa aman berinteraksi dengan brand, loyalitas akan terbentuk. Sebaliknya, ketika data bocor atau layanan terganggu, tak butuh waktu lama hingga brand ditinggalkan. “Keamanan siber kini bukan lagi ‘biaya IT’, tapi investasi pengalaman pelanggan,” tulis Adi Rusli.

Serangan ransomware tak akan berhenti, bahkan akan semakin personal dan canggih. Satu-satunya jalan adalah bersiap. Bukan hanya secara teknis, tetapi juga secara strategis dan komunikatif. Marketer perlu mengambil posisi bukan hanya pendorong awareness tapi juga sebagai penjaga trust dan resilience brand. Di dunia yang saling terhubung dan serba transparan, pelanggan bukan hanya ingin brand yang menarik tapi juga yang bisa dipercaya.