Penggunaan perangkat penguat sinyal (repeater) ilegal yang semakin masif belakangan ini telah membuat kualitas jaringan telekomunikasi di Indonesia semakin menurun. Hal ini membuat semakin banyak konsumen tidak dapat menggunakan layanan telekomunikasi selulernya dengan optimal.
“Repeater ilegal telah menjadi momok bagi penyelenggara telekomunikasi karena menyebabkan interferensi,” terang Alexander Rusli, Ketua Umum ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia) dalam diskusi panel dengan tema “Penyalahgunaan Penguat Sinyal Seluler, Dapatkah Ditertibkan?” di sela-sela pameran ICS 2014.
Menurutnya, yang dirugikan bukan hanya penyelenggara namun juga masyarakat pengguna karena tidak bisa optimal dalam memakai layanannya.
Akibat penggunaan sinyal (repeater) yang dipasang tak sesuai dengan spesifikasi yang dipersyaratkan oleh pemerintah dan pengoperasiannya tanpa melakukan sinkronisasi teknis dengan operator seluler yang bersangkutan, repeater tersebut justru menimbulkan interferensi pada jaringan telekomunikasi secara umum.
Menurut Alex, kualitas jaringan seluler memang belum seluruhnya baik. Oleh karenanya, ATSI meminta dukungan dari para pelanggan untuk menginformasikan di mana saja area atau lokasi yang kualitasnya belum baik . Dengan begitu, bisa segera diperbaiki dengan beberapa alternatif solusi. Bisa dengan menambah cakupan layanan atau dengan penambahan kapasitas jaringan.
Alex menegaskan bahwa ATSI sangan mendukung upaya pemerintah yang telah melakukan berbagai upaya penertiban repeater ilegal tersebut bersama pihak kepolisian. Dengan begitu diharapkan hak masyarakat untuk memperoleh layanan telekomunikasi berkualitas dapat tercapai.
Untuk diketahui, pengoperasian penguat sinyal seluler (repeater) tanpa izin juga dikategorikan sebagai praktik melawan hukum. Hal tersebut melanggar beberapa ketentuan dalam UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi.
Pertama, melakukan perbuatan yang menimbulkan gangguan elektromagnetik terhadap penyelenggaraan telekomunikasi (pelanggaran Pasal 38). Penjara 3 bulan atau denda 600 juta.
Kedua, perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan, dibuat, dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara RI tidak memperhatikan persyaratan teknis dan tidak berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (diatur pada Pasal 32).
Ketiga, penggunaan spektrum frekuensi radio tidak memiliki izin dari pemerintah, merupakan pelanggaran Pasal 33 Ayat (1) dan (2).
“Ketiga ketentuan tersebut memiliki konsekuensi pidana bila dilanggar sebagaimana diatur dalam UU Telekomunikasi, pungkas Alex.
Hayoo…jangan sembarang pakai repeater ya!
Editor: Sekar Ayu