YPKP Dukung Peningkatan Gizi Melalui Konsumsi Susu dan Nutrisi Seimbang

Jakarta, 8 November 2018 – Peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Dr. drg. Amaliya mengatakan, upaya pemerintah mengatasi berbagai masalah kekurangan gizi di Indonesia perlu diapresiasi. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan perbaikan status gizi balita di Indonesia. Proporsi status gizi sangat pendek dan pendek, menurun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8%. Demikian juga proporsi status gizi buruk dan gizi kurang, turun dari 19,6% (Riskesdas 2013) menjadi 17,7%.

Menyambut Hari Kesehatan Nasional pada 12 November 2018, Pemerintah terus mengupayakan pembangunan kesehatan melalui peningkatan kualitas gizi masyarakat. Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2018, Presiden Joko Widodo menyampaikan setiap anak Indonesia harus dilahirkan dengan sehat, tumbuh dengan gizi cukup, dan bebas stunting (tumbuh kerdil).

Amaliya mengajak seluruh pemangku kepentingan bersatu dan bekerja sama mengatasi permasalahan gizi di Indonesia. “Salah satunya dengan meningkatkan konsumsi susu dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Amaliya pada Seminar Kesehatan Publik dengan tema ‘Kebaikan Susu sebagai Salah Satu Sumber Gizi Utama Masyarakat Indonesia’ di Jakarta, Rabu (7/11).

Konsumsi Susu Masih Rendah

Menurut Amaliya, susu dan produk olahannya memiliki kandungan protein, lemak, dan vitamin yang sangat dibutuhkan guna mendukung perkembangan seseorang di setiap tahap kehidupan. Namun, konsumsi susu di Indonesia masih sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi susu masyarakat Indonesia di tahun 2017 hanya berkisar 16,5 liter/kapita/tahun, sangat rendah dibandingkan negara ASEAN lain sesuai data USDA Foreign Agricultural Service 2016 seperti Malaysia (50,9 liter), Thailand (33,7 liter), dan Filipina (22,1 liter).

Seminar Kesehatan Publik dengan tema ‘Kebaikan Susu sebagai Salah Satu Sumber Gizi Utama Masyarakat Indonesia’ di Jakarta, Rabu (7/11)

Jika bicara susu, sampai saat ini susu kental manis (SKM) kontribusinya cukup besar bagi masyarakat Indonesia. Namun kandungan gula dalam SKM memicu polemik di masyarakat beberapa waktu lalu. Untuk meluruskan berbagai perbedaan pandangan itu, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan Peraturan (Perka) Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan. Peraturan ini mewajibkan label produk susu kental manis mencantumkan keterangan “Perhatikan! Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu; Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan; dan Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.

Peraturan 31/2018 juga menegaskan susu kental manis sebagai produk susu, sejalan dengan Peraturan Kepala BPOM Nomor 21 tahun 2016 tentang Kategori Pangan. “Dalam aturan tersebut menyimpulkan susu kental manis adalah susu dan konsumsinya perlu memerhatikan aturan BPOM,” kata Amaliya.

Direktur Registrasi Pangan Olahan BPOM Anisyah, S.Si., Apt., M.P. berharap, Perka BPOM 31/2018 akan menjawab berbagai keraguan masyarakat terhadap SKM. Sesuai Perka tersebut, SKM merupakan produk susu yang dapat dikonsumsi untuk meningkatkan gizi masyarakat Indonesia. Namun, seperti halnya pangan olahan lain, susu kental manis tidak bisa dijadikan satu-satunya sumber gizi. Oleh karenanya, setiap pangan olahan harus didampingi sumber nutrisi lain agar lebih seimbang.

“Kami sebagai bagian dari Pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab untuk memastikan efektivitas National Food Control Systems, salah satunya melalui pengawasan pre market evaluation dan post market control, dalam hal ini evaluasi dan verifikasi terhadap sistem keamanan pangan yang diterapkan oleh industri,” ujar Anisyah.

Sementara itu, Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ir. Achmad Syafiq MSc. PhD menjelaskan, standar SKM mengacu pada rumusan Codex Alimentarious Commission (Codex Stan 282-1971) dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 2971-2011. Sesuai standar tersebut, susu kental manis harus mengandung protein minimal 6,5-9,52% dan kadar lemak minimal 8%.

Syafiq menegaskan, SKM juga memiliki kandungan energi yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan gizi masyarakat, termasuk anak-anak. Oleh karenanya, susu kental manis tidak masalah dikonsumsi secara proporsional. “Kalau sudah berlebih, pangan olahan apapun juga tidak boleh,” tegasnya.

Anggapan sebagian pihak yang menyatakan susu kental manis menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes juga tidak berdasar. “Tidak ada bukti ilmiah susu kental manis menyebabkan gangguan penyakit. Berdasarkan kajian lembaga kesehatan dunia (WHO) kegemukan disebabkan banyak faktor di antaranya rendahnya aktivitas fisik, rendahnya asupan serat, dan tingginya asupan energi harian total, bukan dari satu jenis pangan,” kata Syafiq.

Ketiga narasumber sepakat, edukasi mengenai pentingnya mengonsumsi susu, termasuk SKM. “Kami mengapresiasi upaya BPOM mengakomodasi masukan dari konsumen, produsen, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, maupun akademisi terkait label pangan olahan yang kemudian ditegaskan dalam sebuah peraturan,” tutup Amaliya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.