Wow… Gengsi Konsumen Kita

Gengsi! Kelas atau tipe konsumen seperti apakah yang membutuhkan gengsi? Dugaan kita, pastilah konsumen yang relatif kaya. Ini mudah dimengerti karena mereka memiliki daya beli yang lebih besar. Dengan demikian, mereka memiliki kemampuan untuk pamer. Mereka pamer kepada konsumen lain yang tidak mampu membeli atau sekadar ingin menyampaikan pesan bahwa mereka telah mencapai tingkatan status yang lebih tinggi.

Memang, untuk urusan gengsi ini, karakter konsumen Indonesia relative terlihat menonjol. Tidak mengherankan, banyak merek produk yang seharusnya tidak banyak terjual di Indonesia, tetapi tetap saja memiliki pasar yang besar. Tengok saja beberapa mal besar di Indonesia. Banyak produk-produk bermerek internasional yang terlihat di sana. Melihat gerainya yang cukup besar, pastilah mereka memiliki permintaan yang cukup besar.

You are what you drive! Ini adalah suatu slogan yang tidak banyak diucapkan tetapi terlihat nyata. Pasar Indonesia memiliki mobil yang sangat bervariasi. Untuk ukuran negara dengan pendapatan per kapita yang masih rendah, jumlah mobil mewah yang berada di jalanan relatif terlalu besar. Ini terjadi karena banyak konsumen melihat mobil bukan pada fungsinya tetapi apakah mobil tersebut membantu mereka menaikkan status mereka.

Di banyak perusahaan, mobil adalah simbol dari pangkat, jabatan dan besarnya gaji yang mereka terima. Mobil untuk direksi haruslah berbeda dengan mobil untuk para GM nya. Demikian pula, mobil untuk GM, haruslah berbeda dengan para  manajernya dan seterusnya. Ini sungguh berbeda dibandingkan dengan banyak negara, terutama di negara barat. Tengok saja Australia. Lima belas tahun yang lalu, saya pernah bekerja di negeri ini. Banyak sekretaris memiliki mobil yang lebih baik dari para manajernya dan bahkan dibandingkan dengan para pimpinan puncaknya. Kadangkala, para pimpinan puncak tidak membawa mobil. Atau mereka hanya membawa mobil hingga ke stasiun kereta api dan kemudian memarkir kendaraannya di stasiun dan kemudian menggunakan kereta api menuju kantor. Tidak ada yang aneh dengan fenomena ini. Status dan wibawa atasan, tidak jatuh karena hanya masalah mobil ini. Mereka melihat mobil sebagai alat transportasi atau sebagian memilih menggunakan mobil yang bagus karena kenyamanannya. Saya yakin, 80% pemilik mobil mewah di Indonesia, mereka membeli mobil karena gengsinya.

Audi, mobil yang baik dan berkelas. Di Eropa, ini adalah merek mobil yang sejajar dengan BMW dan Mercedes. Barangkali  mungkin memang karena kualitas merek mobil sama baiknya dengan BMW. Tapi, mobil ini jelas relatif tidak memiliki gengsi seperti BMW. Akibatnya, penjualan mobil ini relatif tidak seperti yang diharapkan oleh perusahaan ini. Ini contoh nyata  betapa faktor gengsi masih mendominasi pasar Indonesia.

Banyak mobil-mobil di Indonesia, melakukan iklan yang bukan hanya ditujukan kepada calon pembeli tetapi juga kepada mereka yang tidak mampu membeli. Mengapa? Ketika faktor gengsi menjadi hal yang penting, maka sebuah mobil haruslah memiliki awareness dan citra yang baik di mata masyarakat. Karena gengsi, maka pemilik mobil saat mempertimbangkan untuk membeli mobil, mereka selalu mempertimbangkan bagaimana orang lain melihat mereka. Mereka kurang peduli dengan kualitas produk, teknologi yang dipakai dan sebagainya, tetapi pertimbangan yang besar adalah bagaimana orang lain melihat mereka. Apakah sudah cukup berkelas atau tidak. Mereka membayangkan apa kata kawan-kawan mereka bila melihat mobil tersebut. Mereka membayangkan apa kata tetangga bila menggunakan mobil tersebut. Mereka membayangkan bagaimana petugas hotel dan valley akan melayani mereka. Mereka membayangkan bagaimana kawan-kawan yang biasa bermain golf akan katakan bila dia menggunakan mobil tersebut.

Salah satu cara menjelaskan kebutuhan gengsi bisa dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Maslow yang dikenal dengan tingkatan kebutuhan manusia. Maslow menjelaskan bahwa kebutuhan yang paling dasar dari manusia  adalah kebutuhan fisik. Ini adalah kebutuhan yang berhubungan dengan makanan dan minuman. Setelah itu, adalah kebutuhan yang bersifat keamanan dan perasaan telah terbiasa dengan lingkungan sekitar. Selanjutnya adalah kebutuhan bersosialisasi. Bila ini sudah tercapai maka kebutuhan berikutnya adalah kebutuhan self-esteem. Mereka akan menempatkan gengsi, status dan pencapaian sebagai kebutuhan utama. Kebutuhan tertinggi adalah self-actualization. Pada titik ini, mereka mulai mengisi kebutuhan yang sesuai dengan kesenangan mereka. Mereka mulai membagi dengan orang lain dan tidak terlalu peduli dengan apa yang dikatakan orang lain.

Teori Maslow ini memang sering mejadi perdebatan. Salah satunya adalah banyak yang tidak setuju bahwa kebutuhan haruslah memiliki progres seperti ini. Jadi, sebelum seseorang mempunyai kebutuhan dengan tingkat yang lebih tinggi, dia haruslah memenuhi kebutahan pada tingkat sebelumnya. Terlepas dari debat sekitar konsep ini, banyak marketer  menggunakan teori ini untuk memasarkan produknya.

Produk-produk yang menjual gengsi adalah produk yang menawarkan kebutuhan self-esteem. Kebutuhan untuk meningkatkan status mereka di mata orang lain. Melihat jumlah orang kaya di Indonesia, seharusnya, memang banyak produk yang tidak semestinya memiliki omset yang sebesar itu. Ini terjadi karena banyak orang yang mulai kaya, kemudian kebutuhan mengenai status cepat terjadi. Mereka cepat menaikkan tangga kebutuhan mereka yang semula hanya mencari rasa aman dan sosialisasi, menjadi pengejaran akan status walau sebenarnya belum waktunya.

Sebagai contoh adalah perbandingan antara orang Indonesia dengan Australia. Jumlah orang kaya di Indonesia adalah sekitar 200.000. Yang dimaksud dengan kaya adalah mereka yang memiliki dana likuid sebesar Rp 1 milyar. Terdapat sekitar 4000 hingga 5000, bila kemudian batas ini dinaikkan menjadi Rp 20 milyar dan hanya sekitar 200-300 saja yang memiliki kekayaan yang lebih dari Rp 200 milyar. Singapura memiliki jumlah orang kaya yang lebih banyak dari Indonesia. Demikian pula negara seperti Australia.

Tapi, lihatlah, konsumen kaya Indonesia lebih konsumtif untuk produk-produk kelas atas. Contoh yang paling nyata adalah handphone. Pada pertengahan tahun 2007, Indonesia menjual handphone Nokia Communicator lebih banyak dibandingkan dengan negara-negara kaya lainnya. Bahkan termasuk 3 besar di dunia, selain India. Mengapa? Handphone ini sungguh cocok bila menawarkan gengsi. Ini merupakan handphone yang relatif paling mahal untuk seri Nokia. Peringkat ini relatif cukup banyak fiturnya. Karena hanya membeli gengsi, tidak mengherankan bahwa 95% dari pemakai handphone ini, hanya menggunakan fasilitas suara dan sms. Bila demikian, seharusnya mereka menggunakan seri yang paling rendah saja. Mereka tetap memilih handphone ini karena tuntutan jabatan dan status. Bahkan ketika itu dengan bentuk handphone ini yang besar, tidak menjadi masalah. Gengsi adalah kebutuhan untuk memperlihatkan kepada orang lain. Justru ukurannya yang besar inilah menjadi fitur yang pas. Jadi mereka yang membawa handphone ini, kemudian mudah memperlihatkan kepada orang lain.

Starbuck di negara asalnya, adalah kedai kopi yang menawarkan suasana. Jadi, para peminum bisa menikmati kenyamanan saat duduk dan bukan hanya sekadar rasa kopinya. Di Indonesia, sebagian dari benefit ini mulai bergeser. Ini terjadi, karena sebagian konsumen yang pergi ke kedai kopi ini memang hanya ingin mengejar status belaka. Demikian juga, banyak kafe-kafe yang berkelas, sengaja membiarkan kafenya terbuka dan mudah dilihat orang. Karena gengsi, maka banyak konsumen yang tertarik dan mereka sudah mendapatkan kepuasannya bila status mereka terangkat saat memasuki kafe-kafe yang mahal ini. Padahal, mereka bisa mendapatkan dengan harga yang jauh lebih murah dan dengan rasa yang tidak kalah. Mereka membeli gengsi, bukan membeli makanan dan minumannya.

Lalu, apa yang menyebabkan gengsi ini? Pertama sudah pasti karena budaya dan norma kita. Paling tidak ada tiga budaya dan norma yang membuat gengsi ini menjadi kebutuhan yang cepat terjadi. Pertama, konsumen Indonesia menyukai untuk sosialisasi. Ini kemudian mendorong seseorang untuk pamer atau tergoda untuk saling pamer. Kedua, kita masih menganut budaya feodal. Inilah yang menciptakan kelas-kelas sosial. Akhirnya, terjadi pemberontakan untuk cepat pindah kelas. Walau belum sesungguhnya pindah kelas, tetapi bisa dimulai dengan pamer terlebih dahulu. Ketiga, masyarakat kita mengukur kesuksesan adalah dengan materi dan jabatan. Akhirnya, banyak di antara kita ingin menunjukkan kesuksesan dengan cara memperlihatkan banyaknya materi yang dimiliki.

Pendorong dari budaya ini adalah gencarnya iklan dan promosi yang menempatkan gengsi sebagai bagian utama. Akibatnya, konsumen yang sudah memiliki potensi untuk mementingkan gengsi, dengan cepat untuk belajar bahwa gengsi adalah hal yang penting. (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.