marketing.co.id – Mollie Sterling menyimpan sebuah foto saat masih kuliah di salah satu universitas di Amerika di tahun 2001. Sebuah foto yang menggambarkan kawan-kawan sekelasnya yang memegang laptop. Beberapa tahun kemudian, dia berbagi foto ini kepada kawannya. Lalu, foto ini menyebar secara viral kepada banyak orang.
Karena mungkin sebagian besar dari mahasiswa ini terlihat membawa laptop Apple, pada tahun 2008, Apple menggunakan foto ini sebagai bagian dari iklan mereka untuk meluncurkan produk MacBook seri yang baru.
Foto ini menunjukkan bagaimana setiap mahasiswa terkoneksi dengan sesama kawan di kelas dan pada saat yang bersamaan, mereka juga terkoneksi dengan orang-orang di seluruh dunia.
Dari sinilah kemudian muncul ungkapan yang terkenal “an audience with an audience of audiences”. Anda bisa melihat foto yang saya maksud di bawah ini.
Ini adalah era di mana kita memasuki jejaring informasi. Dalam bahasa sederhana, kita semua adalah penonton yang ditonton oleh penonton. Mungkin inilah penjelasan yang paling sederhana dari media sosial. Tiba-tiba, setiap orang menjadi bisa berarti. Setiap orang, karena memiliki penonton, maka mereka juga menjadi media.
Kalau Anda memiliki akun LinkedIn dan kemudian memiliki kontak langsung dengan 1.000 pemilik akun lainnya, Anda bisa terhubung dengan jutaan orang. Kelipatan ini terjadi karena kita terkontak dengan akun-akun lain di lapis ke-2, lapis ke-3, dan seterusnya. LinkedIn menggambarkan audiences with audiences dengan baik.
Majalah MARKETING selama tiga tahun ini telah meluncurkan sebuah penghargaan yang dikenal dengan nama “Social Media Award”. Tujuan dari event ini adalah merespons keterlambatan atau gap antara persepsi dari para pelaku bisnis dengan kenyataan dari kekuatan media sosial. Melalui penghargaan ini, terdapat tiga perspektif yang ingin menjadi bagian dari proses pengajaran kepada para pelaku bisnis dan marketer di Indonesia.
Media Sosial adalah Media
Karena setiap orang menjadi media, maka mudah dipahami bahwa media sosial adalah media. Kenyataannya, perusahaan atau pelaku bisnis sering tidak berpikir bahwa media sosial adalah media.
Masih banyak perusahaan yang melihat bahwa media sosial adalah media yang berbeda dengan media konvensional di mana sudah biasa mereka gunakan untuk meningkatkan penjualan, berkomunikasi, menjalin relationship, atau membangun merek.
Sebagai media, media sosial adalah sebuah saluran komunikasi sekaligus memiliki konten. Karena berfungsi sebagai saluran, media sosial memiliki dua kemampuan yang dapat diukur.
Pertama, media sosial mempunyai kemampuan untuk menjangkau target pasar. Inilah esensinya sebuah saluran, yaitu mampu menjangkau target pasar yang dikehendaki.
Dan memang, melalui media sosial dapat dihitung kemampuan reach dengan baik, mampu menjangkau ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu, dan jutaan target pasar yang kita inginkan. Bila dibanding dengan media konvensional seperti televisi, mengevaluasi kemampuan reach dari media sosial lebih akurat dan hasilnya real-time.
Kedua, sebuah media memiliki relevansi karena membawa pesan. Hanya saja, pesan dari media sosial ini sudah tidak sama dengan pesan yang diinginkan oleh perusahaan atau para pemilik merek.
Pesan ini dibentuk dari konten dan sering kali bukan konten yang dibuat perusahaan, tetapi justru konten yang dibentuk oleh para konsumennya sendiri. Konsumen inilah yang menjadikan media sanggup menciptakan pesan.
Kemampuan reach dan relevance ini yang membuat media sosial mampu menciptakan awareness dan image. Inilah dua komponen terpenting dari sebuah merek. Karena reach dan relevance ini, maka media sosial mampu menciptakan penjualan—sebab menyampaikan pesan yang berisi insentif dan reward.
Karena reach dan relevance inilah media sosial mampu membentuk relationship antara perusahaan dan para pelanggannya melalui proses engagement.
Media Sosial adalah Perilaku
Perspektif kedua dari media sosial yang penting adalah perilaku. Pelaku bisnis dan marketer perlu mengetahui perubahan perilaku dari para konsumen dan pelanggannya. Perilaku mereka sangat beragam dalam menyikapi media sosial.
Ini tergantung dari faktor demografis dan psikografis setiap individu. Terdapat sekelompok orang yang disebut sebagai spectator. Mereka hanya menikmati media sosial dengan membaca dan melihat. Sebagian sudah lebih maju dengan ikut sharing dan berbagi.
Yang lebih aktif lagi adalah mereka yang memperbaiki profil mereka dan ikut memberikan komentar. Kemudian, terutama anak-anak muda, mereka ikut dan aktif menciptakan percakapan.
Perilaku tertinggi adalah mereka yang mampu menciptakan ide, menginspirasi orang lain, membentuk opini, dan lainnya. Inilah para blogger yang rajin meluangkan waktunya untuk berjam-jam menulis sesuatu.
Dengan berbagai perilaku yang berbeda ini, langkah pertama bagi pelaku bisnis dan marketer adalah perlu mendengar. Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perusahaan atau pemilik merek yang memiliki akun media sosial perlu mendengarkan apa yang menjadi percakapan dari para konsumen atau target pasarnya.
Selain mendengar, marketer juga mampu untuk membuat percakapan yang dapat memengaruhi mereka. Setelah itu, marketer bisa memberikan dukungan terhadap komunitas tertentu untuk melakukan sesuatu. Pada akhirnya, terjadilah proses engagement yang menjadi tujuan penting.
Itulah sebabnya, melalui Social Media Award ini, Frontier Consulting Group bekerja sama dengan Majalah MARKETING dan dengan menggunakan MediaWave sebagai social media monitoring platform, mencoba untuk melihat percakapan di media sosial untuk merek-merek yang ada di Indonesia.
Sebuah merek yang memperoleh banyak percakapan positif dapat diduga akan mendapatkan tren positif untuk peningkatan penjualan dan kekuatan merek di masa mendatang. Saya berharap, pelaku bisnis dan marketer akan terinspirasi untuk melakukan proses monitoring percakapan dan perilaku ini dari waktu ke waktu.
Media Sosial adalah Budaya
Dari tiga perspektif penting terkait media sosial ini, faktor budaya perusahaan adalah gap yang terbesar. Dalam konteks budaya, elemen terpenting adalah faktor mindset dan leadership.
Perusahaan perlu memiliki mindset yang baru dalam menghadapi gelombang media sosial ini. Dunia sudah berubah, terutama konsumen yang sekarang sudah tidak dapat dikontrol lagi. Konsumen memiliki kemerdekaan untuk mengekspresikan diri, mereka meminta waktu saat ini, kapan saja untuk berkomunikasi.
Proses horizontalisasi ini haruslah membuat proses bisnis yang berubah. Di satu sisi, ini adalah tantangan. Tapi di sisi lain merupakan kesempatan untuk mengembangkan menjadi social capital yang besar bila mampu memberikan pengalaman yang baru bagi konsumen atau pelanggannya dalam media sosial, sehingga menciptakan engagement.
Budaya perusahaan juga ditentukan oleh pemimpin puncak perusahaan, CEO, dan jajaran BOD-nya. Mereka yang tidak siap dengan transparansi pasti akan menolak dan tidak paham terhadap media sosial, terutama pimpinan dari generasi tua.
Mereka yang tidak mempraktikkan open leadership akhirnya akan dihantam badai oleh media sosial yang memiliki kekuatan. Pemimpin yang tidak mampu melibatkan karyawan dalam proses bisnisnya tidak akan mampu menciptakan kekuatan karyawan dalam berinteraksi dengan para pelanggan.
Kemampuan inovasi perusahaan akan menjadi lemah bila pemimpin tidak mau mendengar percakapan konsumennya di media sosial.
Terutama untuk industri yang sudah tersentuh dengan kekuatan media sosial, perusahaan harus mengubah gaya kepemimpinannya. Dibutuhkan seorang leader yang open, transparan, berani mengambil risiko, dan selalu mengutamakan proses yang kolaboratif.
Kenyataannya, di era media sosial ini, kekuatan merek tidak diciptakan oleh perusahaan, tetapi hasil kolaborasi dengan konsumennya. Melalui Social Media Award ini, saya berharap akan memberikan kontribusi dalam proses penciptaan perubahan mindset dan leadership.