Hari Pelanggan Nasional dan Proyeksi Menuju 2035

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Perjalanan 22 tahun Hari Pelanggan Nasional sudah membuktikan arti penting senyum dan empati. Namun, 10 tahun ke depan diferensiasi akan bergeser ke kemampuan menguasai “customer think”. Di 2035, pemenangnya bukan lagi yang punya pelanggan terbanyak, tetapi yang paling paham isi pikiran pelanggan.

Marketing.co.id – Berita Marketing | Setiap 4 September, para pelaku bisnis di Indonesia memperingati Hari Pelanggan Nasional. Tahun ini, momen tersebut sudah berusia 22 tahun. Sejak pertama kali digagas oleh CEO Frontier Handi Irawan D, Hari Pelanggan Nasional menjadi pengingat bahwa pelanggan bukan sekadar pembeli, melainkan mitra strategis dalam pertumbuhan bisnis.

Dulu, perayaan Hari Pelanggan Nasional kerap ditandai dengan aksi CEO turun langsung melayani pelanggan. Bahkan, program Day of Direct Service (DOD) menjadi tradisi tahunan di banyak perusahaan. Namun, seiring perkembangan zaman, paradigma itu bergeser. Tidak cukup lagi sekadar “turun ke lapangan”, kini perusahaan dituntut untuk benar-benar masuk ke dalam pikiran pelanggan. Konsep ini disebut Customer Think.

Dari Human-Led Services ke Tech-Lead Services

Dalam acara ThinkCustomer Evening di Jakarta, Yuliana Agung, Chairwoman Next Gen Frontier Group of Companies sekaligus pakar Customer Experience (CX), menjelaskan bahwa layanan pelanggan telah melewati tiga fase penting.

Pertama, Human-Led Services, di mana seluruh interaksi bertumpu pada frontliner. Senyum hangat, pelayanan ramah, dan sikap tulus menjadi modal utama membangun loyalitas. Kedua, Human-in-the-Loop Services. Teknologi mulai hadir, tetapi manusia tetap memegang kendali. Chatbot, aplikasi layanan, dan model hybrid customer care berkembang pesat pada fase ini.

Ketiga, Tech-Lead Services, yang kini menjadi arah masa depan. Di fase ini, layanan pelanggan ditopang penuh oleh teknologi seperti AI, automasi, dan sistem prediktif. Proses yang dulu berlarut-larut kini bisa dipangkas drastis. Klaim asuransi misalnya, yang biasanya memakan waktu sebulan, kini bisa selesai dalam hitungan hari. Bahkan di Singapura, proses Goods and Services Tax (GST) refund dipercepat dari 30 hari menjadi hanya 3 hari—cepat, akurat, tanpa ribet.

Belajar dari Estonia

Yuliana mencontohkan Estonia sebagai inspirasi global. Negara kecil di Eropa ini sukses bertransformasi menjadi “digital nation” berkat keberanian membangun ekosistem e-government sejak awal 2000-an. Hasilnya, GDP per kapita melonjak pesat dan kualitas layanan publik meningkat signifikan. “Diferensiasi masa depan bukan lagi sekadar layanan ramah, melainkan membangun ekosistem digital yang efisien dan benar-benar customer-centric,” ujar Yuliana.

Jika semua brand atau perusahaan sudah peduli pelanggan, lalu apa lagi pembeda yang tersisa? Jawabannya, menurut Yuliana, terletak pada Customer Think—kemampuan memahami dan mengantisipasi kebutuhan pelanggan bahkan sebelum mereka menyampaikannya.

Untuk mencapainya, perusahaan perlu mengoptimalkan AI dan data analytics guna menangkap pola perilaku pelanggan, termasuk dari data tak terstruktur. Hasilnya, pengalaman layanan bisa diberikan secara instan, presisi, dan tetap relevan secara emosional, berkat perpaduan prediksi teknologi dengan empati manusia.

Hari Pelanggan Nasional 2025 menjadi tonggak refleksi. Dua dekade lebih perjalanan ini sudah membuktikan arti penting senyum dan empati. Namun, sepuluh tahun ke depan, diferensiasi akan bergeser ke kemampuan menguasai customer think. Di tahun 2035, pemenangnya bukan lagi yang memiliki pelanggan terbanyak, melainkan yang paling paham isi pikiran pelanggan.