
Marketing.co.id – Berita Internasional | Target Corporation, salah satu raksasa ritel asal Amerika Serikat, mengumumkan rencana pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 1.800 karyawan korporat. Keputusan ini merupakan bagian dari strategi restrukturisasi perusahaan untuk memfokuskan kembali sumber daya pada pelanggan dan operasional toko yang lebih efisien.
Diumumkan langsung CEO baru Target Corp Michael Fiddelke yang akan resmi menjabat pada Februari 2026, PHK ini akan berdampak pada posisi manajerial dan staf kantor pusat, sementara pekerja toko dan rantai pasokan tidak akan terkena dampak langsung.
Dari total 1.800 posisi yang akan hilang, sekitar 800 adalah posisi kosong yang tidak akan diisi kembali. Karyawan yang terkena dampak akan menerima gaji dan tunjangan hingga awal Januari 2026, serta paket pesangon yang sudah disiapkan perusahaan.
Baca Juga: Strategi Searce di Pasar Cloud Indonesia
Dalam memo internal yang dikutip Reuters, Fiddelke menjelaskan bahwa langkah ini merupakan upaya untuk mengurangi birokrasi dan tumpang tindih dalam struktur organisasi yang selama ini memperlambat pengambilan keputusan dan menghambat inovasi. “Terlalu banyak lapisan memperlambat ide untuk terwujud. Ini langkah berat tapi penting untuk masa depan Target,” tulis Fiddelke.
Keputusan PHK massal ini datang di tengah tantangan besar yang dihadapi oleh pasar ritel global, terutama bagi perusahaan besar seperti Target. Sepanjang tahun ini, harga saham Target telah turun hampir sepertiga, dan penjualan stagnan selama 11 kuartal berturut-turut. Selain penurunan permintaan terhadap produk pakaian dan elektronik, perusahaan juga tertekan oleh tarif impor AS yang memberatkan produk impor.
Baca Juga: Tren Bisnis 2026: Peluang, dan Strategi yang Harus Disiapkan
Selain masalah ekonomi, Target juga sempat menghadapi kritik publik setelah perusahaan terkesan mengendurkan komitmennya terhadap program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI), yang sebelumnya menjadi salah satu nilai inti dari brand Target. Meski demikian, langkah PHK ini dipandang sebagai bagian dari upaya untuk mengembalikan fokus perusahaan kepada apa yang dianggap sebagai fondasi utama keberhasilan ritel modern: efisiensi, inovasi produk, dan pengalaman pelanggan yang lebih baik.
Langkah restrukturisasi Target ini sejalan dengan tren yang juga terlihat pada perusahaan ritel besar lainnya di seluruh dunia. Walmart, Best Buy, dan IKEA misalnya, juga melakukan langkah serupa untuk beradaptasi dengan disrupsi digital dan perubahan perilaku konsumen yang semakin beralih ke belanja online. Mereka mengintegrasikan AI, analitik data, dan omnichannel experience untuk menjaga relevansi brand.
Fokus Pada Efisiensi dan Pengalaman Pelanggan
Pengamat bisnis memandang langkah ini bukan hanya sebagai upaya penghematan biaya, tetapi juga sebagai strategi transformasi organisasi. Dengan memangkas birokrasi, Target diharapkan dapat mempercepat proses pengambilan keputusan dan lebih cepat beradaptasi dengan perubahan tren pasar serta kebutuhan pelanggan. Inilah yang dipandang sebagai kunci untuk memulihkan daya saing perusahaan yang sempat tergerus oleh tantangan global.
Bagi Target, restrukturisasi ini bukan hanya soal efisiensi finansial, tetapi lebih kepada bagaimana perusahaan dapat kembali menempatkan pelanggan di pusat operasional mereka. Efisiensi dalam pengelolaan sumber daya dan inovasi dalam pengembangan produk adalah dua hal yang dipandang krusial untuk membangun kembali kepercayaan dan daya tarik di pasar ritel yang semakin kompetitif.
Apakah langkah ini akan berhasil memulihkan performa Target? Hanya waktu yang akan menjawab. Namun yang pasti, perubahan ini menandai babak baru di bawah kepemimpinan Fiddelke yang berambisi membawa Target kembali ke jalur kemenangan.


