Tantangan dan Hambatan Blue Ocean

0
[Reading Time Estimation: 5 minutes]

Untuk keempat kalinya, saya memutuskan untuk tetap menulis tentang Blue Ocean. Popularitas konsep ini di kalangan pelaku bisnis Indonesia, terutama di level top management, memang sungguh terlihat. Dalam perencanaan bisnis di perusahaan-perusahaan besar, saya sudah mulai menjumpai keinginan perusahaan untuk melakukan strategi Blue Ocean. Ada yang sekadar angan-angan, ada pula yang sungguh-sungguh berkeinginan melakukan Blue Ocean di kemudian hari.

Saya merasakan respon positif dan berbagai tanggapan dari para pelaku bisnis, yang seolah-olah ingin mengajak diskusi lebih dalam mengenai 3 tulisan saya selama tiga bulan terakhir di kolom ini. Pertanyaan yang umum dilontarkan misalnya: apa saja yang menjadi hambatan dan resiko dari Blue Ocean? Apa saja langkah dari Purple Ocean?

Untuk diterapkan di pasar Indonesia, strategi ini cukup berisiko. Bahkan, saya yakin bahwa kegagalan dalam strategi ini cukuplah besar. Tetapi, tentu saja, melakukan yang sebaliknya adalah hal yang perlu dihindari. Perusahaan yang hanya fokus kepada strategi Red Ocean, akan semakin kehilangan daya saing dan terjebak dalam persaingan harga. Karena itu, saya mecoba menawarkan suatu pandangan strategi yang disebut Purple Ocean. Idenya sederhana saja. Ini adalah strategi yang merupakan kombinasi dari Blue dan Red Ocean.

Pada kolom bulan lalu, saya telah membagikan pandangan bahwa salah satu bentuk Purple Ocean adalah strategi perusahaan dalam membidik konsumen hybrid. Perusahaan tetap mempertahankan strategi offline. Mereka masih tetap melayani pelanggan atau konsumen dengan cara-cara tradisional. Pada saat  bersamaan, mereka mengembangkan saluran distribusi untuk membidik konsumen yang sudah terbiasa online. Jadi, satu kaki tetap di Red Ocean dan satu kaki lagi berada di area Blue Ocean.

Argumentasi saya ini didasarkan atas kenyataan bahwa biaya edukasi dari suatu kategori yang baru, sering kali mahal. Dan ini jelas tidak menguntungkan bagi perusahaan yang menjadi pionir dalam mengedukasi konsumen. Tidak jarang, pesaing yang datang kemudian akan mengambil lebih banyak konsumen karena pasar sudah siap dipanen.

Chan Kim, pencetus Blue Ocean, sendiri juga menyadari bahwa strategi ini berisiko dan penuh dengan tantangan. Blue Ocean bukan sekadar strategi diferensiasi, tetapi diferensiasi yang radikal. Sebuah pemikiran yang tidak incremental dan tidak sekadar membuat perbedaan dalam bentuk atribut dan benefit seperti konsep diferensiasi yang dikembangkan oleh Jack Trout.

Risiko terbesar dari Blue Ocean adalah biaya edukasi konsumen yang bisa panjang dan mahal. Ini sudah saya bahas pada tulisan sebelumnya. Lalu, apa saja yang menjadi hambatan internal dari strategi ini?  Pertama, yang pasti adalah mindset para pelaku bisnis yang sudah sulit diubah. Perusahaan-perusahaan yang sedang bertumbuh sudah sangat nyaman dengan apa yang telah mereka capai. Melakukan perubahan radikal sering kali menjadi terasa tidak logis.

Untuk memformulasikan suatu strategi Blue Ocean dan kemudian berhasil dieksekusi, diperlukan komitmen dari semua jajaran top management. Blue Ocean bukanlah strategi milik departemen pemasaran atau divisi pengembangan bisnis. Ini adalah strategi bsinis yang harus dilakukan oleh perusahaan pada tingkat korporat. Oleh karena itu, diperlukan suatu budaya reseptif dan adaptif yang sangat kuat dari pimpinan puncak. Mereka haruslah tidak alergi terhadap suatu perubahan yang radikal.

Bagi perusahaan di Indonesia, ini adalah tantangan yang sangat nyata. Banyak pimpinan puncak sulit bersatu untuk melalukan strategi yang radikal dan penuh risiko. Apalagi, bagi mereka yang saat ini harus membawa gerbong birokrasi yang dinamakan BUMN.

Blue Ocean membutuhkan CEO, CMO, dan pimpinan puncak yang memiliki perspektif jangka panjang. Mereka harus melihat suatu bisnis untuk waktu 5-10 tahun mendatang. Demikian pula, Blue Ocean membutuhkan pimpinan puncak yang konsisten untuk membangun perusahaan yang berbasis knowledge. Perusahaan secara proaktif mencari data, informasi, dan menjadikannya sebagai  proses pembelajaran.

Banyak perusahaan lebih senang memanfaatkan informasi, negosiasi, atau melobi regulasi untuk mencapai suatu kinerja yang eksponensial. Mereka lebih suka melakukan lobi-lobi untuk membuat aturan atau regulasi yang berpihak kepada bisnis mereka. Pemikiran-pemikiran seperti ini dan berbagai contoh di sekitar mereka, membuat banyak perusahaan—dalam hal ini para pimpinan puncaknya—lebih menghindari untuk mencetak kinerja karena strategi yang radikal. Ada jalan pintas yang jauh lebih baik untuk memperoleh kenaikan penjualan atau laba yang spektakuler. Sebuah regulasi yang berubah (karena hasil lobi) sudah memberikan dampak kinerja yang jauh lebih cepat dan sekaligus tidak berisiko. Kenyataan seperti inilah yang menjadi penghambat bagi pemikiran strategi yang disruptive.

Tantangan kedua bagi tumbuhnya Blue Ocean di Indonesia adalah keterbatasan sumber daya. Yang pertama berhubungan dengan kualitas manusia. Strategi Blue Ocean, agar berkesinambungan, membutuhkan kualitas karyawan yang andal di lapisan tengah dan bawah. Oleh karena itu, strategi Blue Ocean sering kali hanya ada dalam benak top management seorang diri atau individu tertentu dalam perusahaan. Bahkan, bila sudah dirumuskan dalam suatu perencanaan pun, akhirnya tidak jadi dieksekusi karena tidak adanya resources yang mendukung pemikiran radikal mereka.

Yang kedua—masih berhubungan dengan masalah sumber daya—adalah peran kapital serta riset dan pengembangan (R&D). Perusahaan apa saja yang dicontohkan Kim melakukan Blue Ocean? Philips, Novo Nordisk, Bloomberg, Cemex, IKEA, dan NTT Docomo adalah sederet perusahaan yang berhasil melakukan Blue Ocean. Apa kesamaan dari mereka semua. Skalanya besar dan bermain di pasar global! Mereka memiliki R&D yang kuat dan didukung oleh kapital yang besar untuk mengeksekusi Blue Ocean.

Tantangan Blue Ocean yang lain adalah lemahnya perlindungan terhadap hak cipta. Perusahaan sudah membuat terobosan yang luar biasa, menciptakan kategori yang baru, namun mereka tidak mendapatkan perlindungan yang meyakinkan. Akhirnya, ada banyak pesaing yang di kemudian hari dengan gampangnya meniru produk atau pelayanan. Walau sudah ada perangkat hukum  untuk melindungi pemalsuan atau pelanggaran hak paten, tetapi kelemahan dalam kepastian hukum membuat para inovator berpikir ulang untuk terus melanjutkan hasil-hasil inovasinya.

Itulah sebabnya, saya berargumentasi, dengan segala hambatan dan risiko dari Blue Ocean, maka Purple Ocean adalah alternatif jawabannya. Blue Ocean, sebagai suatu “strategic mindset”, tidak perlu diragukan lagi. Ini adalah strategi radikal yang menjanjikan kenaikan penjualan dan penurunan biaya. Kali ini, strategi Purple Ocean yang ingin saya bagikan adalah menjadi imitator yang inovatif. Sederhananya, suatu perusahaan membiarkan perusahaan lain untuk melakukan Blue Ocean. Pada saat yang bersamaan, perusahaan mulai mempersiapkan diri untuk masuk dalam kategori  tersebut.

Kita bisa berharap bahwa perusahaan yang pertama masuk dalam Blue Ocean akan menanggung sebagian dari biaya edukasi. Kita juga berharap bahwa kategori yang baru tersebut tidak akan sempurna. Pada waktunya, kemudian perusahaan kita masuk untuk menawarkan produk yang lebih baik, melakukan perbaikan, dan mengisi kekosongan dari produk yang pertama kali menjalan Blue Ocean.

The Body Shop adalah perusahaan dengan strategi Blue Ocean. Keberhasilannya mengundang decak kagum di berbagai negara maju. Saat masuk Indonesia, beberapa tahun kemudian rasa optimisme yang besar ini mulai redup. Konsumen Indonesia adalah konsumen yang sebagian besar tidak sadar akan lingkungan. Dibutuhkan satu generasi lagi untuk menciptakan tipe konsumen yang diinginkan oleh The Body Shop. Saya memiliki keyakinan bahwa konsep seperti The Body Shop ini suatu saat akan menuai hasil di Indonesia. Yang paling mengkhawatirkan adalah mereka yang datang kemudian. Mereka melakukan perbaikan, diferensiasi, dan kemudian membidik konsumen yang sudah teredukasi.

Untuk pasar Indonesia, banyak perusahaan sukses karena memanfaatkan produk hasil Blue Ocean yang berada di luar negeri. Karena produknya global, maka sebagian dari konsumen Indonesia sudah mulai ter-expose. Pada saat produk atau jasa tersebut dibawa masuk ke Indonesia, sebagian dari konsumen sudah aware dan memiliki informasi yang cukup tentang produk tersebut. Karena itu, dengan gaya Red Ocean di Indonesia, produk tersebut tetap bisa jauh lebih cepat berhasil.

Blue Ocean yang setengah hati adalah melakukan perubahan radikal dalam komunikasi. Dalam konteks produk, mungkin masih tergolong diferensiasi. Mereka hanya mencoba untuk keluar dari kategori yang ada, tetapi dengan tingkat perubahan yang tidak besar. Ini juga saya masukkan dalam kategori Purple Ocean. Bila didukung dengan komunikasi yang kreatif dan biaya promosi yang relatif besar, keberhasilan justru menjadi lebih baik. Hasil suirvei sudah membuktikan bahwa di pasar Indonesia, gap antara persepsi dan aktual bisa jauh lebih lebar dibandingkan di negara maju. Tidak mengherankan, sebab bukan kategori baru itulah yang membuat bisnis sukses, tetapi komunikasilah yang menjadi key success factor dari merek tersebut. (www.marketing.co.id)