Susahnya Mengedukasi Pejantan Loyo

Penderita disfungsi ereksi sering membeli obat kejantanan di pinggir jalan. Padahal seluruh obat disfungsi ereksi di pinggir jalan disinyalir palsu. Bagaimana strategi produsen dan pihak berwenang mengatasi hal ini?

Maraknya peredaran obat palsu tidak lepas dari hukum permintaan dan penawaran. Di balik meluasnya peredaran produk-produk palsu terindikasi tingginya minat masyarakat terhadap produk tersebut.

Mengonsumsi produk-produk palsu sebenarnya merugikan konsumen sendiri, karena kualitas produk biasanya jauh di bawah aslinya. Itu jika yang digunakan produk-produk nonkonsumsi. Jika yang digunakan produk konsumsi seperti obat palsu, kerugian yang diderita konsumen bisa lebih parah lagi. Bukan hanya ancaman makin memburuknya kesehatan, tapi nyawa juga bisa melayang.

Peredaran obat palsu ini memprihatinkan kita semua. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepanjang tahun 2013 lalu menemukan 13 item obat palsu. Ketiga belas obat tersebut berikut kelas terapinya adalah Codein 100 mg Tablet (analgesik agonis opioid dan antitusif), Pethidin HCI Injeksi (analgesik opioid), Diazepam (psikotropika-anxiolytic), Neurobion Injeksi (vitamin), Cartisona Acetate Injeksi (kartikosteroid), Valirlix Injeksi (produk biologi-vaksin), Nizoral Tablet (antifungi), Ponstan Tablet (NSAIDs), Amoxan (antibiotik), Incidal OD (antihistamin), Sildenafil (disfungi ereksi), Levitra (disfungsi ereksi), dan Cialis (disfungsi ereksi).

Khusus obat disfungsi ereksi, penelitian yang diadakan oleh Victory Project terhadap 518 sampel Sildenafil yang dijual di pinggir jalan, seluruhnya palsu. Victory Project digelar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2012 dan 2013 lalu. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan mengukur sejauh mana penyebaran obat palsu, terutama PDE5 Inhibitor (Sildenafil) dengan merek dagang Viagra.

Penelitian itu juga mengungkap, sebanyak 56% Sildenafil yang dijual di toko obat ternyata palsu dan 33% Sildenafil yang dijual di internet pun palsu. Yang mengejutkan, Sildenafil palsu juga ditemukan di apotek, jumlahnya mencapai 13%.

Tingginya angka pemalsuan Sildenafil bukan berarti Pfizer selaku produsen gagal dalam mengedukasi masyarakat. Pfizer, menurut Widyaretna Buenastuti, punya keterbatasan dalam mengedukasi pasar, yakni tidak boleh secara langsung mengedukasi dan mempromosikan produk Sildenafil kepada konsumen akhir (end user).

Edukasi hanya dibolehkan kepada para profesional kesehatan seperti dokter dan apoteker, mengingat Sildenafil masuk kategori obat ethical atau obat dengan resep dokter. Pfizer sendiri sebenarnya geram melihat maraknya obat palsu Sildenafil. Andai kata peraturan mengizinkan, pihaknya pasti akan gencar mengedukasi masyarakat luas.

“Produk obat resep pada dasarnya tidak boleh dipromosikan langsung ke orang awam. Jadi, kalau mau tahu bagaimana obat disfungsi secara medis, hubungi dokter,” tutur Public Affairs & Communications Director PT Pfizer Indonesia tersebut.

Widyaretna mengatakan, Sildenafil tersedia dalam tiga ukuran, 25mg, 50mg, dan 100mg. Yang paling banyak dipalsukan ukuran 100mg. Mengapa masyarakat gemar membeli obat kuat secara bebas? Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, kecenderungan masyarakat Indonesia yang sering melakukan pengobatan sendiri (self medicine). Alasan lain, penyakit disfungsi ereksi dianggap tabu sehingga mereka malu berkonsultasi ke dokter.

Mungkin yang paling dominan faktor harga. Sudah menjadi rahasia umum harga obat palsu lebih murah dibandingkan obat asli. Padahal, kata Widyaretna, selisih harganya tidak jauh, malah bisa lebih mahal karena penjual obat palsu biasanya berkoar-koar obat yang dia jual adalah produk impor dari Amerika.

Menurut Widyaretna, keengganan mengobati disfungsi ereksi ke dokter sebenarnya lebih pada persoalan pola pikir dan perilaku mengambil jalan pintas. “Banyak yang merasa malu harus ke dokter. Padahal mereka tidak perlu khawatir karena ada rahasia kedokteran. Membeli bebas kita tidak tahu aturan pakai, jangan-jangan kita butuh yang 25mg, tapi kita konsumsi yang 100mg,” jelasnya.

Selaku produsen Pfizer pasti dirugikan, namun sayang Pfizer tidak bisa berbuat banyak karena peraturan tidak bisa mengedukasi langsung masyarakat. Yang bisa dilakukan paling hanya menggencarkan edukasi ke kalangan profesional kesehatan dan memperkuat security feature Sildenafil.

Sebenarnya upaya Pfizer dalam mengatasi Sildenafil palsu tidak bisa dibilang gagal total. Tahun 2007, Pfizer dan pihak berwajib pernah menggelar aksi bersih-bersih papan nama yang mencantumkan merek dagang Sildenafil di gerobak yang menjual obat kuat di pinggir jalan. Hasilnya, sekarang hampir sudah jarang ditemui merek dagang Sildenafil tertera di gerobak toko obat pinggir jalan. “Ini membuktikan kita punya ownership terhadap brand, ada tanggung jawab di sini,” katanya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.