Sulitnya Empowerment

Setiap kali datang ke sebuah service outlet, salah satu hal yang membuat kesal adalah pada saat customer service atau frontliner mengatakan “tidak bisa”. Hanya dalam hitungan menit, kesukaan Anda terhadap layanan tersebut ternyata bisa luntur seketika hanya gara-gara sang frontliners mengatakan hal tersebut.

Standard operating procedure (SOP) adalah aturan baku yang membantu para frontliner untuk selalu konsisten ketika berhadapan dengan pelanggan. Berbeda dengan produk yang memiliki tingkat akurasi dan presisi tinggi, pelayanan tidak mudah di-deliver secara konsisten. Apalagi jika unsur manusianya demikian kuat. Oleh karenanya SOP membantu untuk selalu konsisten dalam memberikan pelayanan.

Namun demikian SOP juga bisa menjadi biang keladi ketidakpuasan pelanggan. Kebanyakan service provider tidak menyadari bahwa untuk menciptakan layanan yang superior, para frontliner harus memiliki empowerment. Mereka harus diberi keleluasaan dalam mengambil keputusan. Mereka bisa menambahkan fitur-fitur kecil tambahan di sebuah handphone tanpa harus berkonsultasi dulu dengan back office. Menyetujui untuk mengganti barang yang rusak tanpa harus melalui persetujuan manajer. Memberikan gift kepada pelanggan yang marah tanpa harus mengajukan anggaran dulu.

Kasus yang sering ditulis di buku-buku textbook adalah tentang bagaimana seorang karyawan Nordstorm berani membayar kerugian dari barang rusak yang diterima konsumen. Karyawan ini pun mendapat penghargaan dari perusahaan karena keberaniannya mengambil keputusan demi memuaskan pelanggannya. Dia beruntung karena si pelanggan memberikan pujian yang ditulis kepada atasannya.

Kenyataannya employee empowerment adalah hal yang paling sulit dijalankan dalam dunia service. Seperti dikatakan oleh John Tschohl, pakar CS yang pernah datang ke Indonesia, empowerment dapat diartikan memberikan kepada karyawan otoritas untuk mengambil keputusan saat itu juga terhadap pelanggan. Bahkan empowerment yang murni bisa diartikan bahwa si karyawan dapat menabrak aturan yang berlaku untuk tujuan kepuasan pelanggan.

Sebenarnya kebanyakan SOP tentu dibuat dengan memperhatikan service level yang mampu menciptakan kepuasan pelanggan. Bahkan SOP dikatakan sebagai standar kewenangan yang diberikan kepada karyawan. Artinya di dalam SOP ada empowerment. Namun demikian empowerment ini dibatasi oleh banyak hal, yang akhirnya membuat karyawan sebenarnya tidak memiliki empowerment. Atau kalau tidak, empowerment ini diberikan kepada orang di atas berdasarkan jabatannya. Akibatnya sama saja, semua harus memakai prosedur yang membuat si karyawan kehilangan kewenangan.

Namun empowerment juga tidak bisa ditulis jika bersifat kasus khusus. Apa akibatnya jika ada juklak yang mengatakan bahwa “Setiap pelanggan yang marah bisa Anda berikan gift”? Atau “Apabila pelanggan loyal dalam kondisi terburu-buru ingin ke luar negeri bisa langsung Anda bukakan International Roaming”?

Frontliner pasti memilih mencari aman dengan mengambil keuntungan yang bisa membuat pelanggan puas. Mereka menjadi lebih malas untuk berdebat sedikit dengan pelanggan dan memasukkan banyak kondisi dalam kondisi “marah” atau “buru-buru”. Akibatnya customer win, employee win tapi company lose.

Ketika saya mengobservasi berbagai kontak layanan, ternyata pola sebaliknya justru sering terjadi: SOP yang lebih mengorbankan frontliner. Banyak karyawan rela menanggung biaya sendiri hanya supaya dia bisa memberikan pelayanan yang excellent. Contohnya adalah memberikan gift yang dibelinya sendiri. Bahkan ada salah satu penyelia dari service outlet rela membelikan kamera digital poket untuk diberikan kepada pelanggan “super premium” yang komplain. Bagi pelanggan tersebut mungkin kamera tersebut tidak ada artinya. Namun keseriusan si penyelia untuk memberikan gift kamera tersebut membuatnya luluh dan tidak jadi keluar sebagai pelanggan. Sebaliknya bagi si penyelia dia lega karena tidak kehilangan pelanggan “besarnya”.

Tidak ada di dalam SOP bahwa dia harus mengeluarkan uang untuk membeli kamera. Tidak juga empowerment yang diberikan kepadanya untuk memakai anggaran  perusahaan untuk memberikan kamera. Namun karena karena tanggung jawabnya membuat dia harus keluar uang. Sayangnya perusahaan tempatnya bekerja tidak seperti Nordstorm, yang menghargai karyawan yang memiliki inisiatif tinggi. Apalagi pelanggannya tidak memberikan pujian Yang terjadi perusahaan justru menganggap sebagai pemborosan yang tidak perlu. Customer win, Company win, tapi employee lose. Benar kata John Tshool, empowerment memang hal yang paling sulit dalam service! (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.