Sukses Berkat Lele

Dengan hanya bermodalkan Rp 3 juta, kini Rangga Umara, sang pemilik Resto Pecel Lele Lela, berhasil mengembangkan usahanya hingga menghasilkan omzet miliaran rupiah per bulan. Seperti apa kiatnya?

Siang itu, seorang pemuda yang bekerja di sebuah perusahaan developer tengah dilanda kebingungan memikirkan nasibnya. Sebab, di perusahaan tempat ia bekerja sedang ada PHK besar-besaran.

Satu-persatu si pemuda melihat teman-temannya keluar dari ruangan HRD sambil membawa surat PHK di tangan. “Tidak berapa lama lagi pasti giliranku,” gumam pemuda tersebut dalam hati.

Sempat terpikir oleh dia untuk melamar ke perusahaan lain, tapi setelah dipertimbangkan masak-masak, percuma saja. Toh cepat atau lambat, nasib yang sama pasti bakal menimpanya lagi.

Lebih baik menjadi bos di rumah sendiri daripada menjadi kuli di rumah orang lain. Begitu dia mengibaratkan tekad yang muncul dari hatinya.

Sejak itu, ia pun memutuskan untuk tidak melamar kerja, melainkan membangun sebuah usaha. Lewat tekad bulat yang dimiliki, Rangga Umara demikian nama pemuda itu, akhirnya berhasil mengumpulkan modal sebesar Rp 3 juta.

Kala itu, Rangga menerangkan bahwa dirinya memang sudah berencana akan merintis usaha kuliner. Namun, ia belum tahu jenis kuliner yang mau digarap.

Usai melakukan pengamatan yang panjang, akhirnya dia menemukan bahwa pecel lele berpotensi untuk dikembangkan lantaran memiliki banyak penggemar.

Terbukti, hampir di setiap daerah kuliner, jenis makanan ini selalu mudah ditemui dengan bentuknya yang khas di warung-warung tenda. Menu utamanya lele yang digoreng dengan pendamping sambal terasi.

Lantaran hampir setiap pengusaha pecel lele mengusung konsep yang sama, baik dari sisi tempat maupun penyajian, segmen pasar pecel lele menjadi kurang berkembang. Berangkat dari situ, Rangga pun berupaya menemukan cara mengemas pecel lele agar terlihat menarik sekaligus unik.

Sadar tidak memiliki modal yang banyak, dia memilih upaya untuk mencari lokasi yang sesuai dan mitra yang tepat lebih dahulu. Secara tidak sengaja, usai berkeliling-keliling, Rangga menemukan sebuah kedai yang mau ditutup, di bilangan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

Kepada si pemilik kedai itu, niat mengajak kerjasama pun  diutarakan. Meski sempat ditolak mentah-mentah, akhirnya gayung pun bersambut. Dengan si pemilik kedai, Rangga menyepakati untuk bekerjasama dengan sistem setoran per bulan. Semenjak itu, mulailah ia menjalankan kedai makanan tersebut dengan menu andalan pecel lele, baru kemudian ayam bakar.

Entah kenapa, kata dia, meski menu utama yang ditawarkan adalah pecel lele, dalam perjalanannya yang laku justru ayam bakar. Melihat hal itu, Rangga tak patah arang.

Sebab, dia telah menetapkan komitmen untuk mengembangkan menu pecel lele agar disukai banyak orang dari beragam kelas, mulai dari yang jalan kaki sampai yang turun dari mobil mewah.

Singkat cerita, Rangga bersama sang koki mencoba melakukan beberapa eksperimen terhadap menu pecel lele. Masakan sebagai tester pun gencar diberikan kepada pelanggan yang datang.

Akhirnya, setelah melewati waktu yang cukup lama, Rangga berhasil meramu beberapa menu spesial berbahan dasar lele, sehingga disukai oleh pelanggannya. Antara lain, lele goreng tepung, lele fillet, dan lele saos padang. Boleh dibilang, saat itu animo pelanggan terhadap menu pecel lelenya mulai meningkat.

Usai merasa sukses, Rangga kemudian memutuskan untuk membuka kedai sendiri di Kalimalang dan memberi merek dagang dengan nama “Pecel Lele Lela”. Lela berarti lebih laku (lela).

Hadir dengan konsep suasana seperti restoran ditambah menu yang berbeda dari pecel lele di pinggir jalan, Pecel Lele Lela berhasil maju pesat dan berkembang hingga sekarang ini menjadi 22 cabang. Enam belas di antaranya adalah waralaba.

Sedangkan, total omzet yang diraih per bulan kini sudah mencapai Rp 1,2 miliar dengan margin bersih sekitar 25–30 persen.

Andalkan Experiential Marketing

Menurut Rangga, selain inovasi pada menu, dirinya juga menerapkan strategi marketing yang jitu untuk meraih kesuksesan.

Dia mengaku belajar marketing secara otodidak. Semuanya mengalir begitu saja. Baru setelah berbincang-bincang dengan banyak pihak, diketahui olehnya bahwa strategi yang selama ini dipakai mempunyai teori bernama Experential Marketing.

Sebagai contoh, jika Anda datang ke Pecel Lele Lela, jangan kaget bila seluruh karyawan menyambut Anda dengan teriakan “selamat pagi” meski saat itu adalah malam hari. Begitu juga setelah Anda selesai makan atau transaksi, semua karyawan—sampai yang sedang ada di dapur—akan meneriakkan “terima kasih” secara bersama-sama.

“Sambutan semacam itu akan memunculkan kesan tersendiri di benak pelanggan,” kata Rangga. Menurut dia, ungkapan selamat pagi memiliki makna bahwa semua produk yang disediakan Pecel Lele Lela selalu terjamin kesegarannya dan para krunya selalu bersemangat dalam melayani para pelanggan.

Dari sisi pelayanan, untuk membuat pelanggan menjadi loyal, ia juga membuat sebuah program loyalty customer berupa makan gratis seumur hidup bagi pelanggan yang bernama Lela, dan makan gratis di tempat bagi pengunjung yang berulang tahun saat itu juga, dengan hanya menunjukkan KTP.

Kemudian, dalam waktu dekat ini, restonya bakal menggelar acara meraih rekor Muri dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya pelanggan yang bernama Lela di sebuah cabang Pecel Lele Lela di Bandung.

Terakhir, sebelum mengakhiri perbincangan, Rangga sempat membagi sebuah kunci sukses yang amat berharga jika kita mau merenungkan dan menjalaninya sebaik mungkin. “Jangan pernah meremehkan sesuatu yang dinilai biasa oleh orang lain. Sebab, tak jarang sesuatu yang biasa itu dapat menjelma menjadi hal yang luar biasa, asalkan kita fokus dan tekun untuk mengembangkannya,” tandas dia. (Andri Darmawan)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.