Startup

[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Marketing.co.id – Akhir November lalu saya sempat berbicara di dalam diskusi yang diadakan dalam rangka Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI). Ajang ini merupakan acara dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang bertujuan memperkenalkan bisnis berbasis ekonomi kreatif kepada masyarakat.

Ekonomi kreatif adalah tawaran yang menarik bagi banyak negara sekarang ini. Saat ekonomi lesu, banyak perusahaan besar berjatuhan dan menyeret negara kepada resesi ekonomi. Sebaliknya, ekonomi kreatif banyak yang berbasis usaha kecil dan akibatnya secara makro juga membantu daya tahan negara dalam menghadapi krisis.

Apa itu ekonomi kreatif? Berdasarkan definisi dari banyak pihak, ekonomi kreatif adalah kegiatan ekonomi yang tercipta dari pemanfaatan pengetahuan dan informasi. Ekonomi ini sering juga disebut sebagai ekonomi budaya. Menurut Howkins, ekonomi kreatif antara lain terdiri dari periklanan, arsitektur, kerajinan, desain, fashion, film, musik, seni pertunjukan, penerbitan, perangkat lunak, serta mainan. Pelakunya termasuk orang-orang yang kini banyak disebut pebisnis startup (saya sebut saja “startupers”).

Karena berangkat dari kreativitas individu, bisa jadi startupers hanya bermodalkan ide dan memulai usaha dari “bisnis anak kos”. Di kamar berukuran dua kali tiga meter ini mereka mencoba masuk ke belantara bisnis. Mereka, sekalipun belum lulus kuliah, begitu menggebu-gebu untuk berbisnis.

Sayangnya startupers sering tercebur ke bisnis tanpa memahami model bisnisnya terlebih dahulu. Beberapa dari mereka mencoba bisnis startup setelah mereka merasa sukses dengan blog, punya teman banyak dan jaringan di dunia maya. Saya selalu katakan kepada mereka, “Anda memiliki banyak teman yang menyukai Anda dan tulisan-tulisan Anda di blog. Tetapi, untuk membeli sesuatu dari Anda, itu urusan lain lagi!”

Jadi, sekalipun bisnisnya modern, tetap saja old school business lesson tidak berubah: “Jika bisnis Anda sukses, buatlah sesuatu yang bisa memenuhi keinginan pasar!” Jadi, kreativitas tanpa keahlian mencium peluang pasar tak akan mengubah kreativitas Anda menjadi uang.

Singkatnya, banyak dari startupers sulit mendapatkan modal dari bank saat mereka membutuhkannya. Pertama, mereka tidak memiliki jaminan aset yang tangible. Aset mereka hanyalah ide dan tidak ada bank yang bersedia menerima jaminan ide.

Kedua, apa yang mereka ciptakan sering dilihat bank sebagai sesuatu yang tidak marketable saat ini. Apalagi konsep Freemium misalnya,  mungkin juga belum muncul di pikiran para credit analyst di Indonesia: Bagaimana bisa ada perusahaan yang rela memberikan sesuatu yang gratis terus-menerus demi memperbesar trafik dan baru memetik buahnya di masa mendatang?

Pilihan lain adalah mengandalkan para angel investor. Mereka adalah orang-orang berkelimpahan yang berani menanggung risiko untuk bisnis-bisnis semacam ini. Namun, tentu saja tidak mudah mencari angel investor. Apalagi terkadang mereka sebenarnya bukan malaikat!

Menurut saya, marketer juga harus mengambil peran dalam mengembangkan bisnis ekonomi kreatif di Indonesia. Marketer dituntut harus selalu kreatif dan inovatif, dan kedua hal ini sebetulnya bisa didapatkan dari pebisnis kreatif. Peran sebagai kolaborator maupun sponsor menjadi sesuatu yang mereka idamkan, dan hal ini tentunya bisa membantu pertumbuhan ekonomi kreatif di negara ini.

Paling tidak, ciptakanlah pasar bagi mereka. Misalnya dengan membeli produk kerajinan dari mereka untuk barang promosi dan gift daripada harus jauh-jauh mencari ke Cina….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here