Standarisasi, kunci sukses franchiser lokal

Pola pemasaran waralaba sedang marak di Indonesia beberapa tahun terakhir. Fenomena ini dipicu oleh gencarnya franchiser asing menawarkan kerja sama kepada calon-calon franchisee lokal. Belakangan, franchiser lokal pun ikut bergeliat. Mereka mulai gencar menawarkan kerja sama waralaba serupa. Strategi apa yang mereka pilih?

Di penghujung tahun 2004 lalu, Majalah MARKETING bekerja sama dengan Quadrant menggelar acara bertajuk Best Seller Award 2004. Penghargaan yang baru pertama kali diselenggarakan ini merupakan sebentuk apresiasi kepada produk-produk yang berhasil mencatat prestasi penjualan dan awareness yang tinggi pada konsumen. Dan pada event pertama tersebut, penghargaan dianugerahkan untuk kategori makanan dan minuman. Salah satu produk yang mendapatkan penghargaan tersebut adalah Es Teler 77.

Bagaimana kabar produk kondang ini sekarang? Sebelum beranjak ke sana, ada baiknya kita menyegarkan ingatan dengan menengok kembali sekilas sejarah Es Teler 77. Hadir pertama kali pada tahun 1982, nama ini lambat laun mulai dikenal. Sangat khas, es teler. Tagline “Juara Indonesia” pun semakin melekat padanya. Tak mengada-ada, tagline itu memang berangkat dari fakta bahwa minuman ini ada karena pernah menjadi juara dalam sebuah perlombaan.

Adalah Ibu Murniati Widjaja, sang pencetus ide. Pemilik kantin kecil di perkantoran Duta Merlin, kawasan Harmoni, Jakarta ini tertarik ikut ketika ada lomba memasak yang diselenggarakan oleh Majalah Gadis dan PKK DKI Jakarta. Ia meracik minuman es teler untuk diikutsertakan dalam lomba tersebut. Dan menang.

Singkat cerita, selama lebih dari 20 tahun berdirinya, Es Teler 77 gencar melebarkan sayapnya ke daerah-daerah seantero negeri. Tidak semua ditangani sendiri. Sejak manajemen dikelola oleh menantu-anak Murniati Widjaja, yakni Sukyatno Nugroho dan Yenny Setia Widjaja, sistem waralaba mulai diterapkan. Alhasil, peminatnya banyak. Hingga kini 250 cabang telah berdiri di seluruh Indonesia, dengan jumlah menu standar 35 item.

Jika kini menu yang disajikan mulai beragam, seperti mie goreng sambal terasi, otak-otak goreng, soda gembira, menu andalannya tetap Es Teler 77. Menu inilah yang memperoleh penghargaan Best Seller Award 2004, dengan catatan penjualan rata-rata di atas 250 gelas per outlet per hari. Satu porsinya dijual dengan harga Rp9.000.

Menurut Marketing Manager Es Teler 77, Antonius H. Wiharja, prestasi penjualan tersebut diraih, salah satunya, berkat standarisasi rasa, harga, dan penyajian pada semua outlet yang dijaga sangat ketat. Di luar itu, standarisasi pada desain interior dan pelayanan pada semua outlet juga menjadi faktor yang menentukan. Salah satunya adalah konsep “open kitchen” yang memungkinkan konsumen mengamati proses pengolahan bahan secara lebih jelas.

Dengan modal Rp400 juta untuk enam tahun kontrak, peluang bagi franchisee masih terbuka. Namun, tutur Anton, kini Es Teler 77 tidak lagi memenuhi permintaan untuk pembukaan cabang di ruko. Ke depan, lokasi outlet yang disasar hanyalah shopping mall. “Kami memang menyasar segmen menengah ke atas, sehingga menurut kami lebih tepat jika kami membuka outlet di pusat perbelanjaan,” ujar Anton sembari menambahkan bahwa segala usia merupakan target pasar yang dibidik.

Pembukaan cabang di mal, tegas Anton, merupakan bagian dari strategi pemasaran Es Teler 77 untuk mempertegas positioning-nya sebagai rumah makan rekreatif. Menu yang disajikan tidaklah berat, karenanya bisa disantap di sela jalan-jalan.

Untuk membidik segmen menengah ke atas ini pulalah, Es Teler 77 telah pula membuka cabang di luar negeri, yakni Singapura, Malaysia, dan Australia. Tahun 2005 ini, salah satu rencana pemasarannya adalah meluncurkan Es Teler 77 Express, yakni membuka outlet yang lebih kecil lagi (konsep island), yang lebih rekreatif, untuk sekadar benar-benar “mampir minum” , seperti di stasiun kereta api, bandara, dan kampus. Di tempat-tempat tersebut banyak orang berlalu-lalang tapi tidak hendak singgah berlama-lama.

Disinggung soal strategi promosi sehingga bisa menoreh angka penjualan yang tinggi, Anton hanya menyebutkan bahwa strategi promosi yang dilakukan hanyalah beriklan di media cetak setempat (termasuk buletin internal mal) tatkala berlangsung pembukaan cabang baru. Di luar itu, hanya mengandalkan word of mouth.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.