Sombong Vs Bangga: Beda Tipis

Manusia terlahir menjadi individu yang sempurna bukan karena kehendak pribadi, melainkan karena lingkungan yang membentuknya—lingkungan rumah, sekolah, atau lingkungan sosial tempat mereka berada, termasuk tempat bekerja dan berkarya dalam urusan keagamaan.

Tidak semua manusia tumbuh sempurna. Sombong adalah penyakit yang sering kali bermukim dalam diri manusia, yang virus-virusnya terlalu kerap muncul tanpa kita sadari, dan tanpa terasa masuk dan terus merasuk ke dalam diri korbannya. Sombong yang paling banyak menjangkit adalah sombongnya orang bodoh merasa pintar—disebut sombong intelektual, tidak sedikit juga sombongnya orang miskin sok kaya—yang kita sebut sombong materi, ada pula sombong merasa paling ganteng atau cantik—kita sebut sombong penampilan, serta merasa sebagai orang terpenting di lingkungannya, bak pejabat negara.

Yang “sangat berbahaya” dan akan merusak sendi-sendi persaingan global baik dalam usaha maupun pendidikan (formal dan nonformal) adalah sombong yang merasa paling brilian, sok paling hebat, dan merasa tidak ada orang lain yang bisa menggantikan. Orang seperti ini merasa lebih kompeten, merasa lebih senior karena “tua” dan lebih berwawasan dibandingkan orang lain, karena pengalaman kerja dan waktu menjalani hidupnya lebih panjang. Manusia seperti ini biasanya dijangkiti penyakit Power Syndrome.

Ada juga sombong disebabkan oleh faktor merasa “paling suci”. Karena aktif dalam berbagai kegiatan sosial, dan keagamaan. Orang itu merasa sok paling mengerti, sok paling bermoral, sok paling memahami kitab suci, dan citra yang muncul bahwa orang lain adalah manusia berdosa dan kotor.

Biasanya, orang-orang sombong itu adalah pemain karakter yang ulung, sehingga yang menjadi daya tarik para pemerhati adalah sulitnya membedakan kenyataan dan kebohongan. Semakin hebat aktingnya saat berperan, semakin orang lain tergoda untuk memercayainya, makin tertarik, sehingga tidak mampu lagi mendeteksinya. Karena, kesombongan muncul saat seseorang sedang memainkan orkestra egoisme, over confidence, dan self esteem berlebihan yang dibalut oleh ketamakan diri!

Lalu apa bedanya “Sombong Vs Bangga”? Bedanya tidak jelas dan sangat tipis. Yang mendasari perbedaannya hanyalah faktor cinta  kasih dan spiritual. Karenanya yang perlu kita banggakan bukanlah  hal-hal bersifat fisik seperti kekayaan, kepintaran, sehingga mindset kita adalah adanya kesetaraan yang sesuai antara fungsi dan norma-norma umumnya budaya setempat (perusahaan, sekolah, lingkungan) yang dibungkus oleh kesadaran yang hakiki.

Hidup hanyalah sekali saja. Energi kita akan terbuang percuma kalau sekadar digunakan untuk aktualisasi keliru bagi setan-setan sindrom  seperti kekuasaan, gila hormat, tidak patuh, pengikut ”NATO” (no  action talk only). Itu semua akan menjadi tumpukan sampah dan bahan tertawaan penontonnya.

Nah, bagi para pelaku organisasi—terutama jajaran penjual dan pemasar, apakah sudah memiliki dan melakukan hal-hal yang tidak menyombongkan diri seperti sok pintar? Apakah mereka sudah mendapatkan pembekalan yang memadai, sehingga tidak sok pintar—padahal memang tidak pintar? Apakah mereka sudah dibawa ke dalam budaya pembelajar—karena memang mereka kurang mendapat pengajaran, ataukah mereka sudah cukup dilatih—karena nyatanya tidak terlatih? Apakah mereka sudah ikut kegiatan keterampilan—yang faktanya memang mereka belum terampil, dan dalam hal apa? Tentu saja urusan yang sesuai dengan profesinya, apalagi kalau mereka adalah ujung tombak perusahaan di bidang penjualan.

Akhir kata, kesadaran untuk memusuhi kesombongan dan kebanggaan yang berlebihan akan menjadikan rangkaian bunga indah yang terdiri dari bunga-bunga persahabatan, relasi, loyalitas, dan kepuasan. Berkat belajar dan tidak berlaku sombong akan tercipta harmoni di dalam organisasi penjualan, damai sejahtera dalam pencapaian kinerja! (www.marketing.co.id)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.