Adopsi AI Di Kawasan Asia (Termasuk Indonesia) Jadi Yang Terdepan, Tapi …

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Peran AIMarketing.co.id – Berita Digital | Perusahaan-perusahaan di kawasan Asia saat ini menjadi yang terdepan dalam penerapan AI. Berdasarkan Hitachi Vantara State of Data Infrastructure Survey, 37% perusahaan di seluruh dunia kini menganggap AI sangat penting bagi bisnis mereka, sementara di Asia angkanya mencapai 42%.

Bahkan, di beberapa pasar di Asia angkanya jauh lebih tinggi lagi. Tiongkok dan Singapura misalnya, menduduki peringkat teratas secara global dengan 53% dan 57%. Hal ini mengindikasikan bahwa AI sangat penting bagi bisnis mereka. Meski begitu, menurut survei yang melibatkan 1.200 responden global-termasuk 325 responden di India, Tiongkok, Singapura, Indonesia, dan Malaysia – ini kawasan Asia masih bergelut dengan berbagai tantangan yang mendasar, data.

Berjuang membangun fondasi data

Perusahaan di Asia mengatakan bahwa model AI yang mereka gunakan menghasilkan output yang akurat hanya sekitar 32%, dan data yang tersedia hanya 34%. Yang lebih memprihatinkannya lagi adalah kualitas data itu sendiri, dengan hanya 30% yang dianggap terstruktur. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar informasi yang masuk ke dalam sistem AI mereka masih berantakan dan belum disempurnakan.

Alih-alih menuai hasil dari ekosistem AI, angka-angka ini menunjukkan bahwa masih banyak bisnis di Asia bergulat dengan rintangan implementasi yang mendasar. Kualitas dan ketersediaan data yang terbatas kemungkinan besar akan menghambat inisiatif AI untuk mencapai terobosan yang diimpikan para pemimpin bisnis. Meskipun kawasan ini memiliki banyak organisasi yang menyatakan AI sangat penting, aspirasi yang tinggi ini berisiko digagalkan oleh kondisi data yang buruk.

Melonjaknya volume data menambah kerumitan

Masalah ini diperparah dengan ledakan volume data yang membayangi. Dengan responden di Asia yang memperkirakan permintaan penyimpanan data akan meningkat 123% dalam dua tahun ke depan, perusahaan akan semakin sulit memastikan model AI menerima input yang bersih dan tepat waktu.

Kekhawatiran akan keamanan data menambah lapisan kerumitan lainnya; 44% responden di Asia menyatakan ini merupakan kekhawatiran utama, melebihi rata-rata global yang hanya 38%. Tekanan ini sangat terasa terutama di India dan Indonesia, di mana 54% dan 50% menyoroti keamanan data sebagai salah satu kekhawatiran utama mereka saat menerapkan AI. Dalam lingkungan seperti ini, tanpa tindakan tegas untuk meningkatkan penataan, ketersediaan, dan kualitas data, perusahaan-perusahaan di Asia akan mengalami kesulitan dalam menerapkan AI.

Berinvestasi pada keterampilan dan keahlian eksternal

Sementara itu, perusahaan-perusahaan di Asia terus memperkuat kemampuan AI mereka: 71% perusahaan di Asia mempekerjakan staf dengan keterampilan yang relevan dengan AI (dibandingkan 64% secara global) dan 68% berkonsultasi dengan pakar eksternal (dibandingkan 61% secara global), yang mengindikasikan adanya upaya bersama untuk menutup kesenjangan keahlian dan mengimplementasikan AI secara bertanggung jawab.

Khusus responden dari Singapura, Indonesia, India, dan Tiongkok, semuanya melibatkan para ahli atau mempekerjakan pakar AI dengan tingkat yang lebih tinggi daripada rata-rata global. Namun, hal ini tidak terjadi pada responden Malaysia yang lebih banyak mengandalkan pembelajaran secara otodidak (50%), yang menunjukkan adanya pendekatan berbeda dalam membangun kemampuan di pasar.

Kualitas data, kemitraan vendor, dan manajemen proyek mendorong keberhasilan

Mencapai keunggulan AI yang berkelanjutan di Asia bukan hanya tentang peningkatan skala; hal ini membutuhkan peletakan dasar yang tepat agar AI dapat berkembang. Di antara para pengadopsi AI yang paling sukses di kawasan ini, 40% memuji penggunaan data berkualitas tinggi atas pencapaian mereka, di atas rata-rata global yang hanya 38%. Yang tidak kalah pentingnya adalah kolaborasi strategis dengan para ahli di luar organisasi: 39% pelopor AI di Asia menyebutkan bahwa kemitraan dengan vendor dan spesialis AI merupakan kunci keberhasilan, melebihi angka global yang hanya 37%.

Melengkapi trio faktor penting tersebut adalah manajemen dan tata kelola yang kuat. Di Asia, 45% perusahaan dengan kinerja terbaik memuji kerangka kerja tata kelola yang kuat, jauh di atas angka global 37%. Angka-angka ini menggarisbawahi bahwa data yang dapat diandalkan, mitra yang berpengetahuan luas, dan manajemen proyek yang disiplin membentuk fondasi yang kuat untuk menavigasi kompleksitas AI.

“Adopsi AI yang cepat di Asia bukanlah sebuah teori, melainkan sebuah kenyataan,” ujar Adrian Johnson, Senior Vice President dan General Manager, Amerika dan Asia Pasifik di Hitachi Vantara. “Namun, para pemimpin harus menyadari bahwa ketersediaan, keamanan, kualitas, dan tata kelola data bukanlah hal yang bersifat opsional. Tanpa itu semua, potensi AI tidak akan terwujud.”

Mengubah kekuatan data menjadi keuntungan jangka panjang

Seiring dengan semakin matangnya penerapan AI di kawasan Asia, menyempurnakan praktik-praktik data yang mendasarinya akan memastikan momentumnya bertahan lama. Mengubah data yang tidak terstruktur menjadi informasi yang disempurnakan dan siap pakai dapat mendukung model AI yang lebih akurat. Sementara itu, langkah-langkah keamanan yang kuat dan kerangka kerja tata kelola membantu memenuhi tuntutan peraturan dan menyelaraskan dengan praktik terbaik.

Selain itu, survei ini juga mengungkapkan bahwa seiring dengan kemajuan inisiatif AI yang dilakukan organisasi, sebagian besar pemimpin TI di Asia menyadari perlunya dukungan pihak ketiga di area-area penting, termasuk:

Hardware – Agar efektif hardware harus aman, tersedia 24/7, dan efisien untuk memenuhi tujuan keberlanjutan. Dalam survei tersebut, 36% pemimpin TI melaporkan bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk membangun model AI/LLM.

Solusi Penyimpanan dan Pemrosesan Data – Solusi data yang efektif mendekatkan data kepada pengguna dengan tetap mengedepankan keamanan dan keberlanjutan. Survei ini menemukan bahwa 30% pemimpin membutuhkan bantuan untuk mengurangi penyimpanan data yang berlebihan, usang, atau sepele (ROT), 29% membutuhkan bantuan untuk persiapan data, dan 34% mencari bantuan untuk pemrosesan data.

Software – Keamanan dan ketahanan software sangat penting untuk melindungi dari risiko siber dan memastikan aksesibilitas data. 39% pemimpin TI membutuhkan keahlian pihak ketiga untuk mengembangkan model AI yang efektif.

Staf Terampil – Kesenjangan keterampilan masih menjadi rintangan dengan 42% pemimpin membangun keterampilan AI melalui eksperimen dan 30% mengandalkan pembelajaran otodidak.

“Dengan menyelaraskan ekspansi AI dengan integritas data dan investasi sumber daya, perusahaan-perusahaan di Asia dapat sepenuhnya memanfaatkan keunggulan awal mereka,” tambah Johnson. “Fokus pada unsur-unsur dasar data bersamaan dengan kemitraan strategis dan tata kelola yang efektif, dapat memastikan inisiatif AI memberikan nilai tambah yang benar-benar transformatif dan bertahan lama.”