Service Quality Gaya Pedagang

Lucu juga melihat ulah para pedagang handphone di sentra-sentra handphone. Mereka sepertinya punya standar layanan yang sama. Kalau kita berjalan dekat outlet mereka, maka penunggu outletnya langsung mengatakan “Boleh pak, mau cari handphone apa?”. Nada suaranya memang terkesan ramah sekalipun itu dilakukan dengan cara setengah berteriak karena mereka ada di balik meja kaca yang relatif jauh dari Anda.

Sebagian dari mereka mengucapkannya tanpa senyum. Seperti “robot”yang sudah distel kata-katanya kalau calon pembeli datang ke outlet. Kalaupun senyum, senyumannya tidak seperti senyuman customer service bank yang mengembang dengan baik.

Standar yang kedua adalah menawarkan Anda minum air kemasan gelas. Wow, standar yang melebihi bank. Tidak ada pegawai bank yang menawari kita minum pada saat kita menunggu.

Tapi ya, jangan harap mendapatkan minuman kalau Anda belum serius membeli. Begitu deal harga, barulah minuman air mineral gelas keluar. Soalnya kalau tidak, Anda dianggap cuma sekadar bertanya tanpa mau membeli. Jadi investasi service lewat air kemasan ini bentuk empati yang dilakukan untuk mereka yang sudah menjadi pelanggan.

Begitulah kalau pedagang berusaha menerapkan service quality. Gaya menyapa mereka bukan berasal dari sekolah maupun kursus service quality yang mahal-mahal. Mereka memang sudah sadar pentingnya meretensi pelanggan, namun  mereka hanya menyontek tetangga sebelah mereka.

Kalau pedagang di sebelah mereka menawarkan air putih mereka pun melakukan hal yang sama. Bahkan kalau pedagang sebelah mengatakan yang sama, mereka juga ikut mengatakan hal yang sama.

Kalau diferensiasi harga sudah tidak bisa dilakukan karena persaingan yang demikian ketat, seharusnya pelayanan yang lebih mengemuka. Namun pelayanan pun akhirnya harus didiferensiasikan pada saat setiap pemain dalam industri tersebut sudah menjalankan strategi pelayanan yang sama. Paling tidak, ketika ada ciri pelayanan yang berbeda maka toko tersebut akan terlihat menonjol dibandingkan yang lain.

Sebenarnya si pemilik toko memang tidak mengerti apa itu standar layanan. Di pikiran mereka sudah muncul paradigma bahwa mereka harus melayani pelanggan. Namun si Boss hanya sekadar memberi instruksi. Mereka menginstruksikan pegawainya untuk menyapa seperti itu ketika bertemu pelanggan dan menawarkan minum pada saat sudah mencapai kesepakatan harga.

Mereka tidak memasukkan unsur penampilan, sikap dan perilaku yang sebenarnya juga bagian dari service. Itulah sebabnya bahasa yang keluar dari mulut pegawainya juga seperti bahasa robot. Jangan menyamakan mereka tentunya dengan para pegawai hotel yang untuk melakukan senyum saja harus mengikuti pelatihan dengan sesi khusus!

Selain itu culture pelayanan juga tidak ditumbuhkan oleh si boss kepada pegawainya. Baik yang bersifat tulisan maupun keteladanan. Coba lihat culture dari Ritz Carlton hotel “We’re ladies and gentlemen serving ladies and gentlemen” atau salah satu slogan Nordstorm “Our number one goal is to provide outstanding customer service”.

Bayangkan kalau Anda konsultan pelayanan dan menyarankan mereka untuk menempel culture perusahaan seperti itu di dinding toko mereka. Mereka sudah pasti menertawakan Anda. Dibanding menempel tulisan tersebut, lebih baik jika dinding mereka “dijual” kepada merek handphone maupun kartu seluler. Lebih menghasilkan keuntungan dibandingkan melakukan brain wash untuk para pegawai mereka!

Sebagian besar pedagang memang berpikir jangka pendek. Service apa yang mereka bisa lakukan hari itu harus bisa menghasilkan saat itu juga. Tidak ada unique experience yang mereka deliver kepada pelanggan. Wajar saja, mereka pun sebenarnya juga sadar bahwa pelayanan bukan sesuatu yang murah.

Dengan tingkat persaingan yang demikian ketat, mereka harus hidup dengan marjin yang kecil. Kadang-kadang marjin 2 persen pun harus mereka ambil. Lalu darimana mereka harus mengivestasikan pelayanan?

Mungkin mereka bisa mengivestasikan di “senyum”. Katanya senyum itu adalah bahasa pelayanan yang paling murah. Tapi percaya atau tidak, senyum itu bisa mengembang atau tidak tergantung kantong si pegawai.  Sebagian besar Boss mereka memberi gaji yang standar.  Selain itu, kalau mereka ikut pelatihan sehari saja, maka tidak ada yang menjaga toko mereka. Makanya, jangan harap pegawai mereka bisa menjadi raja atau ratu kepuasan pelanggan.

Untuk mengubah kebiasaan para pedagang ini memang dibutuhkan inisiatif dari para principal pemegang merek. Mereka harus mendorong, memotivasi dan memberi insentif kepada pedagang. Terutama sekali kepada para pedagang yang menjadi partner eksklusif. Saat ini banyak service provider yang mempergunakan pihak ketiga untuk membuka outlet atau service center.

Ini dikarenakan pelanggan mereka semakin banyak dan tersebar dimana-mana. Contohnya dealer dan service center mobil, ataupun service center dari kartu seluler. Namun demikian biasanya mereka adalah orang-orang yang masih bermental pedagang. Sudah pasti mereka pelit untuk mengeluarkan investasi di bidang service kalau bukan dari si prinsipal.

Oleh karena itu bentuk paling baik bagi para pedagang ini adalah memberikan insentif yang jelas. Misalnya memberikan marjin lebih besar jika dilihat mampu menjalankan standar layanan yang diharapkan. Jangan sampai lupa pula memberikan insentif yang berujung pada uang. Karena bagi pedagang, uang sekarang lebih penting dibandingkan esok hari. (www.marketing.co.id)

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.