Keberadaan iklan hot atau sensual bagai dilema. Di satu sisi dianggap menguntungkan dan menarik oleh pemilik brand, namun di sisi lain bertentangan dengan etika periklanan.
Dari sisi praktisi periklanan, kaburnya batasan pornografi tersebut tentunya menghambat kreativitas mereka. Insan kreatif dituntut harus memenuhi permintaan klien akan iklan yang menarik. Di sisi lain, mereka terbentur akan regulasi yang masih abu-abu.
Pendekatan sensual atau seks salah satunya diatur dalam Etika Pariwara Indonesia 1.26 tahun 2005 terbitan Dewan Periklanan Indonesia tentang Pornografi dan Pornoaksi. Butir tersebut mengatakan, “Iklan tidak boleh mengeksploitasi erotisme atau seksualitas dengan cara apa pun, dan untuk tujuan atau alasan apa pun.”
Alih-alih menampilkan unsur kreatif, iklan-iklan yang menonjolkan visual sensual hanya menampilkan kemolekan tubuh model yang dominan perempuan untuk memikat audience.
Pengamat periklanan, RTS Masli, mengungkapkan ada pergeseran nilai yang terjadi di dunia periklanan, khususnya terkait iklan sensual. Faktor yang menjadi penyebab adalah lompatan teknologi dan perubahan kebutuhan konsumen. Lompatan teknologi secara pesat mau tidak mau berdampak pada perubahan adat istiadat yang ada di Indonesia. Kemudahan akses informasi yang tidak terbatas membuat hal-hal yang dulu dianggap tabu menjadi biasa, termasuk soal definisi pornografi atau pornoaksi.
“Pemerintah belum memberi aturan yang pasti soal mana yang sensual dan mana yang tidak, atau mana yang abu-abu. Sehingga yang terjadi adalah timbulnya multipersepsi,” terang Masli.
Faktor pendukung maraknya iklan sensual lainnya adalah kebutuhan konsumen yang terus berubah. Konsumen tidak hanya menginginkan iklan yang berisi informasi, tetapi juga yang menarik dan menghibur. Sering kali keinginan konsumen akan iklan sensual tersebut didukung oleh pemilik brand yang rela merogoh kocek tebal demi kepentingan bisnis. Salah satunya adalah dengan menjadikan perempuan sebagai objek iklan.
Dahulu, perempuan tidak jarang digunakan sebagai objek iklan. Kalaupun ada, Masli menjelaskan, penempatan image–nya sesuai dengan brand yang dibawakan. Misalnya, perempuan untuk produk khusus perempuan. Sedangkan sekarang, iklan sensual cenderung mengeksploitasi perempuan hanya untuk tujuan bisnis.
“Perempuan pada dasarnya menarik. Jadi, penggunaan perempuan sebagai objek walaupun tidak ada hubungan dengan produk sekalipun tetap sangat menarik dan mampu menyedot perhatian. Meskipun pengambilan keputusan tidak melulu dilakukan perempuan,” terang mantan Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) ini.
Padahal, menurutnya, masih ada unsur kreatif lain yang seharusnya bisa digali oleh agency dari sebuah brand dalam proses brainstorming iklan. Penulis buku Cakap Kecap ini memberi alternatif pendekatan humor, visual produk, tipografi, endorser, budaya, dan emotional selling ketimbang sensasi erotis murahan.
Sayangnya, etika periklanan merupakan salah satu dari hukum normatif. Artinya, pelanggaran terhadap regulasi ini tidak akan diganjar hukum pidana atau perdata. Sejauh ini sanksi yang diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Periklanan Indonesia (DPI) kepada brand pemilik iklan sensual adalah teguran dan pengucilan. Sedangkan sanksi terberat adalah pemblokiran dan pencabutan hak tayang di stasiun TV.
DPI membawahi Asosiasi televisi Swasta Indonesia (AVTSI) sehingga wewenang pemblokiran tersebut dapat langsung diberikan oleh DPI. Oleh sebab itu, ia mengimbau masyarakat untuk berperan aktif terhadap menjamurnya iklan sensual, yakni dengan memberi surat pengaduan konsumen ke PPPI.
Angelina Merlyana Ladjar