Kala konteks bagaikan Tuhan dan konten diperlakukan bagai paria, itulah sebuah potret karakter unik konsumen Indonesia.
Dalam sebuah diskusi, seorang bule pembicara topik bisnis dan marketing yang terbiasa mengajar di negara-negara maju Eropa merasa heran dengan artikel-artikel daring Indonesia. Dia bertanya, “Kenapa artikel-artikel daring di Indonesia sangat dominan dengan topik politik, gosip, dan berbau seks? Bahasannya pun cenderung di permukaan, tidak mendalam, dan lebih didominasi konten visual. Kenapa tidak mencoba mendalami topik yang disampaikan, buat lebih variatif, dan kalau perlu tidak menyertakan gambar karena lebih boros data?”
Dari pertanyaan tersebut, sudah dapat diduga bahwa si bule belum mengetahui karakter konsumen Indonesia yang lebih mementingkan konteks dibandingkan konten.
Bukti dan studi bahwa konsumen Indonesia lebih mementingkan konteks dibandingkan konten bertebaran di mana-mana. Data Badan Pusat Statistik (2012) menyebutkan bahwa 91,68% penduduk yang berusia 10 tahun ke atas lebih menyukai menonton televisi dan hanya 17,66% penduduk yang menyukai membaca surat kabar, buku, dan majalah.
Hasil survei United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (2011) menemukan bahwa indeks membaca rakyat Indonesia hanya 0.001 yang berarti dari 1.000 penduduk, hanya 1 orang yang memiliki minat baca tinggi. Data Ikatan Penerbit Indonesia (2014) menyatakan bahwa jumlah buku terbit di Indonesia hanya sekitar 30.000 judul berbanding 240 juta penduduk Indonesia dengan rasio 1 buku dibaca 3 hingga 5 orang.
Kembali ke kebiasaan penduduk Indonesia menonton televisi, temuan Nielsen (2014) yang senada dengan temuan BPS mengungkap bahwa televisi menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%) di kota-kota baik di Jawa dan luar Jawa. Padahal banyak studi menunjukkan bahwa menonton televisi menyebabkan gelombang otak pada kondisi alfa karena dominasi fungsi indra visual dan perasaan. Kondisi alfa biasa berasosiasi dengan kondisi meditasi. Dengan kata lain, otak manusia cenderung mengistirahatkan dirinya saat menonton televisi (Applied Neuro Technology, 2012).
Temuan kebiasaan tinggi masyarakat Indonesia menonton televisi menunjukkan bangsa Indonesia bukan bangsa pembaca, memiliki tingkat pengetahuan lebih rendah secara umum dibandingkan konsumen-konsumen negara maju, dan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Masyarakat kita tidak sekadar mengakses informasi lebih sedikit, mereka juga tidak mencerna dan mengolah informasi lebih dalam. Hal ini antara lain disebabkan sistem pendidikan di keluarga dan di sekolah yang belum biasa mengajarkan cara berpikir kritis (Handi Irawan, 2008).
Berdasarkan data yang ada, bukan hal mengejutkan jika kualitas program televisi kita masih rendah, kualitas berita secara umum cenderung dangkal, dan bahkan buku-buku yang beredar lebih dominan buku yang ringan dibaca walau tidak menjadikan seseorang lebih pandai dan lebih berpengetahuan. Dapat dipahami jika masyarakat Indonesia mudah tersulut amarah cuma karena gosip dan intens berkasak-kusuk di jejaring sosial hanya dengan membaca judul artikel tanpa membaca isi. Kenyataannya masyarakat Indonesia jauh lebih mengutamakan sampul daripada isi.
Strategi Marketing yang Perlu Dilakukan
Paparan data dan uraian yang sudah disampaikan memiliki dampak signifikan terhadap para marketer Indonesia. Pertama, para marketer Indonesia perlu memahami bahwa kekuatan persepsi sangat dominan di benak masyarakat Indonesia. Hasil survei Frontier Consulting Group terhadap ratusan merek selama lebih dari 10 tahun menunjukkan hal ini. Kesenjangan antara kualitas aktual dan kualitas persepsi bisa lebih lebar dibandingkan dengan negara maju, misalnya Amerika Serikat.
Konsumen Indonesia secara umum memiliki pengetahuan produk lebih rendah dibandingkan dengan konsumen negara maju. Karenanya, dapat dimafhumi jika produk yang biasa saja namun dipersiapkan dengan pencitraan yang baik dapat menjadi produk yang bagus. Sebaliknya, produk dengan kualitas baik namun disampaikan dengan konteks yang tidak tepat, belum tentu konsumen Indonesia mempersepsikan produk tersebut sebagai produk berkualitas.
Kedua, pengaruh komunikasi dalam menciptakan tren, gaya hidup, dan ekuitas merek relatif kuat di Indonesia. Sebagai contoh, seseorang dapat menjadi selebriti secara instan, misal dalam waktu satu tahun dan bahkan kurang, sepanjang dia rutin tampil dalam acara berating tinggi. Popularitas tersebut dapat diraih meski individu tersebut minim kualitas pribadi, antara lain dari sisi pendidikan dan kapasitas intelektual.
Maka, saat berkomunikasi dengan konsumen Indonesia secara umum, sampaikan pesan sederhana. Memberikan pesan kompleks menyulitkan konsumen Indonesia untuk mengolah informasi. Utamakan juga konten-konten visual disertai pesan emosi yang kuat karena konsumen Indonesia jarang membaca.
Ketiga, ciptakan nilai-nilai yang bersifat emosional. Gengsi adalah kebutuhan emosional paling laku untuk masyarakat Indonesia, khususnya segmentasi premium. Membeli ponsel Rp10 juta, mengendarai mobil Rp1 miliar, dan membeli kudapan ringan Rp20.000 pun dilakukan demi meraih perhatian banyak orang.
Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan konteks jauh lebih diutamakan dibandingkan dengan kualitas riil. Sementara masyarakat menengah bawah Indonesia membutuhkan nilai-nilai emosional seperti perasaan dihargai, dianggap sebagai pahlawan, dan diterima oleh kelompoknya.
Keempat, sentuhan manusia masih menjadi hal krusial bagi konsumen Indonesia. Karenanya, pembicaraan melalui kontak telepon dengan manusia betulan masih menjadi primadona konsumen Indonesia. Berhubungan secara langsung dengan petugas pelayanan pelanggan atau staf perusahaan lebih memberikan rasa percaya bagi konsumen. Konsumen Indonesia cenderung tidak puas jika dilayani mesin.
Karakter inilah penyebab terhambatnya pertumbuhan contact center di Indonesia. Selain contact center, e-commerce pun turut terkena imbas pertumbuhan lambat. Konsumen Indonesia mengutamakan konteks dalam berhubungan dengan penyedia jasa dan tidak sekadar hasil akhir.
Andika Priyandana, dari berbagai sumber
MM082016/W