Marketing.co.id – Setelah menonton konser Metallica, saya jadi teringat sebuah jurnal yang pernah ditulis oleh Alan B. Krueger, Chairman of Economic Advisers Gedung Putih. Judulnya “Land of Hope and Dreams: Rock and Roll, Economics and Rebuilding the Middle Class”.
Di awal tulisannya, Alan menyatakan bahwa pada situasi tekanan ekonomi di Amerika pada saat ini, sangatlah penting kita memiliki Rock and Roll yang bisa menyatukan orang-orang dan mengingatkan kita bahwa kita semua adalah satu, disatukan oleh harapan dan mimpi kita.
Itu mungkin yang terjadi pada konser Metallica lalu. Berbeda dengan menonton konser musik pop seperti Katy Perry atau Jeniffer Lopez, yang penontonnya berwarna-warni. Di konser musik rock, hampir semuanya menggunakan pakaian atau kaos serba hitam.
Tidak terlihat warna-warni yang mencolok antara penonton yang satu dengan yang lain. Anak muda sampai orang yang berusia 60 tahun pun berbaur dalam himpitan massa di depan panggung. Semuanya merasa muda kembali!
Konser Heavy Metal yang dulu identik dengan kerusuhan ternyata juga tidak terjadi di konser-konser musik sekarang ini. Menonton konser dangdut dan liga sepakbola di Indonesia justru lebih berisiko sekarang ini.
Bisa jadi karena penonton konser musik ini lebih berduit dan mapan. Namun bisa jadi karena setiap penonton juga punya hope dan dream yang sama untuk bertemu idola mereka dan menikmati tontonan tanpa gangguan.
Rock and Roll dalam tulisan Alan hanya istilah saja untuk melukiskan industri musik di AS yang menjadi salah satu pendorong ekonomi negara. Apa yang terjadi di dunia musik merupakan representasi dari keadaan ekonomi di Amerika Serikat.
Jika inflasi terjadi dalam perekonomian negara maka hal yang sama terjadi pada dunia musik. Dalam 30 tahun terakhir misalnya, terjadi kenaikan 400 persen dalam harga tiket konser di AS. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan consumer price index sebesar 150 persen.
Mengapa harga tiket konser melambung dalam 30 tahun terakhir adalah karena terjadi pergeseran dalam pola bisnis industri musik di dunia. Pertumbuhan harga tiket konser yang melonjak tajam terlihat pada masa-masa dimana teknologi internet semakin bertumbuh subur.
Teknologi membuat revenue dari penjualan lagu semakin turun. Mendengarkan musik tidak lagi membutuhkan kaset atau piringan. Lagu bisa di-download, di copy bahkan dibajak sehingga menurunkan pendapatan mereka dari royalti lagu.
Tak mengherankan jika konser menjadi survival game mereka: perbanyak konser dan menaikkan harga konser dengan berbagai inovasi. Sebagai contoh, pemusik sekarang banyak menjual kursi-kursi khusus di konser mereka dan mereka bisa meraih jutaan dolar sendiri dari menjual the best seats mereka ini. Mereka juga rela memiliki jadwal yang padat untuk tour keliling dunia demi mendapatkan pasar konser mereka.
Namun demikian sekalipun setiap konser bisa menyatukan perbedaan dari para penonton, tidak demikian halnya dengan pemerataan pendapatan yang terjadi antar pemusik.
Kenaikan revenue dari konser tidak serta merta meratakan pendapatan dari setiap artis. 56 persen dari total pendapatan konser di AS kini dikuasai oleh 1 persen performers, sementara 5 persen top performers bisa menguasai 90 persen pendapatan konser. Sisanya yang 10 persen menjadi rebutan 95 persen performers lainnya.
Ketimpangan memang selalu ada di mana-mana. Amerika Serikat mungkin tidak memiliki masalah ketimpangan pendapatan seperti Indonesia. Namun di sana 20 persen pendapatan dikuasai oleh 1 persen keluarga dan 2-5 persen keluarga mengontrol 40 persen pendapatan.
Mimpi bahwa setiap orang bisa menikmati hal yang sama menjadi mimpi dari sebuah negara. Mimpi ini seharusnya juga menjadi mimpi para marketer. Bagi marketer, pemerataan pendapatan sangatlah menguntungkan. Distribusi bisa dilakukan lebih efisien, area penjualan produk bisa semakin luas dan revenue pada akhirnya juga bisa membesar.
Ini mirip dengan konser musik di mana pemusik bisa menyampaikan pesan lebih mudah karena semua penontonnya ada dalam connection yang sama. Mereka melepaskan semua atribut perbedaan dan memilih larut dalam hope dan dream yang sama.