Risk Taker

Salah satu keputusan terbesar yang harus dilakukan oleh seorang marketer adalah memutuskan apakah meluncurkan produk baru atau tidak. Meluncurkan produk baru memang bukan sekadar hitung-hitungan matematis, tetapi juga membutuhkan keberanian mengambil risiko. Hati-hati, kegagalan produk kita kadang tidak terlihat dalam waktu dekat. Banyak produk yang baru di-introduce di pasar mengalami booming. Namun, bulan-bulan berikutnya belum tentu memberikan hasil yang menggembirakan.

Wajar saja jika produk baru memiliki kenaikan penjualan yang tinggi pada masa awal diluncurkan. Aktivitas komunikasi dan sales promotion yang agresif serta keingintahuan konsumen yang besar untuk mencoba, cenderung meningkatkan penjualan. Tetapi, jika ternyata konsumen menganggap tidak ada value yang bisa mereka rasakan, maka penjualan tiba-tiba akan mengalami penurunan.

Apakah kurangnya riset pemasaran yang mengakibatkan kegagalan produk baru? Sebagian memang bisa disebabkan oleh hal itu. Banyak marketer kurang melakukan riset yang mendalam sebelum meluncurkan produk. Bahkan, ada yang hanya mengandalkan feeling atau mengikuti tren produk yang ada. Yang juga banyak terjadi, marketer secara intensif melakukan riset, tapi kemudian tidak mau menerima hasil riset tersebut. Soalnya, riset bisa mengatakan kepada Anda untuk tidak meluncurkannya.

Riset pemasaran memang tidak selalu memberikan gambaran yang menggembirakan buat kita. Kadang-kadang hasilnya menunjukkan bahwa market tidak menerima produk kita. Persoalannya, apakah kita kemudian berbesar hati menerima kenyataan tersebut? Meluncurkan produk baru membutuhkan proses yang panjang. Tidak jarang produk baru tersebut merupakan hasil penelitian dan research & development yang dilakukan bertahun-tahun. Inovasi-inovasi baru muncul dari eksperimen dan pergumulan ide yang panjang. Akibatnya, jika ternyata market tidak menerima, semua yang telah dilakukan seperti menjadi percuma.

Daripada percuma, akhirnya mereka mencoba meriset kembali atau mencari second opinion dari konsultan riset lain. Mereka berharap hasilnya akan berbeda. Sebagian lagi mungkin akan nekat meluncurkan dan berharap pada kemujuran. Ada pula yang memodifikasi produk tersebut terlebih dulu, baru kemudian meluncurkannya.

Sebenarnya, pasar pun bisa salah membaca. Khususnya untuk produk yang belum dikenal, konsumen bisa menolak pada awalnya. Namun, dengan proses edukasi yang terus-menerus dan momentum yang tepat, akhirnya pasar bisa menerima. Referensinya adalah merek Sozzis. Produk sosis siap saji ini bisa masuk ke pasar sekalipun sosis bukan makanan yang cocok dan biasa dikonsumsi orang Indonesia.

Hal sebaliknya juga bisa terjadi. Konsumen bisa mengatakan senang dengan konsep produk Anda. Tapi, ketika diluncurkan, ternyata mereka menolak produk tersebut. Apa yang dipikirkan konsumen, belum tentu dilakukan!

Lebih aman memang meluncurkan produk yang terbukti telah sukses, sekalipun hal ini juga bukan jaminan keberhasilan. Konsumen sudah pasti pernah mengalami pengalaman dengan produknya, tinggal kita modifikasi dari sisi marketing mix. Marketer yang “cari aman” semacam ini menghindari risiko terbuangnya waktu lantaran konsumen harus mengenali dulu produknya.

Sebagian besar marketer di Indonesia mengambil pilihan ini. Ibaratnya, tukang martabak yang sukses akan segera diikuti oleh tukang-tukang martabak yang baru. Pasarnya kemudian akan menjadi crowded dan konsumen akhirnya sudah tidak bisa mengenali mana tukang martabak asli yang menjadi penggerak pasar!

Tidak banyak marketer yang mau menjadi “pelaut” dan mengarungi laut biru (blue ocean) dengan masuk ke area kompetisi baru yang belum pernah disinggahi marketer lain. Mereka biasanya malas menjalankan strategi ini karena harus mengedukasi pasar sendirian. Selain itu, blue ocean terkadang tidak seramah seperti yang digambarkan. Anda bisa mengarunginya dengan aman, atau justru tenggelam! Bisa jadi, pasar tidak menerima produk revolusioner Anda. Bisa jadi pula, produk revolusioner Anda itu masuk ke pasar yang sangat niche dan sulit berkembang. Akibatnya, produk Anda perlahan-perlahan tenggelam.

Nah, tinggal bagaimana Anda berani mengambil risiko yang ada. Apakah mau menjadi high risk taker atau tidak? Apakah Anda tetap bernyali meluncurkan produk pada saat riset pasar mengatakan “No Go”? Atau, apakah Anda justru tidak meluncurkan produk pada saat riset mengatakan “Go”? Kalau melakukan yang terakhir ini, berarti nyali Anda benar-benar ciut.

 

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.