Reputasi Brand di Era Digital, Naik karena Ulasan, Tumbang karena Komentar

0
[Reading Time Estimation: 2 minutes]

Reputasi brand di era digital bukan hanya soal visibilitas, tetapi validitas. Konsumen ingin tahu apakah brand benar-benar memegang nilai-nilai yang diklaim, memperlakukan karyawan dengan baik, dan tidak hanya tampil sempurna saat hanya kamera menyala.Reputasi Brand di Era Digital, Naik Karena Ulasan, Tumbang Karena Komentar

Marketing.co.id – Berita UMKM | Dalam era digital yang serba cepat, reputasi brand tidak lagi dibangun dalam hitungan tahun melalui kampanye mahal dan iklan konvensional. Kini, cukup satu video viral berdurasi 10 detik atau satu cuitan di platform X (sebelumnya Twitter) untuk mengubah persepsi publik secara drastic, baik membawa nama brand terangkat ke puncak pujian, maupun terpuruk dihantam kritik netizen.

Media sosial dan platform digital telah menggeser peran kekuasaan dari tangan perusahaan ke tangan konsumen. Konsumen hari ini bukan lagi pihak pasif yang sekadar membeli produk. Mereka adalah komentator, pengulas, bahkan pembentuk opini publik. Maka tak heran, reputasi brand kini sangat ditentukan oleh narasi yang beredar di ranah digital, bukan hanya oleh apa yang dikatakan brand tentang dirinya sendiri.

Menurut laporan terbaru CX Asia Digital Experience Index 2025, sebanyak 87% pelanggan Indonesia mengaku pernah menilai reputasi sebuah brand hanya dari cara mereka menangani keluhan secara online. Respons lambat, tanggapan kaku, atau nada yang tidak empatik dapat dengan mudah menjadi bumerang yang menyebar cepat di platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X.

Hal ini memaksa perusahaan untuk tidak hanya tampil baik, tapi juga benar-benar berperilaku baik. Sebab, reputasi kini bersifat dinamis, real-time, dan sangat rapuh. Media sosial telah menjadikan transparansi dan akuntabilitas sebagai dua nilai utama yang wajib dimiliki setiap brand. Konsumen ingin tahu dan punya hak untuk tahu apakah brand benar-benar mempraktikkan nilai-nilai yang mereka klaim.

Beberapa brand tanggap dengan tren ini dan mulai mengadopsi sistem social listening, yakni pemantauan percakapan digital secara menyeluruh untuk mendeteksi potensi krisis sejak dini. Tak sedikit pula yang membentuk tim respons cepat, terdiri dari para profesional komunikasi dan customer service yang dilatih untuk merespons isu secara cepat, manusiawi, dan solutif.

Contoh nyata terjadi pada sebuah restoran cepat saji nasional yang menghadapi krisis setelah video viral menunjukkan insiden pelayanan buruk. Alih-alih menghindar, brand tersebut secara terbuka menyampaikan permintaan maaf, mempublikasikan langkah korektif, dan menampilkan proses perbaikan internal. Hasilnya, bukan hanya simpati publik, tapi juga meningkatnya kepercayaan konsumen.

Validitas Lebih Penting dari Visibilitas

Di tengah derasnya arus konten digital, visibilitas bukan lagi segalanya. Yang lebih penting adalah validitas, apakah brand benar-benar menjalankan nilai-nilai yang dikomunikasikan ke publik? Apakah mereka memperlakukan karyawan dengan adil? Apakah kualitas produk sesuai janji?

Reputasi digital bukan lagi tugas tunggal departemen Public Relations (PR). Ia menjadi tanggung jawab kolektif seluruh organisasi, dari frontliner customer service, tim IT, divisi HR, hingga pimpinan puncak. Setiap titik interaksi dengan pelanggan, baik digital maupun fisik, menyumbang satu bab dalam narasi besar reputasi sebuah brand.

Karena itu, di dunia yang bisa mengabadikan dan menyebarkan momen dalam hitungan detik, hanya ada dua pilihan bagi brand, yaitu menjadi otentik dan dipercaya, atau tertinggal dan ditinggalkan.