Radio Masihkah Dilirik Pengiklan?

RadioMarketing.co.id – Persaingan memperebutkan “kue iklan” semakin sengit seiring makin menjamurnya media. Televisi masih powerful dan internet mulai menyita perhatian pengiklan. Bagaimana dengan nasib radio?

Majalah MARKETING beberapa waktu lalu menghadiri paparan belanja iklan nasional tahun 2012 dari Nielsen Indonesia. Yang paling banyak dibahas adalah belanja iklan TV berikut program-programnya.

Belanja iklan (kotor) media Indonesia mencapai lebih dari Rp87 triliun pada tahun 2012 dengan pertumbuhan sekitar 20% dari tahun 2011. TV masih mendominasi pangsa iklan dengan meraup 64% dari total belanja iklan, diikuti oleh surat kabar (33%) dan majalah & tabloid (3%).

Iklan radio sama sekali tidak disinggung. Berbeda dengan media internet, meskipun nilai iklannya masih kecil (sekitar 1%–2%), ikut dibahas dan cukup banyak mendapat sorotan dari jurnalis yang hadir.

Di tengah dominasi media TV dan kehadiran internet sebagai “new media”, mungkin banyak orang bertanya, bagaimana nasib  radio dan masihkah pengiklan tertarik memanfaatkan media ini. Jika kita bercermin pada kasus di Amerika Serikat, radio pernah menunjukkan keperkasaannya.

Radio sebagai media untuk beriklan baru muncul pada tahun 1920-an. Saat itu radio menjadi media alternatif untuk beriklan selain media cetak (koran dan majalah) yang sudah berpuluh-puluh tahun menguasai belanja iklan di AS.

Tahun 1925, jumlah pesawat radio di AS mencapai 5 juta dengan jumlah pendengar radio sekitar 20 juta, atau lebih dari 19% dari jumlah rumah tangga di AS. Beberapa tahun kemudian, nilai iklan radio melonjak hampir 5 kali liponlineat, dari US$4 juta pada tahun 1927 menjadi US$19 juta pada tahun 2009 (Chetan Sharma, Joe Herzog, Victor Melfi. Mobile Advertising: Supercharge Your Brand in the Exploding Wireless Market)

Namun, kedigdayaan radio tidak berlangsung lama. Tahun 1940-an, giliran TV yang menginterupsi radio dengan kekuatan audio visual, dan sejak tahun 1950-an TV menjadi “favorit” bagi pengiklan di AS. Tahun 1956 TV berhasil meraih pangsa pasar 12,2% iklan di AS, melewati majalah yang hanya meraih pangsa iklan 8%.

Sejak tahun 1990-an, kita menyaksikan internet muncul sebagai “media baru” seiring ditemukannya teknologi seperti File Transfer Protocol (FTP), search engine, atau Hypertext Markup Language (HTML). Semuanya telah mengubah format media dan lanskap industri periklanan.

Kabar baiknya, berbagai jenis media tersebut tidak saling mematikan. Radio dengan kekuatan audionya tidak membuat media cetak terkapar. Begitu pun ketika TV datang, tidak lantas membuat radio berhenti mengudara. Internet yang telah menciptakan tsunami digital tetap memberi ruang bagi media konvensional untuk tumbuh.

Alih-alih tergilas oleh internet, justru media konvensional  memanfaatkan internet untuk memperkuat fokus bisnisnya. Hal ini bisa dilihat dari maraknya versi online media cetak atau streaming siaran TV atau radio.

Berbagai jenis media tersebut bisa bertahan karena punya keunggulan masing-masing. Pada kasus radio misalnya, media ini  punya keunggulan “unique usage characteristic”, yakni bersifat eyes-free dan hands free.

Mendengarkan radio tidak butuh indera penglihatan, dan tangan kita tidak perlu terpaku pada pesawat radio. Karena bersifat eyes-free dan hands free, kita bisa mendengarkan radio di mana saja sambil melakukan apa saja (multitasking). Bisa di dapur sambil memasak, di kantor sambil bekerja, atau di mobil sambil menyetir.

Karena bersifat visual, siaran radio juga mampu membangun imajinasi para pendengarnya. Pendengar radio sering menerka-nerka bagaimana rupa penyiar radio—apakah cantik atau tampan. Keakraban dengan penyiar pun tercipta karena penyiarnya seperti berbicara langsung di depan mata kita.

Keunggulan-keunggulan di atas jelas tidak dimiliki oleh media cetak, media TV, atau media berplatform internet. Ini yang membuat stasiun radio tetap diminati pendengarnya dan pengiklan. Jumlah stasiun radio di Indonesia masih banyak, di area Jakarta dan sekitarnya saja diperkirakan ada sekitar 46 radio yang mengudara setiap hari.

Radio_01Program Mesti Segmented

Berhubung jumlah media makin banyak dan masyarakat makin terfragmentasi, mau tidak mau stasiun radio dituntut untuk segmented dan menyasar segmen pasar yang nieche.

Salah satu yang agresif menggarap bisnis radio adalah MRA. Kelompok media ini mengelola beberapa stasiun radio, salah satunya Brava Radio. Radio ini menyasar segmen pengusaha ataupun entrepreneur yang lahir di era tahun 1960-an sampai 1980-an. Brava Radio punya program unggulan Do You Remember This yang dalam sehari delapan kali diputar di setiap jam. Ini semacam program “tembang kenangan” bagi pendengarnya.

Segmen yang digarap Brava Radio punya daya beli tinggi, sehingga potensial mendatangkan iklan, termasuk iklan produk-produk segmen atas. Di tahun ketiganya beroperasi, radio ini berhasil menggaet merek BMW, Mercedes Benz, dan Qatar Airways untuk beriklan.

Sebagai radionya orang bisnis, Smart FM menyajikan informasi bernuansa marketing dan motivasi bisnis. Beberapa program unggulannya antara lain Smart Happiness, Commitment to the Nation, Indonesia Strong Home, dan Smart Business Talk. Smart FM cukup sukses menjaring pendengar, jumlah pendengar radio ini mencapai 130 ribuan.

Beberapa produk yang tertarik beriklan di sini antara lain industri otomotif dan keuangan. Keberhasilan dalam menarik pengiklan karena Smart FM selalu memosisikan diri sebagai mitra yang memberikan solusi sesuai kebutuhan klien. Dalam mendekati pengiklan dari industri otomotif dan asuransi misalnya, yang ditawarkan bukan hanya spot iklan, tapi semacam product placement  yang diselipkan informasi tips-tips berseri seputar otomotif dan asuransi kendaraan.

Alasan Beriklan di Radio

Kalau ada merek yang hanya tertarik beriklan di radio, Pizza Hut Delivery (PHD) lah salah satunya. Sejak awal berdiri  pada Februari 2012 lalu, PHD tidak memasukkan TV ke dalam list media beriklan mereka dan menjadikan radio sebagai media utama untuk beriklan.

Pertimbangan memilih radio karena media ini bersifat lokal, sesuai jangkauan pasar PHD yang masih terbatas pada area tertentu. PHD memanfaatkan betul kekuatan radio yang bersifat personal. Adlips dan kuis merupakan format iklan yang kerap dipakai PHD.

PHD memilih figur-figur penyiar terkenal untuk menyampaikan materi iklannya. Karena itu dipilihlah Iwet dan Ari dari Hard Rock FM, Tike dan Ronald dari Jak FM, dan Kemal dan TJ dari Gen FM. Tujuannya agar pendengar lebih akrab dan materi yang disampaikan tidak terkesan seperti iklan.

Castrol Magnetec memilih beriklan di radio karena menurut riset yang dilakukan secara internal, kecenderungan masyarakat untuk mengganti saluran TV lebih besar dibandingkan mengganti siaran radio. Selain itu, faktor kedekatan antara penyiar dengan pendengar dapat membuat terbangunnya hubungan emosional di antara kedua belah pihak.

Castrol Indonesia mengalokasikan sekitar 15%–20% untuk belanja iklan di radio. Agar tujuannya tercapai, pemilihan radio harus dilakukan dengan cermat. Castrol Indonesia hanya memilih radio yang memiliki target audience yang sama dengan Castrol Magnetec, yakni pengguna mobil yang berusia antara 25–35 tahun.

Bagaimana hasilnya? Ternyata cukup sukses mendongkrak penjualan.  Castrol Magnetec yang aktif beriklan di radio sejak Januari tahun 2013 menurut Direktur Marketing Castrol Indonesia, Dicky Saelan, mencetak penjualan double digit hingga saat ini (Maret 2013).

Liputan: Angelina Merlyana Ladjar, Yenny Hardiyanti, Andri Darmawan, Harry Tanoso

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.