President University Kukuhkan Retnowati sebagai Guru Besar 

[Reading Time Estimation: 4 minutes]

Marketing.co.id – Berita Marketing | Pesatnya perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sangat  membantu kehidupan manusia pada semua bidang kehidupan. Namun, sayangnya  anugerah kemudahan tersebut kurang diimbangi dengan peningkatan kualitas  sumber daya manusia (SDM).

Itu terbukti dari hadirnya beragam masalah sosial dan etika yang muncul sebagai dampak dari kesibukan manusia berteknologi, yang berorientasi pada keuntungan dan sering melupakan sisi kemanusiaan. Demikian disampaikan Prof. Dr. Retnowati, S.Th., M.Si., dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar berjudul Digital Society, Perubahan Perilaku dan Empati pada Kemanusiaan: Pendekatan  Antropologi di President Executive Club, Capitol Business District, Jl. Niaga Raya di Kota Jababeka, Cikarang, Bekasi.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Retno mengatakan bahwa pada era digital seperti sekarang dibutuhkan kajian antropologi untuk memprediksi kondisi sosial  masyarakat. “Itu baik untuk kondisi pada saat ini maupun masa mendatang, dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Menurutnya, di masyarakat ada pemahaman yang keliru tentang antropologi. Ilmu antropologi dianggap hanya mempelajari kelompok masyarakat yang terpencil, sederhana, terisolasi baik secara sosial ekonomi maupun teknologi. Contohnya, masyarakat Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika Serikat, dan  berbagai suku lainnya baik di Indonesia, di Afrika atau negara-negara lainnya.

Pemahaman yang keliru semacam ini, membuat ilmu antropologi seakan-akan tersingkir dari kehidupan modern. “Di era globalisasi sekarang ini, definisi tentang masyarakat terpencil perlu dikaji ulang. Sekarang ini di era digital dan internet semuanya bisa dijangkau  dengan mudah dan murah,” katanya.  

Lebih lanjut Prof. Retno mengatakan, perkembangan TIK telah mengubah pola interaksi, pola pikir, pola tindak dan perilaku masyarakat sehari-hari. Kalau dulu interaksinya dengan tatap muka, masyarakat sekarang merasa lebih nyaman, lebih  efektif dan lebih efisien berinteraksi di dunia maya. Kondisi tersebut menuntut perubahan cara melakukan penelitian. 

Sebelumnya, penelitian antropologi dilakukan dengan pendekatan etnografi. Penelitian semacam itu menuntut para peneliti untuk datang dan tinggal bersama masyarakat yang ditelitinya dalam jangka waktu tertentu. Seiring dengan perkembangan TIK yang memicu terjadinya perubahan, arena kajian pun berubah menjadi digital. “Sekarang ini media sosial sudah menjadi potret  dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Maka, apa yang terjadi di media sosial dapat  menjadi data riset untuk kajian antropologi,” ujarnya.

Mengutip data, Prof. Retno menyebutkan bahwa dari 281,7 juta penduduk Indonesia, sebanyak 185,3 juta atau 66% di antaranya merupakan pengguna internet. Lalu, sebanyak 139 juta atau 49% dari seluruh penduduk Indonesia tercatat aktif menggunakan media sosial. Untuk itu, penelitian antropologi perlu berubah dari semula memakai metode etnografi menjadi netnografi.

“Netnografi adalah singkatan dari internet dan etnografi. Metode ini bisa dipakai untuk  mengidentifikasi kehidupan di dunia maya dan menjadikannya sebagai bahan riset,” ungkapnya.  

Saat ini relatif murahnya tarif internet serta kecepatan dan kemudahan aksesnya telah merevolusi media sosial. Siapa pun bebas mengakses dan memproduksi informasi. Sayangnya, banjir informasi ini tidak diimbangi dengan daya kritis dari pengguna media sosial. Akibatnya, ruang publik pun menjadi riuh. Berbagai ide dan gagasan mengalir dengan tanpa filter dan seleksi. Setiap orang bebas mengekspresikan dirinya. Mereka meluapkan keinginannya, empati, kepedulian, bahkan sampai kebencian, purbasangka, hingga sumpah  serapah.

Prof. Retno mencatat, setidak-tidaknya ada 10 media sosial yang paling banyak digunakan masyarakat Indonesia. WhatApps digunakan 92,1% warganet, disusul  Instagram (86,5%), Facebook (83,5%), Tiktok (73,5%), Telegram (64,3%), X (57,5%),  Facebook Messenger (44,9%), Pinteres (34%), Kuai-shou (32,4%) dan LinkedIn  (25%). 

Menurutnya, media sosial yang mestinya digunakan untuk membantu menyelesaikan masalah, membuat manusia menjadi lebih inovatif dan produktif justru banyak disalahgunakan. Contohnya, banyak penipuan perbankan online  atau penyebaran link menyesatkan yang dikirimkan melalui WhatApps; Hoax atau  cyberbullying dilakukan melalui Instagram; Penyebaran video porno atau intimidasi  dilakukan melalui Tiktok; dan masih banyak lagi kasus-kasus lainnya.  

Itu sebabnya kala masyarakat menuju era Society 5.0, Prof. Retno mengusulkan,  teknologi, termasuk media sosial, sebaiknya digunakan untuk meningkatkan kualitas  hidup dengan membantu manusia menyelesaikan berbagai masalahnya. “Jadi, bukan  malah dipakai untuk menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Justru  teknologi harus mengangkat dan meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan,” tegasnya.

Prosesi  pengukuhan Prof. Retno dilakukan dalam sidang senat terbuka yang dipimpin oleh  Rektor Presuniv Handa S. Abidin, SH, L.LM, Ph.D. Hadir dalam prosesi pengukuhan Ketua Yayasan Pendidikan  Universitas Presiden (YPUP) Prof. Dr. Ir. Budi Susilo Soepandji, DEA, dan pengurus  yayasan lainnya. Hadir pula Rektor Universitas Kristen Satya Wacana Prof. Dr. Intiyas  Utami, S.E., M.Si., Ak., CA, CMA, QIA, C.Fra., Prof. Ir. Onno Widodo Purbo, M.Eng,  Ph.D., pakar teknologi informasi yang juga Wakil Rektor di Institut Teknologi  Tangerang Selatan, Dwi Larso, Ph.D., Direktur Beasiswa, Lembaga Pengelola Dana  Pendidikan, Kementerian Keuangan, beberapa guru besar, segenap civitas academica di lingkungan Presuniv, serta sejumlah tamu undangan lainnya.  

Dalam pidato sambutannya, Prof. Budi Susilo menyampaikan tiga harapan terkait pengukuhan Prof. Retno. Pertama, pengukuhan tersebut diharapkan terus memperkuat nilai-nilai dan tradisi akademis di lingkungan  Presuniv. Kedua, Presuniv diharapkan mampu memanfaatkan segenap potensi akademis Prof. Retno. Ketiga, pengukuhan Prof. Retno sebagai guru besar diharapkan menjadi  momentum untuk terus meningkatkan kapasitas riset dan publikasi.

Sementara itu, ketua senat Presuniv, Handa S. Abidin mengungkapkan bahwa Prof. Retno adalah guru besar ke-3 yang dikukuhkan Presuniv. Guru besar sebelumnya yang dikukuhkan adalah Prof.  Dr. Jony Oktavian Haryanto, kini menjabat sebagai Sekretaris YPUP dan Staf Ahli Bidang Inovasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Kebudayaan, serta Prof.  Dr. Chairy, Wakil Rektor Presuniv bidang Kerja Sama.

“Dengan dikukuhkannya Prof.  Retno, saat ini Presuniv sudah memiliki sembilan guru besar yang tersebar di lima  fakultas,” ucap Handa. Meski begitu, lanjut dia, sembilan guru besar yang dimiliki Presuniv sebetulnya masih terlalu sedikit. “Itu sebabnya kami di Presuniv terus  mendorong segenap dosennya agar segera menjadi guru besar,” pungkas Handa. 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here