Political Branding: Sebagian Besar Politisi Masih Latah!

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Branding menjadi kebutuhan utama kampanye, karena bisa menciptakan kampanye yang berbeda dengan yang lain, serta efisien dalam penggunaan tools ataupun dana.

silih agung wasesaItulah yang dikatakan Silih Agung Wisesa, penulis buku Political Branding & Public Relation. Secara umum, menurutnya Political Branding itu adalah bagaimana melakukan branding sebuah aktivitas politik, baik dalam konteks partai ataupun konteks politik.

Branding membantu politisi atau partai menentukan positioning yang tepat untuk konstituen mereka, termasuk dalam hal kampanye dan melakukan engagement,” terangnya.

Lantas, apa yang harus dilakukan politisi dalam proses penciptaan political branding? Silih menjelaskan bahwa yang harus dilakukan adalah menciptakan differential advantage dibandingkan dengan politisi lain. Dengan berbeda, masyarakat akan menjadi paham fungsi sang politisi dalam konteks kehidupan masyarakat.

Sudah ada beberapa politisi yang secara disiplin melakukan branding, sebut saja Jokowi, Ganjar Pranowo dan Ridwal Kamil. Sayangnya, menurut Silih sebagian besar politisi masih latah. Satu pakai ambulan, yang lain bikin ambulan dan sejenisnya.

Silih menambahkan bahwa branding dalam dunia politik bukan sekadar membangun citra. Branding itu menciptakan engagement dengan efektif dan efisien terhadap masyarakat.

Membangun engagement itu dengan memberikan solusi, bukan memberikan uang. Uang bisa jadi salah satu solusi, tapi jangka pendek, transaksional.

Ia menjelaskan, agar aktivitas komunikasi pemilu hemat, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan:

  • Bagaimana politisi ataupun partai bisa memberikan solusi yang dibutuhkan, dan berbeda dengan yang diberikan oleh kompetitor.
  • Bagaimana menciptakan partisipasi masyarakat dalam pemilu.
  • Menciptakan orang ketiga yang mampu meng-endorse program-program politik mereka.

Bagi Silih, citra bisa dibangun dalam waktu singkat selama partai yang bersangkutan bisa mendalami masalah terpendam yang ada di daerah kampanye, kemudian memberikan solusi yang interaktif. Bukan solusi instan seperti memberi bantuan. Tapi menciptakan infrastruktur pemecahan masalah, hingga masalah yang sama tidak terulang lagi.

Ketika ditanya berapa persentase ATL dan BTL, Silih mengatakan tidak ada perbandingan pasti antara antara ATL (Above the line) dan BTL (Below The Line), hal itu tergantung tujuannya.

Hanya saja yang perlu diingat adalah aktivitas ATL itu sifatnya reminding atas apa yang sudah dilakukan di lapangan. Bukan sebagai pesawat tempur yang membombardir awareness. Selain mahal, tidak efektif juga, karena politisi belum melakukan apapun di lapangan.

Silih menyayangkan, saat ini aktivitas branding dan PR partai politik dan caleg kebanyakan masih menggunakan cara-cara konvensional berbiaya mahal. Tidak hanya itu, penggunaan kanal digital oleh partai politik pun terbilang lemah, kecuali beberapa capres dan politisi yang tampak sudah lebih aktif.

Silih menerangkan, meski penetrasi media digital masih kecil dalam penentuan konstituen, bukan berarti bisa ditinggalkan. Media digital memiliki hot button publik yang bisa memengaruhi publik lain.

Nah, agar sukses memanfaatkan media sosial ini, berikut beberapa tips dari Silih:

  • Percakapan

Basis media sosial adalah percakapan. Penting bagi kita untuk melihat tren percakapan yang terjadi dan yang diminati. Selama ini, kita memilih untuk melakukan blasting, sehingga yang muncul justru antipati.

  • Menciptakan pembicaraan

Kita harus menciptakan lahan-lahan untuk menciptakan pembicaraan. Untuk mencapai itu, komunitas media sosial mutlak diperlukan.

  • Sinergi

Terakhir dan yang tak kalah penting adalah menggabungkan kegiatan offline dan online, hingga menjadi sinergi dan interaktif satu sama lain. (Cecep Supriadi)

youth marketers

Artikel ini pertama kali terbit di Majalah Youth Marketers edisi “Political Marketing”. Anda bisa mengunduh majalahnya gratis di sini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here