Pionir Laundry Kiloan dari Yogya

Bisnis laundry kiloan miliknya sukses merambah pasar Jakarta. Bahkan, bakal diwaralabakan.

Belakangan, cukup sulit menemui pria asal Yogyakarta ini. Setelah lima tahun bersimbah peluh membangun Easy Clean—house of laundry, waktu Aditya J. Trituranta memang bukan semakin luang, tapi tambah sibuk. “Mumpung lagi tumbuh, bisnis harus terus digenjot. Momentum jangan disia-siakan,” jawabnya.

Ide bisnis laundry ini bermula dari pengalaman Aditya sebagai pramugara di sebuah maskapai penerbangan nasional. Profesi itu membuatnya sering berkunjung ke luar negeri. Dan kalau sedang bepergian, urusan mencuci pakaian tentu jadi pekerjaan rutin. “Ya, masak sih pakaian kotor dijadikan oleh-oleh?” guyon pria yang murah senyum ini.

 

Enaknya, negara-negara yang disinggahinya menyediakan fasilitas mencuci pakaian sendiri. Tidak perlu pakai papan gilesan. Hanya dengan memasukkan koin, pencet tombol, pakaian kotor langsung kering dan tinggal diseterika. Murah dan simpel.

Bila di luar negeri, mencuci pakaian bisa dilakukan sendiri; di Indonesia, terlebih di Yogya, tidak segampang itu. Secara teknologi, mesin cuci dipasangi koin memang mudah. Tapi konsumen Indonesia punya karakter senang dilayani, gengsi, sedikit gagap teknologi, serta cenderung curang dan sembrono. Karakter yang disebut terakhir ini bisa diamati dari perilaku konsumen dalam menggunakan telepon umum dan fasilitas umum lainnya. Melihat kondisi tersebut, Aditya lalu memodifikasi konsep bisnisnya.

 

Tapi, rintangan yang ditemui tidak sedikit. Sebagai contoh, meyakinkan kedua orangtua yang pegawai negeri jauh lebih rumit daripada hitung-hitungan break even point (BEP). Bahkan, dia sempat berdebat sengit ketika ingin menebang pohon mangga di halaman untuk tempat kerja.

Toh, pada Mei 2002, berbekal pinjaman bank sebesar Rp 60 juta dan restu orangtua (yang akhirnya menyerah pada kegigihan putra mereka), Aditya “nekat” membeli tiga buah mesin cuci Electrolux dan perlengkapan lainnya. Tanah kosong di depan rumah disulap menjadi outlet, sedang sisa pinjaman dijadikan modal untuk operasional dan gaji dua karyawan selama beberapa bulan.

 

Benresik, demikian laundry ini diberi merek—artinya kurang lebih “biar bersih”. Simpel dan mudah diucapkan lidah orang Yogya. Benresik dibuat tampil beda. Hanya menerima “laundry kiloan”, bukan satuan (minimal 5 kg atau kelipatannya). Mesin cuci dan meja seterika pun dipajang di depan sehingga proses pekerjaan bisa dilihat oleh konsumen.

 

“Mengapa kiloan? karena lebih murah. Lima kilo itu setara dengan 20 potong kemeja kerja atau 7 potong celana jins tebal. Harga per 5 kg cuma Rp 15 ribu, dapat jaminan bersih dan rapi. Hebat, kan?” jelasnya bersemangat. Dan lantaran lokasi outlet berada di sekitar kampus dan kost, lanjut Aditya, maka target market Benresik adalah mahasiswa.

Sebagai pionir, perjalanan bisnis laundry kiloan ini tidak langsung mulus. Hari pertama setelah “grand launching”, yang datang cuma satu pelanggan. Itu pun hanya bertanya. Kendati sempat deg-degan, Aditya tetap optimis. Hari kedua ada tiga pengunjung, dan satu di antaranya membawa cucian seberat 4 kg. Hari-hari selanjutnya, di samping melayani pelanggan, Aditya juga sibuk menjelaskan bahwa bisnis ini bukan jualan ataupun jasa servis mesin cuci.

 

Dengan mengandalkan kekuatan promosi “getok tular” (word of mouth) di kalangan mahasiswa, Benresik terus merangkak dan bertumbuh. Kini mereka sudah menggaet 500 pelanggan lebih. Tapi semut-semut lain pun mulai mencium aroma gula. Dalam hitungan bulan, gerai-gerai dengan konsep serupa bermunculan. “Walaupun sudah banyak laundry kiloan, namun Benresik tetap menjadi benchmark. Saat ini, sudah ada ratusan pengusaha laundry kiloan di Yogyakarta. Kemudian berkembang di kota-kota di seluruh Indonesia,” kata suami dari R. Adriana ini mantap.

Alkijo

Ingin menjajal tantangan baru, Aditya berekspansi ke Jakarta pada November 2003. Perumahan Bumi Serpong Damai (BSD) di Tangerang dijadikan pilihan. BSD adalah wilayah penyangga ibukota dan sebagian besar warganya bekerja di Jakarta. Tentu saja, kebutuhan dan perilakunya mewakili masyarakat Jakarta.

Akan tetapi, di sini dia tidak memakai merek Benresik. “Saya menggunakan merek Easy Clean karena nama ini lebih mudah diterima dan sesuai dengan target pasarnya. Target pasarnya berbeda. Bila Benresik untuk mahasiswa, maka Easy Clean lebih menyasar segmen keluarga,” jelasnya. Pricing-nya lebih tinggi. Di BSD untuk paket 5 kg dibanderol sebesar Rp 35 ribu. Strategi harga yang dia terapkan masih berdasarkan total cost ditambah expected margin.

Diakui Aditya, perjuangan membuka pasar di lokasi baru ternyata lebih sulit. Mengubah kebiasaan masyarakat dari laundry per satuan menjadi kiloan, memerlukan strategi dan “nafas” yang lebih panjang. “Saya bersyukur karena di BSD ada media komunitas, sehingga Easy Clean bisa melakukan komunikasi dan promosi dengan harga yang relatif terjangkau. Komunikasi dengan cara menyebarkan brosur dan memasang spanduk juga terus saya lakukan,” imbuhnya.

Nyali besar plus kesungguhannya mengedukasi pasar sedikit demi sedikit mulai berbuah. Dalam tempo setahun, Easy Clean mulai kebanjiran pesanan. Setiap hari sedikitnya mereka mendapat pesanan 25 paket atau setara 125 kg.

Nah, kalau di Tangerang mulai bertumbuh, di kota gudeg bisnis ini sudah beranak-pinak. Aditya sempat khawatir menjamurnya laundry kiloan bakal menimbulkan perang harga. Sebab ini akan merugikan para pebisnis dalam jangka panjang. “Jangankan untuk berkembang, untuk bertahan pun sulit dan ujung-ujungnya akan tutup. Di Yogyakarta, ini sudah banyak terjadi pada bisnis warnet, sewa komputer, play-station, CD dan lainnya. Saling banting-bantingan harga, kemudian mati satu per satu,” ungkap Aditya.

Akhirnya, atas prakarsa Benresik, pada Februari 2005 didirikanlah Asosiasi Laundry Kiloan Jogjakarta (Alkijo). “Ini merupakan asosiasi laundry kiloan pertama di Indonesia, bahkan di dunia,” tandasnya. Saat ini, Alkijo beranggotakan 30 pengusaha laundry kiloan.

Uniknya, papar Aditya, sesama anggota tidak merasa saling bersaing. Mereka sering mengadakan kegiatan berbentuk Coopetition (dalam persaingan ada kerja sama). Banyak hal yang mereka lakukan bersama, antara lain mengadakan training seterika untuk karyawan, seminar bisnis laundry, dan aksi Alkijo Peduli.

Umpamanya, ketika gempa besar melanda Yogya, mereka memberikan layanan laundry gratis untuk relawan, tim medis dan wartawan selama seminggu. Anggota Alkijo menyediakan mesin cuci, mesin pengering dan tenaga, sementara biaya operasional dibantu oleh Electrolux. “Kalau bisnis lain rame-rame turun harga untuk menggaet pelanggan, kami justru bareng-bareng menaikkan harga tanpa kehilangan pelanggan. Pokoke kompak!“ ungkap Agung, Ketua Umum Alkijo.

Bukan itu saja, Alkijo juga menawarkan kerja sama dengan produsen Electrolux. Berharap bisa co-branding lantaran 90% mesin cuci yang digunakan oleh para anggota bermerek Electrolux. Pucuk dicinta ulam tiba. Stefanus Indrayana, Direktur Marketing PT Electrolux Indonesia kala itu, menyambut baik tawaran tersebut.

Ada beberapa hal yang membuat Electrolux menerima “pinangan“ Alkijo. Pertama, para pengusaha laundry kiloan men-display mesin cuci Electrolux yang mereka gunakan kepada konsumen. Kedua, mereka memasang spanduk atau papan nama dengan tulisan ”Laundry kiloan dengan mesin cuci Electrolux”. Namun, yang paling penting adalah reputasi badan usaha dan “chemistry” antara kedua belah pihak. Alhasil, Maret 2005, disepakati bahwa Electrolux akan memberikan service mesin secara rutin, diskon 20% untuk penggantian spare-part, dan membiayai penyeragaman neon box.

Di sisi lain, kerja sama ini membawa berkah tersendiri. Nama Alkijo langsung mendunia lewat website Electrolux. Bahkan pada April 2005, Brad Trible (CEO Electrolux Asia Pasifik) bersama Johannes Budiman (Presiden Direktur Electrolux Indonesia) khusus terbang ke sana untuk bertemu dengan anggota Alkijo dan melihat langsung bisnis laundry.

Hampir Satu Ton

Lebaran, libur panjang, dan musim penghujan adalah “peak season” untuk bisnis ini. Saat sebagian besar keluarga ditinggal pembantu mudik, pesanan bisa mencapai 300 kg (60 paket) per hari. Kala banjir besar merendam Jakarta, Februari lalu, Easy Clean juga “kebanjiran” order. Blessing in disguise, konsumen datang dari Matraman, Warung Buncit, Bintaro hingga Kelapa Gading. Ada yang muncul dengan pakaian basah dan masih berlumuran lumpur.

Rupanya mereka bingung mau mencuci di mana. Rumah masih terendam, listrik mati, air PAM tidak mengalir, dan tenaga sudah habis terkuras. Apesnya, laundry besar menolak pakaian kotor bekas terendam banjir dan berlumpur. Nah, sebagai wujud kepedulian sosial, Easy Clean menerima semua pakaian itu—meskipun harus dilakukan pencucian berulang kali. Puncaknya, pada 3 Februari 2007, sehari setelah banjir besar, Easy Clean menerima pakaian korban banjir hampir 1 ton. Luar biasa!

Easy Clean juga mulai melebarkan sayap bisnisnya. Tahun lalu mereka meresmikan outlet kedua di Villa Melati Mas. Kali ini program kerja samanya makin lebar. Untuk memuaskan pelanggan dalam hal kualitas cucian, Easy Clean menggandeng Rinso Matic dan Molto. Dua merek ini berkomitmen membantu pengembangan Easy Clean dan pengusaha laundry yang tergabung dalam Alkijo.

Rasanya, setelah lima tahun membangun bisnisnya, Aditya tinggal menunggu saat-saat panen tiba. Rencana mengembangkan usaha dalam bentuk franchising kini sedang digarap. Kok Wei, President Direktur PT Electrolux Indonesia yang baru, juga siap mendukung rencana ini.

Nama Easy Clean pun tambah disegani oleh para pebisnis laundry. Namun,  Aditya tetap tampil sederhana. “Saya selalu berusaha agar hidup saya ini bisa bermanfaat dan menjadi saluran berkat bagi orang lain. Saya tetap menjalani profesi saya sebagai pramugara, Easy Clean masih merupakan bisnis sampingan bagi saya,” ungkapnya. Lho, bisnis sampingan toh?

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.