Petunjuk

0
[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Ada tiga tren baru di Jakarta berkaitan dengan mengemudi. Pertama adalah salah masuk jalur busway. Kedua mobil menyangkut di beton pemisah antara jalur busway dan jalur biasa. Ketiga adalah mobil jatuh dari jalur busway yang tingginya kurang lebih 60 centimeter dari jalan.

Sejak Jakarta menjadi “belantara busway”, berkendara di Jakarta memang harus lebih waspada. Terutama di malam hari, tidak ada tanda-tanda yang jelas (dan meyakinkan) untuk bisa memisahkan mana jalur busway (yang ada maupun yang belum jadi) dengan jalur biasa.

Yang lucu (atau menakutkan), ada seruan bahwa sementara jalur busway belum dioperasikan, maka pengemudi mobil boleh masuk ke jalur busway. Padahal ada jalur busway yang berhenti di ujung jalan yang ditutup pagar seng. Bayangkan jika Anda sudah keburu masuk. Pilihannya adalah mundur kembali sejauh seratus sampai dua ratus meter, atau nekat turun dari ketinggian 60 centimeter (dengan suara nyaring tentunya!)

Orang Indonesia (paling tidak pengelola jalur busway) sering kurang peduli untuk menaruh  petunjuk yang jelas dan memudahkan bagi orang lain. Mungkin karena orang Indonesia banyak yang senang menerobos tanda dilarang lewat. Sehingga mereka yang membuat petunjuk pun jadi malas memasangnya. Ada yang mengatakan, orang Indonesia rupanya memang tidak mudah percaya. Dibilang jangan masuk, malah justru masuk.

Ketika kita sebagai service provider tidak dapat menempatkan manusia sebagai tempat bertanya, maka peran dari petunjuk jalan menjadi penting. Sayangnya kita sering lupa bahwa petunjuk bukanlah manusia. Jika berkomunikasi dengan manusia, kita bisa melakukan probing (bertanya lagi). Tapi, tidak demikian halnya dengan benda mati. Oleh karena itu, visualisasi menjadi unsur yang penting dalam membuat petunjuk. Visualisasi dan tulisan dari papan petunjuk haruslah jelas dan mudah dibaca.

Masalahnya, jangankan berpikir untuk membuat visualisasi yang jelas, kadang-kadang kita pun tidak ingat untuk menempatkan papan petunjuk. Paling menjengkelkan adalah kejadian di mana kita berada di antrian yang salah saat berada di bank atau membeli tiket. Akibatnya, ketika sudah di depan loket, kita harus keluar dari antrian dan masuk ke antrian sebelah. Kalau sudah begitu, yang teringat di kepala adalah pesan dari orang tua “Malu bertanya sesat di jalan”!

Padahal kita seharusnya tidak perlu bertanya lagi jika petunjuknya jelas. Lagi pula—pada kasus busway—siapa yang memperingatkan pada saat kita mengemudikan mobil dengan kecepatan 80 km per jam di malam hari?

Selain jelas dan mudah dibaca atau dilihat, petunjuk juga harus mampu mengikuti gerakan dan jalur di mana pelanggan bergerak. Hal ini juga menjadi kebiasan buruk para service provider. Kita seringkali terbiasa menaruh papan petunjuk di ujung, tapi lupa bahwa pelanggan harus melewati beberapa jalan atau lorong yang cukup panjang sehingga mereka menjadi kemudian menjadi ragu saat berada di tengah perjalanan. Contohnya, pada saat kita berjalan di lorong yang menuju ke customer service dan di tengah perjalanan kita bertemu pegawai yang sedang duduk di meja, kemungkinan besar kita akan berhenti dan bertanya dulu apakah dia benar customer service.

Sama halnya di jalan raya, tanda dilarang berhenti sampai rambu berikut sering kali berjarak begitu jauh antara satu rambu dengan rambu lainnya. Akibatnya, mobil yang datang dari arah yang berada di tengah dua rambu tersebut tidak tahu kalau ada rambu larangan berhenti.

Penyakit yang lebih parah tentunya adalah menempatkan petunjuk pada tempat yang sulit atau bahkan tidak terlihat orang. Ada sebuah service counter yang meletakkan petunjuk untuk mengisi kotak keluhan persis di bawah meja, sekaligus dengan kotak saran dan keluhan. Mungkin para pegawainya takut kalau ada pelanggan melaporkan mereka ke atasan melalui kotak saran.

Saya juga yakin bahwa lebih dari 80% tulisan “syarat dan ketentuan berlaku” pasti dibuat dengan tulisan yang kecil dan susah dibaca. Padahal ini petunjuk penting ketika Anda mengambil keputusan untuk membeli produk atau pelayanan. Kalau sudah membeli dan ternyata Anda kecewa, maka sekali lagi yang ada di benak adalah peribahasa “Malu bertanya sesat di jalan”. Padahal kewajiban marketer-lah untuk memberi petunjuk yang jelas bagi konsumen. Kalau memang sudah dibuat dengan jelas dan ternyata konsumen tidak mengerti, barulah peribahasa tersebut berlaku.

Coba simak cerita ini. Suatu hari Anda mengemudikan mobil dan masuk ke sebuah jalan karena ada tanda petunjuk untuk masuk ke jalan tersebut. Tiba-tiba seorang polisi menyetop kendaraan Anda karena dianggap masuk ke jalan terlarang. Anda tentu saja “ngotot” karena merasa tidak bersalah.

Tapi jangan buru-buru berargumentasi, karena si polisi kemudian membawa Anda ke papan petunjuk tersebut dan menunjukkan tulisan di bawah rambu yang ditulis dengan huruf time new roman ukuran 12  dengan tulisan “Syarat dan ketentuan berlaku”!

Apakah Anda mirip dengan mereka? (www.marketing.co.id)