Petinggi MAMI Bicara Potensi Rupiah Tembus 15 Ribu per Dolar AS dan Dampak Perang China – Taiwan

[Reading Time Estimation: 3 minutes]

Marketing.co.id  –  Berita Marketing | Salah satu yang menjadi fokus perhatian pebisnis yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Pebisnis seperti importir atau produsen yang memiliki kandungan bahan baku impor biasanya akan terdampak jika nilai tukar dolar AS menguat terhadap Rupiah, karena mereka harus mengeluarkan uang Rupiah dalam jumlah lebih besar untuk ditukarkan dalam mata uang dolar AS.

Tren mata uang regional memang mengalami penurunan terhadap dolar AS, meskipun perekonomian Amerika Serikat sedang dilanda krisis sebagai imbas dari Perang Rusia dengan Ukraina. Bukan tidak mungkin tren tersebut akan merembet ke mata uang rupiah. “Jangan kaget jika rupiah suatu saat akan mencapai 15 ribu per dolar AS,” tutur Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI).

Katarina yang berbicara dalam jumpa pers 2H 2022 Market Economy Outlook yang diselenggarakan secara virtual, hari ini Selasa (9/9) menegaskan, prediksi depresiasi rupiah terhadap dolar AS karena faktor teknikal. “Melihat suku bunga BI dari awal tahun hingga Juni 2022 Rupiah kita cukup terjaga,” tandas dia.

Baca juga: Tren Suku Bunga Naik, Investasi Reksa Dana Masih Menarik

Selama ini Rupiah memang paling perkasa dibandingkan nilai tukar mata uang regional lainnya. Katarina menyebut Rupiah hanya terkoreksi sebesar 5,1%, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata pelemahan mata uang global terhadap dolar AS yang sebesar 11,9%.

Bank Indonesia
Foto: idxchannel.com

“Sangat baik dibandingkan negara-negara lain. Mata uang Yuan China terkoreksi 6,4%, Malaysia Ringgit 7,2%, Yen Jepang 19%. Kita relatif lebih baik, dan Rupiah yang terdepresiasi ini memang tidak ideal, namun cukup membantu ekspor kita, jadi ada plus dan minusnya. Secara fundamental ekonomi kita masih terjaga, dan kita harapkan BI akan menaikan suku bunga secara bertahap untuk menjaga daya tarik rupiah dan aset finansial Indonesia,” papar Katarina.

Potensi Ketidapastian Baru dampak dari Ketegangan China – Taiwan  

Perang Rusia – Ukraina telah menimbulkan pelemahan ekonomi global. Inflasi terjadi di banyak negara, karena terganggunya pasokan energi dan pangan dari kedua negara yang bertikai. Kini, dunia dihadapkan pada ketegangan antara China dan Taiwan, yang bisa saja memicu perang antar kedua negara. China, seperti dilaporkan beberapa media sedang menggelar latihan perang di wilayah teritori Taiwan

Menurut Ezra Nazula Ridha Director & Chief Investment  Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), eskalasi ketegangan antara China dan Taiwan akan menciptakan ketidakpastian baru ekonomi global.

“Investor dan market tidak menyukai ketidakpastian, apalagi jika berhubungan dengan China sebagai salah satu raksasa ekononi dunia. Harapannya konflik antara China dan Taiwan terhindari, karena dampaknya akan mempengaruhi ekonomi global secara masif, karena banyak sekali supply chain terganggu. Pertumbuhan ekonomi di Asia akan terkena hit,” ucap Ezra.

Ezra menambahkan, China dan Taiwan sebenarnya memiliki hubungan ekonomi yang saling menguntungkan, karena keduanya merupakan trading partner yang cukup besar. “Kami harapkan kedua pemimpin pemerintahan memiliki pandangan yang logis. Belajar dari perang Rusia dengan Ukraina dimana Rusia mendapatkan sanksi ekonomi yang cukup masif dunia,” ucap Ezra.

Baca juga: Tenang, Neraca Perdagangan Indonesia Masih Surplus

Untuk mencegah perang, pemerintah China sebenarnya sudah bereaksi cepat dengan menyatakan China dan Taiwan sama-sama negara di Asia dan bersaudara. “Jadi tone nya ingin mencegah konflik lebih dalam lagi,” timpal Katarina.

Jika memang perang tak terhindari, maka, lanjut Katarina, akan mempengaruhi rantai pasokan yang sudah sangat terganggu saat ini. “Dan kita melihat ini memang merugikan perekonomian global, namun ada faedahnya juga, blessing in disguise bagi Indonesia, terhambatnya rantai pasok dari China sudah cukup membuat beberapa negara melakukan diversifikasi untuk pembelian beberapa bahan baku dari Indonesia,” tuturnya.

Katarina juga mengatakan, selama ini hampir semua investasi dilakukan di China. Namun karena perkembangan dinamika global, banyak negara mengalihkan investasinya ke ke Vietnam dan Indonesia. “Idealnya jangan ada perang. Jika ada perang, ada beberapa sektor yang diuntungkan, yakni diversifikasi impor dan rantai pasok dari beberapa negara,” tuturnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here