Perspektif Pasar yang Salah

Kesalahan segmentasi berpangkal dari kurangnya informasi pasar. Akibatnya, pengelompokkan konsumen tidak sesuai kondisi pasar sesungguhnya.

 

 

Ketika ditanya siapa pelanggannya, seorang pemilik toko fashion berkata, ”Saya menjual pakaian untuk wanita berumur 20 sampai 50 tahun.” Wow, itu sebuah kelompok pasar yang cukup besar. Kebutuhan-kebutuhan mereka pasti sangat bervariasi. Wanita-wanita  muda umumnya gemar mengenakan pakaian untuk gaul dan bersosialisasi. Sedangkan yang lebih tua—katakanlah umur 35 tahun ke atas—cenderung lebih tertarik pada fungsi, yaitu pakaian untuk di kantor atau di rumah.

 

Inilah contoh kesalahan segmentasi yang diberikan Philip Kotler dalam Ten Deadly Marketing Sins. Pada kasus ini, paparnya, pemilik toko tadi tidak mampu mengidentifikasi segmen pasar dengan baik dan jelas. Segmentasi bisa keliru karena pasarnya sudah bergeser, misalnya ke arah lifestyle, tapi pemasar membaginya berdasarkan faktor demografis.

 

Bisa juga, ketika pasar sudah semakin terfragmentasi, mereka masih melihat pasar sebagai satu kesatuan besar. Motorola, sebagai contoh, masih melihat pasar ponsel di Indonesia dalam perspektif yang luas. Sementara itu, Nokia sudah membuat segmentasi yang beragam. Tak heran bila Nokia lebih mampu melayani setiap segmen pasarnya dengan tepat.

Menurut Handi Irawan D, Chairman Frontier Consulting Groups, kesalahan segmentasi  juga bisa dilihat dalam dunia food & beverage (F&B). Banyak perusahaan F&B skala kecil-menengah yang sebenarnya cukup berpeluang masuk ke segmen premium karena punya product quality bagus. Tetapi, faktanya, mereka malah memilih bermain di segmen bawah (komoditi) yang sangat kompetitif sehingga tidak bertumbuh. “Mayoritas perusahaan-perusahaan kelas menengah, terutama yang lokal, seringkali segmentasinya tidak berani jelas. Dengan demikian, otomatis targetingnya juga tidak jelas,” katanya.

 

Meneropong kesalahan dalam segmentasi, memang susah-susah gampang. Pasalnya, kasus tersebut sering tidak kelihatan dari luar. Orang lebih mudah mendeteksi kesalahan dalam targeting. Hal ini diakui oleh Handi. Segmentasi dan targeting memang “satu paket”. Hampir sama, tetapi ada bedanya. “Segmentasi itu bagaimana memetakan. Jadi kalau segmentasi salah, maka targeting biasanya pasti akan salah. Tetapi kalau segmentasi benar pun, belum tentu targetingnya benar,” tuturnya.

 

Yang jelas, kesalahan segmentasi ini sangat berbahaya. Dampaknya bukan cuma merembet pada targeting, tetapi juga bisa berakibat fatal pada seluruh strategi dan taktik yang akan dijalankan perusahaan.

Informasi yang Tidak Cukup

Setiap pasar itu unik, sebab konsumen yang satu pasti berbeda dengan konsumen lain. Tidak ada pasar yang benar-benar homogen, Hanya saja, dalam dunia marketing, jumlah konsumen yang sangat banyak ini tidak mungkin “dipotret” satu per satu. Makanya lalu disederhanakan, konsumen yang punya karakterisrik sama dikelompokkan dalam satu segmen pasar (segmentasi).

 

Dalam teori, ada beberapa metode yang biasa dipakai untuk melakukan segmentasi pasar, antara lain: segmentasi berdasarkan demografis, geografis, perilaku, manfaat, dan psikografik. Dan akhir-akhir ini marketer mulai mempergunakan “loyalty segmentation”, dengan memberi perhatian besar pada pelanggan yang loyal dan lebih memberikan profit ketimbang pelanggan lain.

 

Nah, fokus pada pasar yang tidak memadai di atas umumnya disebabkan kekurangmampuan mengidentifikasi segmen pasar dan buruknya prioritisasi segmen pasar. Pada kasus toko pakaian tadi, dia sudah melakukan segmentasi pasar, tapi fokusnya tidak benar. Harusnya sudah memakai pendekatan perilaku, dia masih memakai pendekatan demografis. Karenanya, Kotler menyarankan agar pemasar menggunakan teknik-teknik segmentasi lebih canggih seperti benefit segmentation, value segmentation, dan loyalty segmentation.

 

Namun, ada anggapan bahwa segmentasi, targeting dan positioning (STP) adalah masalah basic. Makanya, naif sekali kalau perusahaan besar sampai melakukan kesalahan di sini. Tetapi Handi Irawan membantah pendapat tersebut. “Menurut saya, tidak. kesalahan dalam segmentasi itu lumrah. Contoh yang paling sering terjadi adalah segmennya ketinggian ataupun kerendahan.”

 

Kegagalan Galeria Matahari, salah satunya disebabkan kesalahan segmen. Targetingnya over shoot. Kesalahan Galeria ini ada dua. Pertama, karena memang nama Matahari tidak bisa “didongkrak” ke atas. Kedua, kemungkinan besar karena manajemen tidak punya kapabilitas internal atau kemampuan yang pas untuk melayani segmen premium. “Nah, ini contoh segmentasi yang tidak pas dan kadang-kadang over shoot,“ ujarnya.

 

Selain itu, ada pula yang under shoot. Di industri farmasi, banyak juga perusahaan farmasi kecil yang tidak bertumbuh lantaran targetingnya itu-itu terus, yakni segmen kelas agak bawah yang berdaya beli rendah. Targeting ini mengakibatkan bisnis mereka tidak berkembang. Padahal kalau diperbaiki segmentasinya, mereka bakal lebih berkembang.

 

Kesalahan-kesalahan segmentasi ini intinya disebabkan kurangnya informasi pasar.  Untuk itu, pengamat ritel Handaka Santosa memandang perlunya riset mengenai produk yang akan diluncurkan dan riset tentang kemajemukan costumer. “Ketepatan memilih segmen dan hal-hal yang berkaitan dengan segmen yang kita tuju, itu penting,“ tandasnya.

 

Problem terbesar di Indoensia, sambung Handi, banyak perusahaan seringkali membuat keputusan didasari atas informasi yang tidak cukup. Untuk menghindari kesalahan segmentasi tersebut, marketer harus mampu melihat struktur industrinya. Karena itu,  mereka mesti melakukan studi pasar, menggunakan riset dan melakukan marketing intelligent agar tahu persis pasarnya seperti apa.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.