Dalam sebuah pelatihan tentang service yang diadakan untuk security staff, fasilitator mengawalinya dengan melontarkan pertanyaan kepada seorang peserta tentang pengertian service. “Siap! Servis AC, servis radio, servis TV!” dengan tegas Pak Satpam menjawab dengan raut muka tegang, “disetel” lurus ke depan tanpa sedikit pun senyuman tersungging di bibirnya. Fasilitator tersenyum tulus tanpa bermaksud merendahkan. Sebuah tantangan bagi seorang fasilitator untuk melemaskan syaraf-syaraf ketegangan dan memasukkan pelan-pelan service concept dengan bahasa yang paling mudah dipahami, sehingga di akhir pelatihan para awak penting dari industri jasa ini mampu menjadi pribadi yang lebih service oriented.
Ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana pentingnya menanamkan service culture di sebuah perusahaan, terutama industri jasa perbankan. Seluruh karyawan merupakan komponen penting dari service. Tidak hanya yang bertitel customer service, tetapi satpam sebagai orang pertama yang ditemui oleh walk in customer pun selayaknya mampu memberikan citra positif bagi perusahaan. Karyawan back office yang tidak bertatap muka langsung dengan nasabah juga harus mampu menjadi customer service bagi nasabah internal (sesama karyawan) sehingga mampu menjaga ritme kerja positif yang berimbas pada tercapainya ketaatan akan Service Level Agrement (SLA). Tercapainya SLA akan berimbas pada ketepatan waktu dalam penanganan setiap kasus maupun transaksi, sehingga tercapailah customer satisfaction (kepuasan nasabah).
Secara definitif, ada pergeseran pengertian mengenai “who is customer”. Dahulu, nasabah merupakan siapa saja yang membutuhkan saya. Seiring berjalannya waktu, pengertian berkembang menjadi, siapa saja yang kita butuhkan untuk keberhasilan kita. Ibaratnya, nasabah dengan industri jasa perbankan sebagaimana halnya artis dengan penggemarnya. Tidak ada artis besar tanpa fanatisme penggemar, demikian pula tidak ada industri jasa perbankan yang besar tanpa nasabah yang loyal. Untuk itu, kepercayaan nasabah harus terus dipupuk dan dijaga secara konsisten.
Mengapa demikian? Karena isu miring sekecil apa pun dapat menimbulkan goncangan terhadap industri jasa perbankan. Yang lebih parah lagi, apabila goncangan tersebut berupa rush atau run on bank (penarikan dana besar-besaran), hal tersebut akan berimbas pada jatuhnya reputasi perbankan nasional yang dapat menghancurkan perekonomian negara. Seorang artis yang ditinggalkan penggemar fanatiknya akan berdampak pada hilangnya job, berkurangnya penghasilan, dan merosotnya perekonomian keluarga.
Demikian pula, industri jasa perbankan yang ditinggalkan oleh loyal customer akan berdampak luas terhadap stakeholder-nya. Para pemegang saham akan kehilangan nilai investasi, penurunan saham, hilangnya deviden, dan yang lebih parah lagi harus mempertanggungjawabkannya. Para karyawan kemungkinan akan menerima SP (surat peringatan), kehilangan bonus, atau bahkan di-PHK. Sedangkan nasabah akan mengalami penurunan pelayanan, memburuknya kualitas produk, menerima dampak krisis likuiditas, bahkan mengalami terjadinya perubahan regulasi. Untuk itulah product, process, dan people merupakan tiga pilar service yang semuanya penting dan tidak dapat diabaikan.
Untuk dapat memberikan service yang excellent, perlu diketahui hal yang sebenarnya diinginkan oleh nasabah. Karl Albrecht, seorang entrepreneur asal German, mencetuskan teori yang menarik tentang ”The Hierarchy of Customer Value” yang terdiri dari empat tingkatan, yakni basic (minimum harus ada), expected (customer tahu mereka bisa mendapatkannya), desire (hal-hal yang diangankan oleh customer, yang membedakannya dengan pesaing), dan unanticipated (hal-hal ”spesial” yang diberikan walau tidak diminta dan sebelumnya tidak terbayangkan oleh customer). Supaya dipilih oleh nasabah, seyogyanya bank berada di level desire. Namun, kondisi ”dipilih oleh nasabah” belum berarti bisa mendapatkan customer yang loyal. Untuk itu harus dicapai level unanticipated dengan memberikan pelayanan jauh lebih baik melampaui harapan nasabah.
Mengacu pada teori di atas, jika diibaratkan sebuah panggung layanan, service dapat dibagi menjadi tiga komponen besar. Pertama, di belakang panggung ada strategi, sistem pendukung, dan pengembangan SDM. Kedua, di atas panggung ada product, people, process, dan place. Ketiga, customer yang memiliki persepsi versus harapan.
Service culture sangat dibutuhkan di seluruh industri jasa, baik perusahaan baru maupun yang sudah stabil. Pertanyaannya adalah, bagaimana membangun dan menumbuhkan service culture di perusahaan, khususnya industri jasa perbankan ?
Pada prinsipnya service culture merupakan tanggung jawab bersama. Menumbuhkan budaya service dapat diawali dengan service campaign yang melibatkan seluruh komponen perusahaan. Atasan selayaknya dapat menjadi role model bagi anak buahnya dan anak buah seharusnya berusaha menjadi role model bagi rekan-rekannya. Selain itu, alangkah baiknya jika hal ini didukung dengan pelatihan yang baik dan berkesinambungan. Pelatihan tidak harus dengan mengirimkan seluruh karyawan mengikuti pelatihan eksternal dengan biaya yang mahal, namun dapat juga dibuat secara internal.
Atasan atau karyawan yang ditunjuk dapat diikutsertakan dalam pelatihan eksternal terlebih dahulu, baru kemudian diadakan pelatihan atau sharing session untuk membagikan pengetahuan kepada karyawan yang lain. Sehingga, selain biaya jauh lebih murah, kegiatan ini juga dapat menciptakan budaya belajar. Untuk menjaga agar service culture tetap stabil diperlukan adanya semangat untuk berkompetisi. Reward dan punishment yang diberikan pada porsi yang tepat akan sangat efektif untuk menjaga kelangsungannya. (Service Excellence/Bernard Lokasasmita)